10. Malaikat Maut
Di dalam al-Our-an, Allah dengan jelas menyebutkan nama Malaikat Maut, Allah berfirman:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), Malakul Maut (Malaikat Maut) yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kalian, kemudian kepada Rabbmu, kalian akan dikembalikan.” (QS. As-Sajdah (32): 11)
Adapun menyebut Malaikat Maut dengan Izra’il, penamaan ini tidak ada dalilnya. Jadi Izra’il bukan Malaikat pencabut nyawa. Adapun Malaikat pencabut nyawa (ruh), namanya Malakul Maut.
C. Nama-Nama Yang Populer Sebagai Nama-Nama Malaikat Akan Tetapi Tidak Ada Dalilnya
Banyak sekali penyebutan Malaikat dengan nama-nama yang beragam, akan tetapi nama-nama tersebut tidak berdasarkan kepada dalil yang shahih. Di antara nama-nama tersebut adalah:
1. Izra’il
Menyebut Malaikat Maut dengan Izra’il (إزرائيل) ini merupakan penamaan yang tidak ada dalilnya. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa penamaan ini termasuk cerita-cerita Bani Israil. Meskipun ada juga ulama yang menamakannya dengan Izra’il.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) pernah ditanya: “Apakah seluruh makhluk akan mati, termasuk Malaikat?”
Maka beliau menjawab: “Yang diyakini oleh sebagian besar ulama adalah seluruh makhluk akan mati, termasuk juga Malaikat. Termasuk juga Izra’il sang Malaikat Maut ….”
Penyebutan Malaikat Maut dengan Izra’il tidak ada dalilnya. Tidak ada satu pun riwayat yang shahih tentang nama ini. Adapun Malaikat pencabut nyawa (ruh), namanya Malakul Maut. Wallahu a’lam.
2. Raqib dan Atid
Sebagian ulama menyebutkan bahwa ada Malaikat yang bernama Raqib (رقيب) dan Atid (عتيد), berdasarkan firman Allah:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)
“(Ingatlah) ketika dua Malaikat mencatat (perbuatannya). Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat yang selalu mengawasi dan selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf (50): 17-18)
Penyebutan mereka ini (dengan nama Raqib dan Atid) tidaklah shahih (benar). Yang benar adalah Raqib dan Atid adalah dua sifat dari Malaikat yang mencatat amal perbuatan hamba. Makna dari Raqib dan Atid adalah dua Malaikat yang senantiasa hadir dan menyaksikan, tidak pernah luput dari seorang hamba. Dan tidak dimaksudkan bahwa Raqib dan Atid adalah nama dari kedua Malaikat tersebut.
Penyebutan Raqib dan Atid sebagai Malaikat pencatat, jelas tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam.
3. Ridhwan
Beberapa ulama berpendapat bahwa nama Malaikat penjaga Surga adalah Ridhwan (رضوان).
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Malaikat penjaga Surga bernama Ridhwan (رضوان). Penjelasan tentang hal ini diterangkan dalam beberapa hadits.”
Riwayat yang populer adalah yang disebutkan oleh Imam as-Suyuthi (wafat th. 911 H) dalam kitab Al-Haba’ik, dari Ibnu Abbas, di dalamnya disebutkan:
يَا مُحَمَّدُ أَبْشِرْ، هَذَا رِضْوَانٌ خَازِنُ الْجَنَّةِ
“Wahai Muhammad, bergembiralah! Inilah (Malaikat) Ridhwan sang penjaga Surga.”
Akan tetapi, derajat hadits ini dha’if (lemah). Oleh karena itu, nama ini tidak dapat ditetapkan sebagai nama penjaga Surga. Wallahu a’lam.
Hadits ini disebutkan oleh Imam as-Suyuthi di dalam kitab al-Haba’ik fi Akhbaril Mala’ik (hlm. 67), dan ia menisbatkannya kepada al-Wahidi dalam Asbabun Nuzil, juga Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, dari jalan Ishaq bin Bisyr, dari Juwaibir, dari adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.
Tentang perawi Ishaq bin Bisyr Abu Hudzaifah al-Bukhari ini, Imam adz-Dzahabi (wafat th. 748 H) mengatakan: “Mereka (para ulama) telah meninggalkannya, dan dia dituduh telah berdusta.”
Imam Ibnu Main (wafat th. 233 H) berkata tentang Juwaibir bin Sad al-Azdi: “Orang ini tidak ada artinya.”
Malaikat penjaga Surga disebut dengan Ridhwan, tidak ada dalil yang shahih tentang penamaan ini. Jadi cukup disebut dengan Malaikat penjaga Surga. Wallahu a’lam.
D. Hukum Memberi Nama Seseorang Dengan Nama Malaikat
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memberi nama orang dengan nama Malaikat adalah makruh.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H). Beliau berkata: “Di antara nama-nama yang makruh dipakai adalah nama para Malaikat, seperti Jibril, Mikail, dan Israfil. Makruh hukumnya menamai seseorang dengan nama-nama tersebut.”
Beliau melanjutkan: “Asyhab berkata: (Imam) Malik pernah ditanya mengenai hukum memberi nama Jibril (untuk manusia). Maka, (Imam) Malik pun memakruhkan hal itu dan tidak menyukainya.”
