TAYAMMUM SESUAI SUNNAH

road, against light, dust, golden, woods, road, dust, dust, dust, dust, dust

1. Definisi Tayamum

Tayamum, menurut bahasa, adalah al-qashd (menuju). Jika dikatakan: Tayammamtu fulanan wa yammamtuhu wa ta’ammamtuhu wa ammamtuhu, yakni qashadtuhu (aku menujunya).

Allah  berfirman:

وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ

“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya.” (Al-Baqarah: 267)

Menurut syariat, tayamum adalah menyengaja menggunakan permukaan tanah untuk bersuci, untuk memperbolehkan segala yang dibolehkan dengan wudhu dan mandi.

2. DALIL DISYARIATKANNYA TAYAMMUM

a. Allah berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyetubuhi wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan debu yang baik lalu usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

b. Rasulullah bersabda:

إنّ الصعيد الطيب طهور المسلم وإن لم يجد الماء عشر سنين

“Bahwasanya debu yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun dia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.” (Shahih(

3. SEBABSEBAB YANG MEMBOLEHKAN TAYAMMUM

Dibolehkan bertayammum ketika:

a. Tidak mampu menggunakan air,

b. Tidak ada air,

c. Atau karena dikhawatirkan semakin memburuknya kondisi badan yang sakit,

d. Atau karena suhu dingin yang mencapai titik maksimum sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits di bawah ini:

عن عمران بن حصين قال: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فصلى بالناس فإذا هو برجل معتزل فقال: ما منعك أن تصلي قال: أصابتني جنابة ولا ماء فقال صلى الله عليه وسلم: عليك بالصعيد فإنه يكفيك

Dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah dalam satu perjalanan, Beliau shalat bersama para sahabat, ternyata ada seorang sahabat yang mengucilkan diri (dari mereka). Maka kemudian Beliau bertanya (kepadanya): “Apakah gerangan yang menghalangimu shalat (bersama kami)?” Jawabnya, “Saya Junub dan tidak (ada) air.” Maka Nabi bersabda, “Hendaklah kamu (bertayammum) dengan debu karena sesungguhnya hal tersebut cukup bagimu.” (Muttafaqun ‘alaih)

عن جابر قال: خرجنا في سفر فأصاب رجلا منا حجر فشجّه في رأسه ثم احتلم فسأل أصحابه فقال: هل تجدون لي رخصة في التيمم؟ فقالوا ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء فاغتسل فمات فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبر بذلك فقال: قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العيّ السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم

Dari Jabir, dia berkata, “Kami keluar dalam satu perjalanan, lalu seorang di antara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian dia mimpi basah lalu bertanya kepada para sahabatnya, Apakah kalian mendapatkan rukhshah (keringanan) bagiku untuk bertayammum?” Maka jawab mereka, “Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu, karena engkau mampu menggunakan air.” Kemudian dia mandi besar sehingga meninggal dunia. Kemudian tatkala kami sampai ke hadapan Rasulullah, hal tersebut diinformasikan kepada Beliau, maka Beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya. Cukuplah baginya hanya dengan tayammum.” (Hasan)

عن عمرو بن العاص إنه لما بعث غزوة ذات السلاسل قال: احتلمت في ليلة باردة شديدة البرد فأشفقت إن اغتسلت أن أهلك فتيممت ثم صليت بأصحابي صلاة الصبح فلما قدمنا على رسول الله ذكروا ذلك له فقال: يا عمرو صليت بأصحابك وأنت جنب؟ فقلت: ذكرت قول الله تعالى ((ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما)) فضحك رسول الله ولم يقل شيئا

Dari Amr bin Ash bahwa tatkala dia diutus (oleh Nabi) dalam peperangan Dzatul Salasil dia bercerita, “Pada suatu malam yang dingin, yang suhunya mencapai titik maksimum saya mimpi basah, lalu saya khawatir jika mandi saya akan celaka, maka tayammum lalu shalat shubuh dengan rekan-rekanku. Kemudian, tatkala, kami sampai kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Ya Amr, apakah engkau shalat bersama rekan-rekanmu dalam keadaan junub?” Maka saya jawab, “Aku ingat firman Allah, (Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian). Kemudian aku bertayammum lalu shalat.” Maka Rasulullah tersenyum dan tidak berkomentar sedikitpun.” (Shahih)

4. PENGERTIAN SHA’ID (DEBU)

Dalam kamus Iisanul Arab III: 254. Ibnul Manzhur menulis sebagai berikut. “Kata sha’id (صعيد) berarti tanah. Ada yang berpendapat dia adalah tanah yang baik ada pula yang mengatakan dia adalah setiap debu yang baik.

Di dalam al-Qur’an ditegaskan, “FATAYAMMAMUU SHA’IIDAN THAYYIBAN Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih).”

