TATA CARA WUDHU (BAGIAN 1)

Expansive cornfield stretching beneath a picturesque azure sky with fluffy clouds.

1. Pendahuluan

Allah berfirman tentang wudhu:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang Beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Hadits tentang berwudhu yang lengkap tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Humran maula Utsman:

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ». ثُمَّ قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا» ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ

“Bahwa Utsman bin Affan meminta air untuk berwudlu, kemudian ia membasuh dua tangan sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan (memasukkan air ke dalam hidung kemudian) mengeluarkan dari hidung. Kemudian ia membasuh muka sebanyak tiga kali dan membasuh tangan kanannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh tangan kirinya sama seperti beliau membasuh tangan kanan, kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh kaki kiri, sama seperti membasuh kaki kanannya. Kemudian Utsman berkata, Aku pernah melihat Rasulullah berwudhu seperti cara aku berwudhu. Kemudian dia berkata lagi, Aku juga telah mendengar beliau bersabda: Barangsiapa berwudhu seperti cara aku berwudhu kemudian dia menunaikan shalat dua rakaat dan tidak berkata-kata antara wudhu dan shalat, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu, Ibnu Syihab berkata, Ulama-ulama kami berkata, Ini adalah wudhu yang paling sempurna yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan shalat.”

2. Tata Cara Berwudhu

Dari hadits ini kita dapati bahwa cara berwudhu adalah sebagai berikut:

a. Berniat

Niat termasuk syarat wudhu sehingga yang berwudhu tanpa meniatkan wudhu tersebut untuk shalat untuk maka wudhunya tidak sah.

Dalilnya adalah firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Catatan:

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum niat ketika berwudhu:

Pendapat pertama: Niat adalah syarat wudhu, ini adalah pendapat mayoritas ulama dari madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. (Lihat Al-Kafi karya Ibnu Abdil Bar 1/164, Raudhotu At-Tholibin 1/47, Kasysyaf Al-Qina’ 1/85)

Pendapat kedua: Niat ketika berwudhu hukumnya sunnah, adapun niat untuk tayammum hukumnya wajib, ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.

Berkata Az-Zaila’i ketika membantah pendapat ulama yang mengatakan bahwa niat adalah syarat wudhu:

وَلَنَا أَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لَمْ يُعَلِّمْ الْأَعْرَابِيَّ النِّيَّةَ حِينَ عَلَّمَهُ الْوُضُوءَ مَعَ جَهْلِهِ، وَلَوْ كَانَ فَرْضًا لَعَلَّمَهُ، وَلِأَنَّهُ شَرْطُ الصَّلَاةِ فَلَا يَفْتَقِرُ إلَى النِّيَّةِ كَسَائِرِ شُرُوطِهَا بِخِلَافِ التَّيَمُّمِ

“Dalil kami adalah Rasulullah tidak mengajarkan kepada orang Arab badui untuk berniat ketika mengajarkannya wudhu padahal dia tidak tahu (tentang wudhuj, kalau Saja niat adalah fardhu maka Nabi pasti mengajarkannya, dan karena wudhu adalah Syarat (sahnya) shalat maka tidak membutuhkan niat seperti syarat-syarat shalat lainnya, berbeda dengan tayammum.” (Lihat: Tabylinul Haqaiq 1/5)

Pendapat ketiga: Boleh wudhu, mandi junub, dan tayammum tanpa niat. Ini adalah Pendapat Al-Auza’i. (Lihat: Al-Awsath Fis Dunani Wal Ijma’ Wal ikhtilaf 1/369)

 Berkata Imam Nawawi berdalil dengan ayat ini akan wajibnya niat ketika berwudhu:

لِأَنَّ مَعْنَاهُ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ لِلصَّلَاةِ وَهَذَا مَعْنَى النِّيَّةِ

“Karena maknanya: maka basuhlah wajah-wajah kalian untuk shalat dan ini adalah makna niat.”

Dan juga menjadi dalil akan wajibnya niat adalah sabda Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khotthob:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung dengan niatnya.”