Imam al-Baghawi (wafat th. 516 H) berkata: “Makruh hukumnya memberi nama dengan nama para Malaikat, seperti Jibril dan Mikail, karena Umar bin al-Khaththab membenci hal ini. Selain itu, tidak pernah pula diriwayatkan dari salah seorang Sahabat atau Tabi’in, bahwa ia menamakan anaknya dengan nama salah satu Malaikat. Ini adalah pendapat Humaid bin Zanjawaih.”
Beliau melanjutkan: “Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu dimakruhkan karena khawatir apabila orang tersebut dicela, dilaknat, atau pun dicaci (oleh orang lain), padahal dirinya dipanggil dengan nama Malaikat.”
Boleh jadi mereka berargumen dengan hadits:
تَسَمُّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ وَلاَ تَسَمُّوْا بِأَسْمَاءِ الْمَلاَئِكَةِ
“Pakailah nama-nama Para Nabi dan (tetapi) janganlah kalian memakai nama-nama para Malaikat.”
Imam Abdurrazzaq (wafat pada th. 211 H) telah meriwayatkan: “Dari Ma’mar, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Hammad bin Abi Sulaiman: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memiliki nama Jibril atau Mika’il? Beliau pun menjawab: “Tidak mengapa.”
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Mazhab kami dan mazhab jumhur adalah diperbolehkan memberi nama dengan nama-nama Para Nabi dan para Malaikat …. Karena keshahihan bahwa pelarangan tersebut berasal dari Nabi tidaklah benar, sehingga hukum hal tersebut tidaklah makruh.”
Pendapat yang lebih kuat -wallahu alam- bahwa di antara nama Malaikat ada yang bersifat musytarak, maksudnya nama tersebut lazim juga dipakai untuk nama manusia, seperti Malik. Dan ada pula yang khusus bagi mereka, seperti Jibril, Mikail, dan Israfil.
Untuk nama-nama yang bersifat musytarak, maka hukum yang tampak jelas adalah boleh memakainya untuk nama manusia. Karena nama Malik sangat terkenal pada zaman Rasulullah, dan beliau tidak mengubahnya. Seandainya nama tersebut makruh (hukumnya), niscaya beliau akan mengubahnya sebagaimana beliau mengubah nama-nama lainnya.
Adapun nama-nama yang bersifat khusus bagi diri Malaikat Seperti Jibril, Israfil, dan Mikail, maka hukumnya yang tampak jelas -wallahu a’lam- adalah makruh memakainya.
Karena tidak ada seorang pun dari Sahabat maupun Tabi’in yang memakai nama tersebut, Sementara Nabi telah memerintahkan kita untuk mengikuti jalan dan petunjuk mereka. Maka, meninggalkan hal tersebut adalah jelas lebih utama, wallahu a’lam.
Adapun yang sudah menjadi kebiasaan banyak orang, yaitu menyebut wanita-wanita yang bekerja di rumah sakit dengan Malaikat Rahmat, maka penamaan seperti ini jelas tidak diperbolehkan. Hal ini karena para Malaikat bukanlah berjenis perempuan. Di samping kebiasaan ini merupakan taklid kepada orang-orang kafir, yang wajib ditinggalkan. Wallahu alam.”
Tugas-Tugas Para Malaikat
1. Menjadi Utusan Allah Ta’ala
Allah berfirman:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Allah memilih para utusan(Nya) dari (bangsa) Malaikat dan dari (bangsa) manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Hajj (22): 75)
Allah juga berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ …
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat ….” (QS. Fathir (35): 1)
2. Menyampaikan Wahyu
Menyampaikan wahyu merupakan tugas dari Malaikat Jibril.
Allah berfirman:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur-an itu dari Rabbmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. An-Nahl (16): 102)
Allah berfirman:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194)
“Yang dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (wahai Muhammad) agar engkau termasuk orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’ara (26): 193-194)
Allah berfirman:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5)
“Tidak lain (Al-Qur-an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm (53): 4-5)
Allah berfirman:
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia (Allah) menurunkan para Malaikat yang membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, (dengan berfirman): “Peringatkanlah (hamba-hamba-Ku), bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl (16): 2)
Juga berdasarkan riwayat bahwasanya ada seorang Yahudi yang mendatangi Nabi seraya berkata: “Sesungguhnya tiada seorang Nabi pun kecuali ada Malaikat yang mendatanginya dengan membawa berita. Maka, kabarkanlah kepada kami siapa temanmu itu?” Nabi menjawab: Jibril” Hasan: HR Ahmad (I/274) atau Hasan: HR. Ahmad (1/274) atau (no. 2483), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 12429).
Dan diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah, bahwa ia mengatakan: “Wahyu yang pertama kali dimulai untuk Rasulullah adalah mimpi yang baik. Kemudian salah satu Malaikat menemui beliau, seraya berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
“Bacalah dengan (menyebut) Nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Mulia.” (QS. Al-‘Alaq (96): 1-3) Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 4955) dan Muslim (no. 160 (252-254).