13. Bertugas Menjaga Gunung
Allah juga menugaskan para Malaikat untuk menjaga gunung-gunung di bumi.
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah, bahwa suatu hari ia berkata kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللّهِ ! هَلْ أَتَىَ عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدّ مِنْ يَوْمِ أُحُد ٍ؟ فَقَالَ: لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ، وَكَانَ أَشَدّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ، إذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى أبْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلاَلٍ، فَلَمْ يُجِبْنِي إلَىَ مَا أَرَدْتُ،
“Apakah engkau pernah mengalami satu hari yang lebih berat daripada hari-hari pada saat terjadi perang Uhud?” Maka beliau menjawab: “Aku telah mengalami apa yang telah aku dapati dari kaummu. Dan perkara terberat yang aku jumpai dari mereka pada hari berada di Aqabah. Aku telah menawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal namun ia tidak memenuhi apa yang kuinginkan.
فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَىَ وَجْهِي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إلاّ بِقَرْنِ الثّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلّتْنِي، فَنَظَرْتُ فَإذَا فِيهَا جِبْرِيلُ، فَنَادَانِي.
Aku pun pergi dengan kesedihan pada wajahku. Lalu, tanpa terasa, ternyata aku telah sampai di Qarnuts Tsa’alib (suatu wilayah di dekat Makkah). Kemudian aku mengangkat kepalaku, ternyata ada suatu awan yang menaungiku. Lalu aku amati ternyata di dalam awan tersebut terdapat Jibril, dan ia pun memanggilku.
فَقَالَ: إنّ اللّهَ عَزّ وَجَلّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدّوا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ.
Ia berkata: Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan penolakan mereka. Dan Allah telah mengutus kepadamu satu Malaikat penjaga gunung yang bisa engkau perintahkan menurut apa yang engkau inginkan bagi mereka itu.
قَالَ: فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلّمَ عَلَيّ، ثُمّ قَالَ: يَا مُحَمّدُ! إنّ اللّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَك، وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ، وَقَدْ بَعَثَنِي رَبّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ، فَمَا شِئْتَ؟ إنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأخشبين
Malaikat penjaga gunung memanggilku, dan mengucapkan salam kepadaku. Lantas ia berkata: “Wahai Muhammad, urusan itu terserah engkau. Jika engkau mau, aku akan timpakan kepada mereka Gunung Akhsyabain (yakni dua gunung yang ada di Makkah, yaitu Gunung Abu Qubais dan Gunung al-Ahmar, juga dua gunung yang ada di Mina).”
Lalu Nabi menjawab:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً
“Justru, aku berharap Allah mengeluarkan dari punggung-punggung mereka orang-orang (anak keturunan) yang akan menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”
Hadits ini mengandung beberapa faedah, yaitu sebagai berikut.
Pertama: Beratnya ujian yang dialami Nabi Muhammad dari kaumnya ketika mendakwahkan Islam.
Kedua: Murahnya hati dan sabarnya Nabi atas umatnya, serta rasa kasih sayang beliau kepada mereka. Sebab, seandainya beliau tidak sabar menghadapi kaumnya, niscaya umat ini telah binasa.
Oleh karena itu, Allah menganugerahkan nikmat ini atas kita melalui firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah (9): 128)
Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat, salam, dan ganjaran yang terbaik atas kemurahan Nabi bagi umatnya.
Kewajiban seorang juru dakwah yang menyeru umat ini kepada Allah adalah meneladani Rasulullah dengan mengasihi manusia, menyayangi, dan perhatian kepada mereka, serta memulai dakwahnya dengan apa yang Nabi memulai dengannya, dan yang beliau jadikan sebagai tujuan utama dalam mendakwahkan manusia, yaitu agar manusia mentauhidkan Allah dalam beribadah.
Ketiga: Ini adalah dalil atas agungnya Malaikat pengurus gunung tersebut, dan betapa besar kekuatan serta fisiknya. Sungguh ia mampu menimpakan dua gunung besar kepada penduduk Makkah, andai Nabi memerintahkannya untuk melakukan hal itu.
14. Bertugas Meniupkan Ruh Ke Dalam Janin Dan Mencatatkan Takdirnya
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menceritakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ يَقُولُ أَيْ رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ
“Apabila nuthfah telah melewati masa empat puluh dua malam, maka Allah Taala mengutus seorang Malaikat kepadanya. Lalu Malaikat tersebut membentuk rupa (wajah)nya, menciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulit, daging, dan tulangnya. Kemudian ia (Malaikat tersebut) bertanya: “Wahai Rabbku. Apa orang ini (berjenis kelamin) laki-laki ataukah perempuan? Maka Rabbmu (Allah Ta’ala) menetapkan apa yang Dia kehendaki sementara Malaikat yang mencatatnya.”
Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan: Rasulullah -orang yang benar dan yang dibenarkan- bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ فَيُقَالُ لَهُ: أُكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Sungguh salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari. Kemudian menjadi ‘alaqah dalam waktu yang sama, lalu menjadi mudhghah dalam waktu yang sama, kemudian Allah mengutus seorang Malaikat lalu ia diperintahkan untuk mencatat empat perkara. Dikatakan kepadanya: Tulislah (1) amalnya, (2) rezekinya, (3) ajalnya, dan (4) apakah ia akan menjadi orang yang sengsara atau bahagia.
Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi, beliau bersabda:
وَكَّلَ اللَّهُ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ نُطْفَةٌ، أَيْ رَبِّ عَلَقَةٌ، أَيْ رَبِّ مُضْغَةٌ، فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَ خَلْقَهَا قَالَ: يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى، أَشَقِيٌ أَمْ سَعِيدٌ؟ فَمَا الرِّزْقُ فَمَا الأجلُ؟ فَيُكْتَبُ ذلكَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
“Allah menugaskan satu Malaikat untuk mengurusi rahim. Malaikat tersebut akan berkata: “Wahai Rabbku, ini nuthfah. Wahai Rabbku, ini ‘alaqah. Wahai Rabbku, ini mudhghah. Kemudian jika Allah hendak menyempurnakan penciptaannya, maka Malaikat tersebut bertanya: “Wahai Rabbku, laki-laki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimana rezekinya? Kapan ajalnya? Maka ditulislah seperti itu di dalam perut ibu janin tersebut?”
15. Mencatat Amal-Amal Shalih
Allah menugaskan para Malaikat untuk mencatat amal-amal shalih yang dikerjakan setiap muslim dan muslimah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah pernah bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلَائِكَةٌ، يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوُا الصُّحُفَ، وَجَاءُوا فَاسْتَمَعُوا الذِّكْرَ
“Jika hari Jum’at tiba, maka pada setiap pintu masjid terdapat Malaikat yang mencatat orang yang datang pertama kali dan yang seterusnya. Dan jika imam telah duduk, maka lembaran catatan dilipat dan mereka turut mendengarkan khutbah.”
Para Malaikat juga mencatat perkataan-perkataan yang baik yang diucapkan setiap hamba yang beriman. Hal ini berdasarkan riwayat dari Rifa’ah bin Rafi az-Zuraqi, ia berkata: “Kami pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah. Saat beliau mengangkat kepala dari ruku, beliau mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah. Lalu ada orang yang di belakang beliau mengucapkan:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
“Wahai Rabb kami, bagi-Mu saja segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah.”
Kemudian seusai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang tadi mengucapkan (dzikir tersebut)? Orang tersebut pun menjawab: Saya: Maka beliau bersabda:
لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعًا وَثَلَاثِينَ مَلِكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Sesungguhnya, tadi aku melihat lebih dari 33 Malaikat berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang (lebih dahulu) mencatat kalimat tersebut.”
Setelah membawakan riwayat tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dari kisah tersebut, bisa diambil dalil bahwasanya sebagian ketaatan terkadang ditulis oleh selain Malaikat pencatat amal.”
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda:
إذا قالَ الإمامُ: سمعَ اللهُ لمِنْ حمِدَهُ، فقولوا: اللهمَّ ربَّنا لكَ الحمدُ؛ فإنه مَن وافَقَ قوْلُه قوْلَ الملائكةِ، غُفِرَ لهُ ما تقدَّمَ من ذنْبِه
“Apabila imam mengucapkan: Samiallahu liman hamidah, maka ucapkanlah, Allahumma Rabbana lakalhamdu. Sungguh, barangsiapa yang ucapannya bertepatan dengan ucapan Malaikat, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu:”
Doa Malaikat Bagi Yang Duduk Menunggu Shalat
Di antara golongan orang yang berbahagia dengan permohonan ampun serta doa dari para Malaikat adalah orang-orang yang duduk di masjid untuk menunggu shalat dalam keadaan masih ada wudhu.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
أَحَدُكُمْ مَا قَعَدَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ، فِي صَلَاةٍ، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَدْعُو لَهُ الْمَلَائِكَةُ: اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ ارْحَمْهُ
“Tidaklah seseorang di antara kalian duduk dalam rangka menunggu shalat -selama berada dalam keadaan suci (tidak berhadats)- melainkan para Malaikat akan mendoakan dirinya: Ya Allah, ampunilah dirinya. Ya Allah, rahmatilah dia.”