Berkata Imam An-Nawawi menjelaskan tentang hadits ini:

قَالَ جَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ وَالْأُصُولِ وَغَيْرُهُمْ لَفْظَةُ إِنَّمَا مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ تُثْبِتُ الْمَذْكُورَ وَتَنْفِي مَا سِوَاهُ فَتَقْدِيرُ هَذَا الْحَدِيثِ إِنَّ الأعمال تحسب بنية ولاتحسب إِذَا كَانَتْ بِلَا نِيَّةٍ وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أن الطهارة وهى الوضوء والغسل والتيمم لاتصح الا بالنية وكذلك الصلوة والزكوة وَالصَّوْمُ وَالْحَجُّ وَالِاعْتِكَافُ وَسَائِرُ الْعِبَادَاتِ

“Berkata mayoritas ulama ahli bahasa, ushul, dan lainnya: lafaz “Innama” diletakkan untuk pembatasan, menetapkan apa yang disebutkan dan menafikan selainnya, maka makna hadits ini adalah: Sesungguhnya amalan-amalan dihitung (dianggap) dengan niatnya, dan tidak dihitung tanpa niat, di dalamnya terdapat dalil bahwa bersuci yaitu wudhu, mandi, dan tayammum tidak sah dengan kecuali dengan niat, begitu juga shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, dan seluruh ibadah.”

b. Membaca “bismilah”

Hukumnya adalah mustahab (dianjurkan) menurut mayoritas ulama, dalam artian bahwa orang yang tidak mengucapkan basmalah ketika hendak berwudhu maka wudhunya tetap sah.

Catatan:

Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah hukum membaca bismillah ketika berwudhu:

Pendapat pertama: Membaca bismillah hukumnya wajib, ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dalilnya adalah riwayat Abdurrahman bin Abu Sa’id Al-Khudri, dari ayahnya, dari kakeknya:

لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah (membaca bismillah). (HR. Ahmad no. 11.372)

Pendapat kedua: Membaca bismillah termasuk mustahab bukan wajib, ini adalah pendapat mayoritas ulama, ini adalah pendapat yang kuat. Berikut alasan kuatnya pendapat kedua ini:

1. Hadits yang dijadikan sandaran pendapat pertama adalah lemah, bahkan Imam Ahmad sendiri tidak men-shahih-kannya:

وروي ابْنُ عَدِىٍّ في “الكامل” 3/1034 عن أَحْمَدَ بْنِ حَفْصٍ السَّعْدِىُّ قَالَ: سُئِلَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَعْنِى وَهُوَ حَاضِرٌ عَنِ التَّسْمِيَةِ فِى الْوُضُوءِ فَقَالَ: لاَ أَعْلَمُ فِيهِ حَدِيثًا ثَابِتًا أَقْوَى شَىْءٍ فِيهِ حَدِيثُ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ رُبَيْحٍ  وَرُبَيْحٌ رَجُلٌ لَيْسَ بِمَعْرُوفٍ. ونقل الترمذي في العلل الكبير 1/113 قول البخاري: ربيح بن عبد الرحمن بن أبي سعيد منكر الحديث

“Ibnu ‘Adi meriwayatkan dalam kitab Al-Kamil 3/1034 dari Ahmad bin Hafsh As-Sa’di, ia berkata: imam Ahmad ditanya tentang hukum tasmiyah ketika berwudhu (dan dia ada pada saat itu), beliau menjawab: Aku tidak mengetahui ada hadits yang shahih tentangnya, hadits yang paling kuat adalah riwayat Katsir bin Zaid dari Rubaih, dan Rubaih adalah seorang yang tidak dikenal. At-Tirmidzi menukilkan dalam kitabnya Al-‘llal Al-Kabir 4/113 perkataan Imam Bukhari: Rubaih bin Abdurrahman adalah munkarul hadits”. (Musnad Imam Ahmad 17/464-465)

Dan juga berkata al-Marrudzi:

لم يصححه أحمد، وقال: ربيح ليس بالمعروف، وليس الخبر بصحيح

“Imam Ahmad tidak menshahihkannya, dan ia berkata: Rubaih tidaklah dikenal, dan khobarnya tidak shahih.” (Musnad Imam Ahmad 17/465)

2. Karena Nabi ketika mengajarkan seseorang berwudhu, beliau memerintahkan:

فَتَوَضَّأْ، كَمَا أَمَرَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Berwudhulah sebagaimana Allah memerintahkanmu.” (HR. Abu Dawud no. 861)

Dan ini merupakan isya’rat kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 yang di dalamnya menyebutkan tentang perintah untuk berwudhu, akan tetapi tidak disebutkan di dalamnya perintah untuk membaca basmalah. (Lihat Al-Majmu’ 1/346-347)

3. Imam Nawawi menyebutkan bahwa seandainya hadits tersebut shahih maka maksudnya adalah penafian kesempurnaan, sehingga maksud sabda Nabi adalah “Tidak sempurna wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah (membaca bismillah)”.

4. Juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rofi’:

إِنَّهَا لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ…

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang di antara kalian sampai ia menyempurnakan wudhu sebagaimana Allah perintahkan, maka hendaknya ia membasuh wajahnya dan tangannya hingga lengannya…” (HR. Abu Dawud no. 858)

Berkata Imam al-Baihaqy: Berdasarkan hadits ini ulama-ulama madzhab Syafi’iyyah berhujjah dalam hukum tidak wajibnya membaca basmalah. (Lihat: Sunan al-Kubro no. 197)

5. Karena di dalam ayat wudhu tidak terdapat perintah membaca basmalah.

6. Dan juga para perawi yang menyebutkan hadits tentang sifat wudhu Rasulullah tidak ada yang menyebutkan ucapan basmalah. Jika basmalah wajib, tentunya akan disebutkan.

c. Mencuci tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan

Dan hukum membasuh kedua telapak tangan ketika memulai berwudhu adalah sunnah sehingga seseorang yang meninggalkan membasuh kedua telapak tangan maka wudhunya tetap sah, dan ini adalah ijma’ atau kesepakatan para ulama.

Berkata Ibnu Al-Mundzir,

أجمع كل من تحفظ عنه من أهل العلم على أن غسل اليدين في ابتداء الوضوء سنة

“Dan telah sepakat semua yang kami ketahui dari kalangan ahlul ilmi bahwa membasuh kedua tangan di permulaan wudhu adalah sunnah.”

d. Berkumur-kumur, menghirup air ke dalam hidung (istinsyaq) an mengeluarkan air tersebut (istintsar)

Hukum madhmadhoh, istinsyaq dan istinstar adalah sunnah.

Catatan:

Terdapat perselisihan ulama dalam masalah (berkumur-kumur) dan istinsyaq. Ada dua pendapat yang kuat dalam masalah ini:

Pendapat pertama: Tidak wajib berkumur-kumur dan istinsyaq, tetapi sunnah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Ibnu al-Humam (ulama madzhab Hanafi) ketika menjelaskan sunnah-sunnah thaharah menyebutkan beberapa perkara di antaranya adalah berkumur dan istinsyaq. (Lihat: Fathul Qodir 1/25)

Al-Qorrofi (ulama madzhab Maliki) mengatakan ketika menjelaskan sunnah-sunnah wudhu di antaranya menyebutkan berkumur dan istinsyaq. (Lihat: Adz-Dzakhiroh 1/174-175)

Hal serupa juga dikatakan oleh Imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa dalam madzhab Syafi’i berkumur dan istinsyag adalah sunnah, ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, (Lihat: al-Majmu’ 1/362)

Dalii-dalil yang menjelaskan tidak wajibnya berkumur dan istinsyaq sangat banyak, di antaranya adalah:

1. Firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak berwudhu maka basuhlah wajah kalian.” (QS. Al-Maidah: 6)

Ayat ini merupakan dalil wajibnya berwudhu, di dalamnya terdapat penyebutan membasuh wajah, tetapi tidak ada penyebutan berkumur dan istinsyaq. Jika dikatakan keduanya termasuk bagian wajah, maka kurang tepat, karena wajah tidaklah dinamakan dengan wajah kacuali untuk muwajahah (berhadapan), sedangkan yang ada di dalam mulut dan hidung bukanlah untuk muwajahah, maka tidak bisa dinamakan wajah.

2. Adapun dari sunnah maka ada hadits dari Ibnu Abbas:

المَضْمَضَةُ والاسْتِنْشَاقُ سُنَّةٌ

“Berkumur dan istinsyaq adalah sunnah” (HR. Ad-Daruquthni no. 282)

Akan tetapi dikatakan bahwa hadits Ini lemah, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Ismail bin Muslim dan Al-Qoshim bin Ghusn, mereka dikatakan lemah. (Lihat: Al-Khilafiyyat Bainal Imamain Asy-Syafi’i Wa Abi Hanifah 1/158)

3. Dan juga riwayat:

فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ عزَّ وجَلَّ

“Berwudhulah sebagaimana Allah memerintahkanmu”. (HR. Abu Dawud no. 861)

