A. Sifat aqidah
1. Ilmiyyah Qalbiyyah
Aqidah bukanlah permasalahan yang bersifat praktis (amaliah), tetapi ia bersifat ilmiah, yang wajib diyakini setiap muslim di dalam hatinya (qalbiyah). Sebab Allah menyampaikan aqidah ini melalui Kitab-Nya, atau melalui wahyu dari-Nya, kepada Rasulullah.
Pokok-pokok aqidah yang Allah perintahkan supaya kita yakini terangkum dalam firman-Nya:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (al-Qur-an) dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari Rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata: “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, Ya Rabb kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. Al-Baqarah (2): 285)
Mengenai poin-poinnya, semua itu telah dijelaskan oleh Rasulullah pada hadits Jibril yang masyhur:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقدرِ خَيرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”
Dengan demikian, aqidah Islam terdiri dari berbagai masalah ilmiah (keilmuan) yang informasi tentangnya benar berasal dari Allah dan Rasul-Nya, dan wajib terpatri dalam hati seorang muslim sebagai bentuk pembenaran terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
2. Aqidah merupakan keyakinan tanpa keraguan
Agar pokok-pokok kepercayaan di atas menjadi aqidah, kita harus membenarkannya secara yakin, tanpa ragu-ragu. Apabila masih ada keraguan dalam jiwa, maka itu disebut zhann (sangkaan atau dugaan), bukan aqidah.
Dalam kitab al-Mu’jam al-Washith disebutkan:
اَلْعَقِيْدَةُ: اَلْحُكْمُ الَّذِي لاَ يُقْبَلُ الشَّكُّ فِيْهِ لَدَى مُعْتَقِدِهِ
“Aqidah adalah suatu putusan ataupun keyakinan yang tidak diragukan sama sekali tentang kebenarannya oleh setiap orang yang meyakini aqidah tersebut.”
Dalilnya antara lain firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا…
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ….” (QS. Al-Hujurat (49): 15),
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ … (2)
“Alif Lam Mim. Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya ….” (QS. Al-Baqarah (2): 1-2),
Dan firman Allah:
رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ…
“Ya Rabb kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya ….” (QS. Ali Imran (3): 9)
Karena itulah, Allah mencela orang-orang musyrik yang berada dalam keraguan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
…وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“.. Dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan” (QS. At-Taubah (9): 45)
3. Aqidah itu ghaib, tidak bisa dilihat dengan kasat mata
Perlu diperhatikan bahwa hal-hal yang wajib diyakini dalam aqidah adalah masalah ghaib yang tidak dapat disaksikan dan dilihat oleh mata Itulah yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya ketika menjelaskan ciri-ciri orang-orang beriman:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ…
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib ….” (QS. Al-Baqarah (2): 3)
Dengan demikian, Allah adalah ghaib, demikian pula para Malaikat serta hari Kiamat. Adapun Kitab-kitab dan para Rasul, boleh jadi kita lantas memahaminya bahwa keduanya itu dapat disaksikan dan dilihat Tetapi, yang dimaksud beriman kepada para Rasul dan Kitab-kitab di sini ialah mengimani penisbatan mereka kepada Allah. Dalam arti bahwa para Rasul tadi diutus oleh Allah dan Kitab-kitab diturunkan oleh-Nya pula, dan ini adalah masalah yang bersifat ghaib, yang tidak terjangkau pancaindera.
4. Aqidah yang benar dan aqidah yang salah
Aqidah bukan hanya menjadi karakteristik agama Islam, tetapi juga karakteristik setiap penganut agama dan madzhab. Mereka pun pasti memiliki aqidah yang dijadikan sebagai landasan dalam kehidupannya. Kepemilikan aqidah ini mencakup perorangan maupun kelompok. Sejak makhluk diciptakan pertama kali hingga hari ini bahkan sampai Rabb kita mewarisi bumi dan semua yang ada di atasnya.
Aqidah terbagi menjadi dua macam, yaitu: aqidah yang benar dan aqidah yang salah.
Pertama: Aqidah yang benar.
Adalah aqidah yang dibawa para Rasul yang mulia. Yaitu satu aqidah yang sama, karena diturunkan dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti yaitu Allah. Maka tidak masuk akal jika terjadi perbedaan aqidah antara satu Rasul dengan Rasul lainnya, juga dari satu zaman ke zaman lainnya.