Abu Ishaq menyatakan, Sha’id ialah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah, dan dia tidak perlu ambil pusing apakah pada permukaan yang dimaksud terdapat debu ataupun tidak. Karena, sha’id bukanlah debu, tetapi dia adalah di permukaan tanah baik berupa debu ataupun lainnya.”

Karena itu, seandainya suatu kawasan seluruhnya berupa padang batu yang tak berdebu kemudian orang yang akan tayammum menepukkan tangannya pada permukaan batu itu, maka yang demikian itu baginya sebagai media pembersih jika dia mengusap wajah dengan tepukan itu.” Selesai.

5. SIFAT TAYAMMUM ATAU CARA BERTAYAMMUM

عن عمار بن ياسر قال: أجنبت فلم أصب ماء فتمعّكت في الصيد وصليت فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: إنما كان يكفيك هكذا وضرب النبي صلى الله عليه وسلم بكفيه الأرض ونفخ فيهما ثم مسح بهما وجهه وكفيه

Dari Ammar bin Yasir, dia berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air, kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat, setelah itu kusampaikan hal itu kepada Nabi. Kemudian Rasulullah bersabda, “Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (berbuat) begini.” Yaitu Nabi menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalu Beliau mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Kesimpulan:

Pada prinsipnya tayammum menduduki posisi wudhu’ maka dihalalkan dengan tayammum apa saja yang dihalalkan dengan wudhu’ dan boleh tayammum sebelum tibanya waktu shalat sebagaimana halnya boleh berwudhu’ sebelum datang waktu shalat. Serta boleh mengerjakan shalat semampunya, sebagaimana boleh shalat dengan wudhu’ sebanyak raka’at yang dia mau.

6. HALHAL YANG MEMBATALKAN TAYAMMUM

a. Membatalkan wudhu’.

b. Juga batal dengan adanya air bagi yang bertayammum yang sebelumnya tidak adanya air.

c. Dan disebutkan juga adanya kemampuan menggunakan air bagi orang saat bertayammum yang sebelumnya tidak mampu menggunakan air. Sedangkan shalat yang sudah dikerjakan tetap sah, tidak perlu mengulangi.

عن أبي سعيد الخدري قال: خرج رجلان في سفر فحضرت الصلاة وليس معهما ماء فتيمما صعيدا طيبا فصلّيا ثم وجدا الماء في الوقت فأعاد أحدهما الوضوء والصلاة ولم يعد الآخر ثم أتيا رسول الله فذكرا ذلك له قال: للذي لم يعد أصبت السنة وأجزأتك صلاتك وقال: للذي توضأ وأعاد: لك الأجر مرتين

“Dari Abi Sa’id al-Khudri, dia berkata: Ada dua orang keluar bepergian lalu tibalah waktu shalat sementara keduanya tidak membawa air maka mereka bertayammum dengan permukaan tanah yang bersih, lalu shalat. Kemudian pada waktu itu mereka berdua mendapatkan air. Kemudian seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalat, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulanginya. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah, lalu menceritakan hal itu kepada Beliau. Maka Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (shalatnya), “Engkau telah sesuai dengan sunnah (ku) dan shalatmu sudah cukup bagimu.” Dan kepada orang yang berwudhu’ dan yang mengulangi (shalatnya) Beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (Shahih)

7. BOLEH TAYAMMUM DENGAN TEMBOK

عن ابن عباس قال: أقبلت أنا وعبد الله بن يسار مولى ميمونة زوج النبي صلى الله عليه وسلم حتى دخلنا على أبي جهيم بن الحارث بن الصمة الأنصاري فقال: أبو الجهيم أقبل النبي صلى الله عليه وسلم من نحو بئر جمل ولقيه رجل فسلم عليه فلم يردّ عليه النبي صلى الله عليه وسلم حتى أقبل على الجدار فمسح بوجهه ويديه ثم ردّ عليه السلام

Dari Ibnu Abbas, dia berkata “Saya dan Abdullah bin Yasar, bekas budak Maimunah, isteri Nabi pergi hingga kami sampai di (rumah) Abu Juhaim bin al-Harist bin ash-Shimmah al-Anshari. Lalu Abu Juhaim mengatakan, “Nabi datang dari arah Sumur Jamal”, lalu Rasulullah bertemu dengan seorang sahabat, kemudian mengucapkan salam kepadanya. Namun Nabi belum menjawabnya sebelum mendekat ke tembok, (setelah menepukkan kedua telapak tangannya pada tembok). Lalu beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya, kemudian menjawab salamnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).

8. Apakah Mayit Ditayamumkan Jika Tidak Ada Air?

Mayit harus ditayamumkan juga seperti orang yang hidup, jika tidak ada air. Karena memandikannya adalah suatu kewajiban. Telah disebutkan bahwa tanah adalah alat untuk bersuci, jika tidak ada air. Hal ini berlaku untuk semua proses bersuci yang wajib, dan tidak ada perselisihan bahwa semua mandi adalah proses bersuci. Al-Muhalla (II/158). 