Sisi pendalilannya bahwa sabda Rasulullah “Sebagaimana Allah memerintahkanmu”, Yaitu menunjukkan perintah yang ada pada surat al-Maidah ayat 6 dan seperti yang dijelaskan dalam pendalilan pertama bahwa di dalamnya tidak ada penyebutan berkumur dan istinsyaq, karena di dalamnya hanya disebutkan wajah, hal ini dikuatkan dengan riwayat Rifa’ah bin Rafi’:

إِنَّهَا لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Tidak sempurna shalat salah satu di antara kalian sampai menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dengan membasuh wajah dan kedua tangan sampai siku. Dan mengusap kepala. Dan (membasuh) kedua kaki sampai mata kaki.” (HR. Abu Dawud no. 858)

Dan di sini tidak disebutkan berkumur dan istinsyaq.

4. Dan juga diklaim bahwa ini adalah ijma’. Berkata Imam Syafi’i mengklaim hal ini adalah suatu yang disepakati dan tidak ada perselisihan, walaupun beliau sangat menyukai berkumur dan istinsyaq:

وَلَمْ أَعْلَمْ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ عَلَى الْمُتَوَضِّئِ فَرْضًا وَلَمْ أَعْلَمْ اخْتِلَافًا فِي أَنَّ الْمُتَوَضِّئَ لَوْ تَرَكَهُمَا عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا وَصَلَّى لَمْ يُعِدْ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَبْدَأَ الْمُتَوَضِّئُ بَعْدَ غَسْلِ يَدَيْهِ أَنْ يَتَمَضْمَضَ وَيَسْتَنْشِقَ ثَلَاثًا

“Aku tidak mengetahui wajibnya berkumur dan istinsyaq bagi orang yang berwudhu, aku juga tidak mengetahui ada perselisihan bahwa orang yang berwudhu jika meninggalkannya secara sengaja dan lupa kemudian shalat maka tidak perlu mengulangi. Dan Jebih aku sukai orang yang berwudhu untuk memulai dengan berkumur dan istinsyaq setelah membasuh kedua telapak tangannya.” (Al-Umm 1/39)

Berkata Ibnu Hajar tentang perkataan Imam Syafi’i tersebut:

وَهَذَا دَلِيلٌ قَوِيٌّ فَإِنَّهُ لَا يُحْفَظُ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَا التَّابِعِينَ إِلَّا عَنْ عَطَاءٍ وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ رَجَعَ عَن إِيجَابِ الاِعَادِةِ

“Ini adalah dalil yang kuat, karena hal tersebut tidak diketahui dari satupun dari kalangan sahabat dan tabi’in, kecuali dari ‘Atho. Yang benar, beliau rujuk dari pendapat wajibnya mengulang wudhu (jika meninggalkan berkumur dan istinsyaq)”. (Fathul Bari 1/262)

Berkata Ibnu Jarir:

وَأَنْ لَا خَبَرَ عَنْ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْجَبُ عَلَى تَارِكِ إِيصَالِ الْمَاءِ فِي وُضُوئِهِ إِلَى أُصُولِ شَعْرِ لِحْيَتِهِ وَعَارِضَيْهِ , وَتَارِكِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ إِعَادَةَ صَلَاتِهِ إِذَا صَلَّى بِطُهْرِهِ ذَلِكَ

“Tidak ada riwayat dari seorang pun sahabat Rasulullah yang mewajibkan bagi orang yang tidak memasukkan air ketika wudhunya sampai pada pangkal janggutnya dan kedua cambangnya, dan atas orang yang meninggalkan berkumur dan istinsyaq, untuk mengulangi shalatnya jika ia shalat dengan bersucinya itu.”

Kemudian beliau juga berkata:

فَإِنْ ظَنَّ ظَانٌّ أَنَّ فِي الْأَخْبَارِ الَّتِي رُوِيَتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , أَنَّهُ قَالَ: «إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْثِرْ» دَلِيلًا عَلَى وُجُوبِ الِاسْتِنْثَارِ , فَإِنَّ فِي إِجْمَاعِ الْحُجَّةِ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ فَرْضٍ وَاجِبٍ

“Jika ada yang menyangka bahwa riwayat-riwayat dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: Jika salah satu dari kali berwudhu maka bet-istintsar-lah, dijadikan dalil atas wajibnya Istintsar, maka sesungguhnya dalam ijma’ terdapat hujjah bahwa hal itu bukanlah wajib.” Jami’ul Bayan Fii Takwil Al-Quran 19/45)

Akan tetapi pernyataan jjma’ dalam masalah ini kuranglah tepat, sebab sudah ada perselisihan,

Pendapat kedua: Wajibnya berkumur-kumur dan ber-istinsyaq, ini adalah salah satu riwayat dari imam Ahmad yang lain dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq.

