TATA CARA WUDHU (BAGIAN 2)

A leafless tree stands by a peaceful river under a calming sunset.

e. Membasuh wajah

Hukumnya adalah wajib. Definisi wajah secara syar’i tidak dijelaskan oleh syari’at, maka kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa.

Berkata Imam al-Qurthubi:

وَالْوَجْهُ فِي اللُّغَةِ مَأْخُوذٌ مِنَ الْمُوَاجَهَةِ، وَهُوَ عُضْوٌ مُشْتَمِلٌ عَلَى أَعْضَاءٍ وَلَهُ طُولٌ وَعَرْضٌ، فَحَدُّهُ فِي الطُّولِ مِنْ مُبْتَدَأِ سَطْحِ الْجَبْهَةِ إِلَى مُنْتَهَى اللَّحْيَيْنِ، وَمِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْأُذُنِ فِي الْعَرْضِ

“Wajah secara bahasa diambil dari kata muwajahah (saling berhadapan). Dan dia adalah anggota tubuh yang mencakup anggota-anggota tubuh (lainnya) dan dia memiliki panjang dan lebar. Batasan panjangnya dimulai dari awal kening hingga penghabisan jenggot, adapun lebarnya dari telinga ke telinga.”

Masalah menyela-nyela jenggot

Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ‘Ammar bin Yasir, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ

“Aku melihat Rasulullah menyela-nyela jenggotnya.”

Menyela-nyela jenggot ada dua hukum:

Pertama: Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot: membasuh kulit wajah yang tampak tersebut dan mencuci pangkal jenggot.

Kedua: Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak tampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah, karena termasuk hukum bagian tubuh dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dibasuh karena merupakan perpanjangan wajah.

f. Membasuh kedua tangan

Membasuh ujung-ujung jari hingga ke siku. Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri hingga siku-siku (siku-siku masuk dalam basuhan).

Catatan:

Terdapat perbedaan pendapat apakah siku-siku masuk dalam basuhan tangan atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“(Dan basuhlah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku”.

Dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid 1/18 bahwa ada dua sebab yang menyebabkan perbedaan pendapat:

Pertama: Pemahaman mereka dalam memahami huruf “ila”.

Karena “ila” dalam Bahasa Arab bisa memiliki dua arti: yaitu akhir dari puncak dan berarti “ma’a” yaitu bersama.

Kedua: Arti “Al-Yadu” dalam Bahasa Arab bisa dimutlakkan untuk tiga hal: untuk pergelangan, bisa juga untuk lengan, atau sampai lengan atas.

Siapa yang memahami “ila” bermakna “ma’a” yaitu bersama dan memahami tangan dengan lengan atas, maka ia berpendapat bahwa siku termasuk yang dibasuh. Sedangkan siapa yang memahami “ila” bermakna puncak tujuan, maka dia tidak memasukkan siku ke dalam basuhan tangan.

Dari sini ada dua pendapat yang kuat:

Pendapat pertama: Siku masuk ke dalam basuhan, ini adalah pendapat jumhur.

Pendapat kedua: Siku tidak masuk ke dalam basuhan tangan, ini adalah pendapat Zufar, Abu Bakar bin Dawud.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena pendapat kedua hanya berdalil dengan ayat dan memahami bahwa “ila” dalam Bahasa Arab bermakna penghabisan tujuan, Akan tetapi dijawab bahwa “ila” juga bisa bermakna “ma’a”.

Ketika membasuh tangan, telapak tangan tetap dibasuh lagi, walaupun sudah dibasuh di awal.

Bukan termasuk sunnah:

Pertama: Menyela-nyela jari tangan hukumnya bukanlah sunnah, tetapi istihsan (dianggap baik) dari para ulama.

Kedua: Menyela jari-jari kaki dengan jari tangan kelingking, ini istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi.

Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad: …Dalam (kitab) Sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata: “Aku melihat Nabi berwudhu, beliau menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan ‘kelingkingnya’. Kalau riwayat ini benar maka sesungguhnya Nabi hanya melakukannya sesekali. Karena sifat ini tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudhu Nabi seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan lainnya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.”

g. Mengusap kepala dan kedua telinga

Hukumnya adalah wajib. Imam an-Nawawi berkata: “Mengusap kepala hukumnya wajib, berdasarkan Al-Kitab, sunnah, dan ijma’.”

Adapun mengenai tata caranya, maka yang disebutkan dalam hadits ada dua cara:

Pertama: Meletakkan kedua tangan yang sudah dibasahi dengan air di permulaan kepala kemudian mengusapnya hingga bagian belakang kepala, kemudian kembali lagi ke permulaan kepala.

Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid ketika ditanya oleh seseorang,

أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي، كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

“Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah berwudhu?” Abdullah bin Zaid menjawab, “Tentu.” Abdullah lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak tiga kali, kemudian membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan masing-masing dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, dimulai dari bagian depan dan menariknya sampai pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula, setelah itu membasuh kedua kakinya.”

Tata cara ini sesuai untuk rambut pendek, karena tidak membuat berantakan saat kedua tangan kembali ke depan kepalanya.