9. Orang yang Memiliki Air, Namun Ia Mengkhawatirkan Dirinya, Teman, atau Hewan Tunggangannya Kehausan Jika Ia Menggunakannya.

lbnu al-Mundzir berkata, “Semua ulama yang kami ketahui bersepakat bahwa musafir yang takut akan keselamatan dirinya karena kehausan, sementara ia memiliki air sekadar untuk bersuci saja, maka ia membiarkan airnya untuk minumnya dan bertayamum.”

Ibnu Qudamah berkata, “Orang yang khawatir akan keselamatan hewan tunggangannya dan khawatir hartanya akan hilang sia-sia, maka keadaannya serupa dengan orang yang menemukan air tapi ia dihadang oleh perampok atau binatang buas yang dikhawatirkannya terhadap keselamatan hewan atau hartanya. Jika ia merasa kehausan dan khawatir akan kebinasaan atas dirinya, maka ia wajib meminumnya dan bertayammum.”

Permasalahan:

Jika berkumpul mayit, orang junub, orang haid dan orang yang terdapat najis pada badannya, sementara air hanya cukup untuk salah seorang dari mereka saja, siapakah yang lebih berhak atas air tersebut?

Jawabannya:

1. Jika air itu milik salah seorang dari mereka, maka dialah yang lebih berhak dengan air itu. Inilah pendapat yang disepakati oleh jumhur.

2. Jika air itu bukan milik salah seorang dari mereka, maka berdasarkan urutan berikut ini:

a. Jenazah lebih berhak dengan air tersebut daripada orang yang berhadats, sebagaimana pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad. Hal itu disebabkan oleh dua alasan:

Pertama, ini adalah penutup urusannya, maka ia dikhususkan dengan thaharah yang paling sempurna dari dua macam thaharah. Sementara orang yang masih hidup, ia akan menemukan air.

Kedua, tujuan dari memandikan mayit adalah untuk membersihkannya, dan hal itu tidak bisa dilakukan dengan tanah. Adapun maksud dari bersucinya orang yang masih hidup adalah untuk dapat mengerjakan shalat, dan itu dapat dilakukan dengan tayamum.

b. Orang yang terkena najis lebih berhak dengan air tersebut daripada orang yang terkena hadats. Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Karena, menurut Imam an-Nawawi, tidak ada pengganti untuk mensucikannya.

c. Wanita yang haid lebih berhak dengan air tersebut daripada orang yang junub. Karena hadatsnya lebih besar, dan orang yang haid menunaikan hak Allah serta hak suaminya agar boleh menyetubuhinya.

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.

Menurut Hanabilah ada dua bentuk, sedangkan menurut Syafi’iyah ada bentuk yang ketiga, yaitu keduanya memiliki hak yang sama dan di undi di antara keduanya.

d. Jika berkumpul orang yang junub dan orang yang berhadats, maka yang menjadi ukuran adalah jumlah air yang ada. Jika jumlah air cukup untuk mandi, maka orang yang junub lebih berhak. Jika tidak, maka orang yang berhadats lebih berhak.

e. Jika berkumpul jenazah dan orang yang terdapat najis pada badannya, dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Barangsiapa yang mempertimbangkan “illat (alasan) yang kami sebutkan di atas, yaitu mendahulukan jenazah daripada orang yang berhadats, maka air itu adalah hak jenazah. Sebaliknya, barangsiapa yang mempertimbangkan bahwa orang yang pada badannya terdapat najis dan tidak ada pengganti, bagi thaharahnya, maka ia lebih berhak.

Bolehkah bagi orang yang sudah sholat dengan tayammum, kemudian mendapati air sesudahnya berwudhu lalu sholat lagi?

Jawabnya: Boleh, berdasarkan hadits berikut:

عن أبي سعيد الخدري قال: خرج رجلان في سفر فحضرت الصلاة وليس معهما ماء فتيمما صعيدا طيبا فصلّيا ثم وجدا الماء في الوقت فأعاد أحدهما الوضوء والصلاة ولم يعد الآخر ثم أتيا رسول الله فذكرا ذلك له قال: للذي لم يعد أصبت السنة وأجزأتك صلاتك وقال: للذي توضأ وأعاد: لك الأجر مرتين

“Dari Abi Sa’id al-Khudri, dia berkata: Ada dua orang keluar bepergian lalu tibalah waktu shalat sementara keduanya tidak membawa air maka mereka bertayammum dengan permukaan tanah yang bersih, lalu shalat. Kemudian pada waktu itu mereka berdua mendapatkan air. Kemudian seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalat, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulanginya. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah, lalu menceritakan hal itu kepada Beliau. Maka Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (shalatnya), “Engkau telah sesuai dengan sunnah (ku) dan shalatmu sudah cukup bagimu.” Dan kepada orang yang berwudhu’ dan yang mengulangi (shalatnya) Beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (Shahih)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top