Dalil-dalil mereka adalah:

1. Nabi senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.

Sanggahan: Akan tetapi dalil ini dijawab bahwa sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Nabi tidak selalu menunjukkan wajib.

Jawaban: Perbuatan Rasulullah dalam hal Ini adalah bentuk penjelasan dari perintah Allah dalam berwudhu, maka perintah membasuh wajah di dalam ayat yang masih mujmal (global), dijelaskan dengan perbuatan Rasulullah bahwa membasuh wajah termasuk juga berkumur dan Istinsyaq.

2. Allah berfirman (Dan basuhlah wajah wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah, sehingga termasuk dalam keumuman perintah Allah.

Sanggahan: Seperti yang dijelaskan dalam dalil pertama dalam pendapat pertama, karena wajah tidak dinamakan dengan wajah kecuali untuk muwajahah (berhadapan) dan itu tidak terjadi kecuali untuk sesuatu yang zhohir (tampak) saja, sedangkan yang ada di dalam mulut dan hidung bukanlah untuk muwajahah, sehingga tidak bisa dinamakan wajah.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thabari:

وَالْعَرَبُ لَا تُسَمِّي وَجْهًا إِلَّا مَا وَقَعَتْ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ

“Orang Arab tidaklah menamakan wajah kecuali pada sesuatu yang digunakan untuk berhadapan,” (Tafsir At-Thabari 6/84)

Jawaban: Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa wajah pada asalnya adalah “bagian yang hanya digunakan untuk berhadap-hadapan” hanya saja Rasulullah telah menjelaskan dengan perbuatan beliau bahwa wajah dalam berwudhu tidak seperti wajah yang dipahami sesuai makna asal, akan tetapi sudah berubah dan mencakup berkumur dan istinsyaq.

3. Dan juga terdapat riwayat-riwayat dari Nabi yang semuanya datang dalam bentuk perintah.

a. Di antaranya hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتثِرْ

“Jika salah satu di antara kalian berwudhu maka masukkan air ke dalam hidungnya kemudian keluarkan” (HR. Muslim no. 1/212)

b. Juga dari beliau:

مَنْ تَوَضَّأْ فَلْيَسْتَنْثِرْ

“Siapa yang berwudhu maka beristintsarlah.” (HR. Ahmad no. 10.718)

c. Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Laqith bin Sabiroh, bahwasanya Nabi bersabda:

إذَا تَوَضَّأتَ فَمَضْمِضْ

“Jika engkau berwudiu maka berkumur-kumurlah.” (HR. Abu Daud no, 144 dan Al-Baihaqi no. 237, dan dishahihkan oleh Mugholthoy di Syarh Sunan Ibni Maajah 1/270 dan Al-Albani)

Sisi pendalilannya adalah semua dalil-dalil Ini menggunakan perintah, sedangkan perintah menunjukkan hukum wajibnya sesuatu yang diperintahkan, kecuali ada sesuatu yang memalingkannya, Dan Rasulullah memerintahkan agar berwudhu sesuai dengan perintah Allah, sedangkan termasuk dalam perintah Allah adalah mengikuti Rasulullah. Maka perintah-perintah di atas bisa dipahami makna wajib.

Sanggahan: Akan tetapi hal Ini dapat dijawab seperti hal yang telah lalu oleh ibnu Jarir:

فَإنَّ فِيْ إِجْمَاعِ الْحُجَّةِ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ وَاجِبٍ

“Maka sesungguhnya dalam ijma’ terdapat hujjah bahwa hal itu bukanlah wajib.” Jami’ul Bayan Fii Takwil Al-Quran 10/45)

Jawaban: Selagi ada perselisihan, maka tidak bisa dikatakan ijma’.

Dari semua pemaparan yang ada maka yang tampak kuat adalah pendapat tidak wajibnya berkumur dan istinsyaq.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top