Kedua: Mengusap semua kepalanya akan tetapi sesuai dengan arah rambut, yaitu ketika mengusap tidak mengubah rambut dari posisinya.

Hal ini berdasarkan hadits Ar-Rubyyi’ binti Mu’awwidz:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ عِنْدَهَا فَمَسَحَ الرَّأْسَ كُلَّهُ، مِنْ قَرْنِ الشَّعْرِ كُلِّ نَاحِيَةٍ، لِمُنْصَبِّ الشَّعْرِ، لَا يُحَرِّكُ الشَّعْرَ عَنْ هَيْئَتِهِ

“Rasulullah pernah berwudhu di sisinya, beliau mengusap semua kepalanya, dari ubun-ubunnya (kepala bagian atas) ke setiap sisi sampai kepala bagian bawah rambut, tanpa membuat rambutnya berubah dari keadaan yang semula.

Tata cara seperti ini dilakukan bagi orang yang khawatir rambutnya berantakan.

Dan juga disunnahkan untuk mengusap semua kepalanya, adapun mengusap sebagian saja maka tidak mencukupi. Yang disunnahkan saat membasuh kepala adalah sekali.

Catatan:

Setelah para ulama sepakat wajibnya mengusap kepala, mereka berbeda pendapat tentang batasan wajib dalam mengusap tersebut:

Pendapat pertama: Wajib mengusap seluruh kepala, ini adalah pendapat madzhab Malikiyyah, Hanabilah, dan pendapat yang dipilih oleh al-Muzani.

Pendapat kedua: Wajib mengusap sebatas ubun-ubun saja, yaitu sekitar 1/4 kepala, batasannya dengan 3 jari, jika kurang dari itu maka tidak sah. Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.

Pendapat ketiga: Batasan minimal wajibnya adalah dengan apa yang dinamakan dengan mengusap, walaupun mengusap sehelai rambut, maka ini sudah dikatakan telah mengusap dan sudah sah. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:

قَالَ أَصْحَابُنَا حَتَّى لَوْ مَسَحَ بَعْضَ شَعْرَةِ وَاحِدَةٍ أَجْزَأَهُ

“Berkata ulama-ulama madzhab kami: walaupun mengusap sebagian dari satu helaj rambut maka itu mencukupinya (sah).” (Al-Majmu’ 1/398)

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan wajib mengusap semua kepala.

Ibnu Abdil Barr berkata: Para ahli fikih berbeda pendapat tentang mengusap sebagian kepala. Imam Malik berkata, yang wajib adalah mengusap semua kepala, jika dia meninggalkan sebagian darinya, maka itu bagaikan meninggalkan basuhan pada sebagian wajah, Ini adalah pendapat yang dikenal dalam mazhab Malik, dan ini merupakan pendapat Ibnu Aliyah.

Ibnu Aliyah berkata, Allah telah memerintahkan untuk mengusap kepala dalam berwudhu sebagaimana Dia memerintahkan mengusap muka dalam tayammum. Dia memerintahkan membasuhnya dalam berwudhu. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh membasuh sebagian wajah atau mengusap sebagiannya pada tayammum, maka demikian halnya dalam mengusap kepala. (At-Tamhid, 20/114)

Berkata Ibnul Qoyyim: “Tidak ada satu haditspun yang shahih bahwasanya Nabi pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala.” (Taudhihul Ahkam 1/169).

Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi mengusap ubun-ubun beliau ketika memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ

“Dari Mughiroh bin Syu’bah bahwasanya Nabi berwudlu’ lalu beliau mengusap ubun-ubun dan atas sorban beliau dan mengusap kedua khuf beliau.” (HR. Muslim no. 247)

Adapun dalil mazhab Hanafi dan Syafi’i di antaranya adalah:

Pertama: Firman Allah:

وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ

“Dan usaplah kepala kalian”

Mereka katakan bahwa huruf ‘ba‘ dalam ayat tersebut berfungsi littab’idh (menyatakan sebagian), seakan-akan Allah berfirman: “Usaplah sebagian kepala kalian”.

Pendalilan ini dibantah bahwa huruf ‘ba‘ tersebut tidak berfungsi littab’idh (menyatakan sebagian) akan tetapi lil-ilshaq (menempel), maksudnya kepala harus menempel dengan tangan yang diusapkan di atasnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Lihat Majmu Fatawa 21/123).

Juga ayat perintah mengusap kepala adalah bersifat mujmal (global), lalu dijelaskan dengan perbuatan Rasulullah.

Kedua: Hadits yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah: “Sesungguhnya Nabi mengusap ubun-ubun dan imamah beliau.” (HR. Muslim no. 242) Mereka berkata bahwa Rasulullah hanya mengusap ubun-ubun, yaitu bagian depan kepala beliau.

Alasan ini dibantah bahwa Nabi mengusap ubun-ubun dan menyempurnakan usapannya dengan mengusap imamah beliau. Mengusap imamah menggantikan usapan kepala.