Kedua: Aqidah yang salah.
Terlepas dari seberapa banyak jumlah dan ragamnya. Letak kesalahannya adalah karena aqidah ini merupakan hasil pemikiran manusia serta produk para intelektual dan pemikir mereka. Sebesar apa pun kedudukan yang dicapai oleh penganutnya dalam masalah ini, tetap saja ilmu yang dimilikinya tidak bisa terlepas dari keterbatasan dan keterikatan. Di samping itu juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka yang berupa adat, tradisi, dan persepsi.
Adakalanya kesalahan aqidah terjadi karena intinya diselewengkan, diubah-ubah, dan diganti, sebagaimana yang kini terjadi pada aqidah orang-orang Yahudi dan kaum Nasrani. Kedua aqidah agama ini telah diselewengkan sejak lama, sehingga kesalahan keduanya itu adalah akibat adanya tindak penyelewengan tersebut, meski asalnya mereka merupakan aqidah yang benar.
Aqidah yang benar sekarang hanya ditemukan dalam agama Islam, karena Islamlah satu-satunya agama yang terpelihara, yang dijamin kemurniannya oleh Allah sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur-an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15): 9)
Berbeda dengan aqidah-aqidah selain aqidah Islam, walau pada sebagiannya terdapat sedikit kebenaran, tetapi ia tidak bisa mewakili dan tidak mampu menampakkan kebenaran yang hakiki.
Jadi, siapa saja yang ingin mengenal aqidah yang benar, ia tidak akan bisa menemukannya di dalam aqidah Yahudi, kepercayaan umat Nasrani, atau dari perkataan para filosof. Namun dia hanya akan bisa menemukannya dalam Islam, tepatnya pada dua sumber utama agama ini, yaitu al-Qur-an dan as-Sunnah. Keduanya selalu dalam kondisi yang murni, segar, jernih, dan bercahaya. Kedua sumber ini juga mampu memuaskan akal hamba dengan berbagai hujjah dan bukti konkret berupa dalil-dalil yang datang dari Allah dan dari Rasul-Nya sehingga mengisi hati dengan keimanan, petunjuk, keyakinan, cahaya, dan kehidupan.
Demikian sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (al-Qur-an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (al-Qur-an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al-Qur-an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura (42): 52)
B. Urgensi Aqidah Islam
Aqidah Islam merupakan sesuatu yang urgen bagi kehidupan seorang manusia, seperti kebutuhannya terhadap air dan udara. Tanpa aqidah, manusia ibarat seseorang yang kehilangan petunjuk, jati diri, dan eksistensinya. Hanya aqidah Islam yang dapat menjawab berbagai pertanyaan yang selalu mengusik pikiran, bahkan membuat setiap orang bimbang.
Di antaranya pertanyaan berikut: Dari manakah asalku? Dari manakah alam semesta berasal? Siapakah yang menciptakannya? Sifat-sifat apa saja yang dimiliki oleh Pencipta? Apa saja nama-nama-Nya? Mengapa Dia menciptakan kita dan alam raya ini? Apakah peran atau tugas kita di alam ini? Apa hubungan kita dengan Pencipta? Adakah dunia lain di samping dunia yang terlihat mata kita? Adakah makhluk yang berakal dan berpikir selain manusia? Apakah setelah kehidupan ini ada kehidupan lain yang akan kita jalani, dan jika jawabannya iya, lantas seperti apa bentuk kehidupan tersebut?
Tidak ada satu aqidah pun selain aqidah Islam yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan tegas dan memuaskan. Setiap orang yang tidak mengetahui atau tidak meyakini aqidah Islam ini, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi penyair yang frustasi, yang tidak mengetahui apa-apa.
Hanya melalui Islam manusia mengetahui dari mana dia datang dan ke mana dia akan kembali, mengapa pula dia ada atau diciptakan dan apakah perannya di dunia ini. Dia akan mengetahui hal itu dengan sebenar-benarnya dan seyakin-yakinnya, setelah memahami ajaran-Nya secara utuh. Memang, berbeda antara orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui.
Allah berfirman:
أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Al-Mulk (67): 22)