Nabi juga bersabda:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ، تَقُولُ: اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ ارْحَمْهُ، مَا لَمْ يُحْدِثْ، وَأَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ
“Sesungguhnya para Malaikat senantiasa mendoakan kepada seseorang di antara kalian selama orang itu masih ada di tempat duduknya (yang ia shalat di situ). Para Malaikat itu mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah dirinya. Ya Allah, rahmatilah ia, selama ia belum berhadats (atau masih dalam keadaan suci). Dan seseorang berada dalam shalat, selama (ia menunggu shalat) dan shalat itu menahannya (di tempat shalatnya),
Shalawat Dari Para Malaikat Bagi Orang Yang Menyambung Shaff (Barisan Shalat)
Di antara orang-orang yang berbahagia dengan tercurahnya shalawat Allah dan para Malaikat-Nya bagi mereka, yaitu orang-orang yang selalu menyambung shaff (barisan shalat): mereka tidak membiarkan ruang kosong dalam shaff.
Di antara dalil yang mendasari hal itu adalah sebagai berikut.
Dalil Pertama: Dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ
“Sungguh, Allah dan para Malaikat-Nya selalu bershalawat bagi orang-orang yang menyambung barisan-barisan shalat.”
Imam Ibnu Khuzaimah membuat bab dengan hadits ini dengan judul: “Bab Penyebutan Shalawat Allah dan Para Malaikat-Nya bagi Orang-orang yang Menyambung Shaff.”
Sedangkan Imam Ibnu Hibban membuat bab dengan hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah serta Permohonan Ampunan dari Para Malaikat bagi Orang yang Menyambung Shaff (Barisan Shalat) yang Terputus.”
Dalil kedua: Dari al-Bara bin Azib, ia berkata: “Rasulullah mendatangi setiap shaff (barisan shalat) dari satu sudut ke sudut yang lainnya. Beliau pun mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami seraya bersabda:
لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Janganlah kalian saling berselisih (karena apabila terjadi), maka akan berselisih pula hati-hati kalian.”
Beliau juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ الأُوّلَ
“Sungguh, Allah dan juga para Malaikat-Nya selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaff-shaff terdepan.”
Imam Ibnu Khuzaimah membuatkan bab pada kitabnya dengan judul: “Bab Tentang Shalawat Allah dan Para Malaikat bagi Orang-orang yang Menyambung Shaff-shaff Terdepan.”
Dahulu para Sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam mengisi shaff (barisan) yang kosong. Dan di antara riwayat yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Pertama: Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, dari Nabi, beliau bersabda:
أَقِيْمُوْا صُفًوْقَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
“Luruskanlah shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari belakang punggungku.”
Lantas, seseorang di antara kami pun senantiasa menempelkan pundaknya kepada pundak Sahabat di sisinya, dan menempelkan kakinya kepada kaki Sahabatnya itu.
Kedua: Imam Abu Dawud meriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Rasulullah menghadap orang-orang dengan wajahnya lalu bersabda:
“Luruskanlah shaff-shaff kalian.”
Beliau mengucapkannya tiga kali, lalu bersabda:
وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَلِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Demi Allah, luruskanlah shaff-shaff kalian atau Allah akan menjadikan hati-hati kalian saling berselisih.”
An-Nu’man mengatakan: “Maka aku melihat seseorang yang merapatkan pundaknya kepada pundak Sahabat yang ada di dekatnya, lutut kepada lututnya, juga mata kaki kepada mata kakinya.”
Syaikh Muhammad Syamsul Haqq al–Azhim Abadi (wafat th. 1329 H) berkata menjelaskan: “Hadits-hadits di atas adalah dalil-dalil yang mendasari pentingnya meluruskan shaff (barisan) di dalam shalat. Hal itu adalah bagian dari sempurnanya shalat, yaitu dengan tidak ada yang lebih belakang atau lebih depan dari yang lainnya dalam satu shaff, pundak dirapatkan dengan pundak, lutut dirapatkan dengan lutut, dan mata kaki dirapatkan dengan mata kaki.”
Sayangnya, Sunnah ini ditinggalkan pada zaman sekarang. Dan jika Sunnah ini dilakukan, maka banyak orang yang akan menjauh darinya bagaikan larinya seekor keledai liar. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Mudah-mudahan Allah tidak menjadikan diri kita termasuk golongan orang-orang yang enggan menyambung shaff, namun semoga Allah Taala -dengan rahmat-Nya- menjadikan kita semua termasuk golongan orang yang senantiasa menyambung shaff di dalam shalat, sehingga Allah dan para Malaikat-Nya selalu bershalawat kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.