Ibnu Qayyim berkata: Tidak ada satupun riwayat shahih yang menunjukkan bahwa beliau hanya mengusap sebagian kepalanya saja, akan tetapi jika beliau mengusap ubun-ubun, lalu beliau menyempurnakannya dengan mengusap imamah. (Zaadul Ma’ad 1/193)

Syaikh Utsaimin berkata: Dibolehkannya mengusap ubun-ubun di sini adalah karena bersama itu beliau mengusap imamahnya. Maka riwayat ini tidak menunjukkan dibolehkannya mengusap ubun-ubunnya saja. (Syarh Al-Mumti’, 1/178)

Mengusap kedua telinga

Hukum mengusap kedua telinga adalah adalah sunnah. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Ketika mengusap kepala langsung disertai mengusap kedua telinga, tanpa dipisah.

Sedangkan ulama Hanabilah mengatakan bahwa mengusap telinga hukumnya adalah wajib. (lihat Kasysyaafil Qina’ 1/100)

Sesuai dengan hadits:

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – فِي صِفَةِ الْوُضُوءِ – قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إصْبَعَيْهِ السَّبَّاحَتَيْنِ فِي أُذُنَيْهِ، وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ

“Dari Abdullah bin ‘Amr tentang sifat wudhu, ia berkata: Kemudian Nabi mengusap kepala dan memasukkan dua jari telunjuk beliau ke dalam kedua telinga dan mengusap bagian luar kedua telinga dengan kedua ibu jari beliau.”

Dan juga hadits Ibnu Abbas:

أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا

“Sesungguhnya Nabi mengusap kepala dan kedua telinga, bagian luar dan bagian dalam”.

Berkata Ibnul Qoyyim: “Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinga”. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi mengambil air baru yang bukan dari air bekas mengusap kepala adalah riwayat lemah. Yang shahih adalah Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk membasuh) kedua tangannya.

h. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, demikian pula yang kiri

Yang diwajibkan dalam masalah wudhu adalah membasuh kedua kaki dan tidak cukup hanya dengan mengusapnya.

Dalil yang menunjukkan kewajiban membasuh kaki adalah riwayat Abdullah bin Amr, dia berkata:

تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا العَصْرَ، فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: «وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ» مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا

“Rasulullah tertinggal oleh kami dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Lalu beliau menyusul kami dan kami menunda shalat Ashar. Maka kami berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami. Maka beliau berseru dengan suara keras: Celakalah tumit-tumit itu dari neraka. Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali.”

Batasan dalam membasuh kaki adalah sampai mata kaki. Dan hati-hati dalam membasuh kaki, jangan sampai tumit tidak terkena air wudhu. Nabi melihat seseorang tidak membasuh tumitnya, maka beliau bersabda:

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit itu dari neraka.”

Catatan:

Pertama: Yang wajib dalam membasuh anggota wudhu adalah masing-masing dilakukan satu kali, ini adalah berdasarkan kesepakatan para ulama. Adapun membasuh dua atau tiga kali maka ini adalah sunnah.

Kedua: Dalam wudhu seluruh anggota tubuh dibasuh kecuali kepala (termasuk kedua telinga) maka hanya diusap.

Adapun membasuh maka yang wajib adalah mengalirnya air ke anggota tubuh tersebut dan tidak harus digosok.

An-Nawawi berkata:

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ يَكْفِي فِي غَسْلِ الْأَعْضَاءِ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ جَرَيَانُ الْمَاءِ عَلَى الْأَعْضَاءِ وَلَا يُشْتَرَطُ الدَّلْكُ وَانْفَرَدَ مَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ بِاشْتِرَاطِهِ

“Dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwasanya cukup dalam wudhu membasuh anggota wudhu. Dan membasuh adalah mengalirnya air pada anggota wudhu, dan tidak disyaratkan menggosoknya. Dan Malik dan al-Muzani mempersyaratkannya.”

Namun untuk bagian jari-jari kaki maka disunnahkan untuk menyela-nyelanya bukan karena menggosoknya akan tetapi agar memastikan bagian tersebut terkena aliran air.

Adapun mengusap (kepala dan telinga) maka cukup dengan membasahi telapak tangan (dan airnya dibuang), lalu mengusapkan telapak tangan tersebut ke kepala. Jadi tidak ada aliran air di kepala, karena yang dimaksud bukanlah membasuh tapi mengusap.

Ketiga: Harus tertib berurutan dalam urutan membasuh anggota wudhu, tidak boleh mendahulukan satu anggota dari anggota wudhu yang lain. yaitu sesuai dengan urutan yang terdapat dalam ayat wudhu.

Keempat: Harus bersambungan, tidak terputus jeda waktu dalam berwudhu antara satu anggota wudhu dengan anggota tubuh yang lainnya.

Kelima: Pendapat mayoritas para ulama ketika membasuh wajah tidak perlu sampai leher, demikian juga ketika membasuh kaki tidak perlu sampai ke betis (cukup sampai ke kedua mata kaki), dan ketika mencuci tangan tidak perlu sampai ke lengan atas (tapi cukup sampai siku).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top