a. Hukumnya.
Mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah mustahab. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang banyak tentang keutamaan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu. Diantaranya:
Pertama: Hadits Humran, bekas budak ‘Utsman bin Affan:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian bangkit dan shalat dua rakaat dengan tidak berkata-kata dalam hati, maka diampuni dosa-dosanya vang telah lalu”. HR. Muslim no. 226
Kedua: Hadits Uqbah bin Amir:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian bangkit dan shalat dua rakaat dengan menahadirkan hati dan wajahnya, melainkan ia berhak mendapatkan surga.” HR. Muslim no. 234
Ketiga: Hadits Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh:
يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي: أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا، فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
“Wahai Bilal! Ceritakan kepadaku amal yang paling diharapkan ganjarannya (di sisi Allah) dalam Islam, karena sesungguhnya aku mendengar suara sandalmu (langkah kakimu) di depanku di surga”. Maka Bilal berkata: “Tidaklah aku mengamalkan satu amal yang paling aku harapkan ganjarannya (di sisi Allah) lebih dari (amalan ini yaitu) tidaklah aku berwudhu dengan sempurna pada waktu malam atau siang, melainkan aku mengerjakan sholat dengan wudhu itu sesuai apa yang ditetapkan Allah bagiku untuk aku kerjakan.
Faedah dari hadits-hadits shalat dua rakaat setelah wudhu, di antaranya:
1. Ganjaran yang besar dari shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu.
2. Nabi mendengarkan langkah kaki Bilal di surga, ini adalah dalam mimpi beliau. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qostholani: “Sebagaimana yang tercantum dalam shahih Muslim adalah “ketika tidur”, karena tidak ada satu orang pun yang masuk surga, sekalipun Rasulullah memasukinya dalam keadaan sadar sebagaimana yang terjadi ketika mi’roj, adapun Bilal, maka ia belum masuk surga. (Irsyaadu As-Saari Li Syarhi Shohiih Al-Bukhoori 2/326)
3. Motivasi agar senantiasa menjaga amalan tersebut karena ganjarannya sangat besar.
4. Dua rakaat setalah wudhu menjadikan seorang diampuni dari dosa-dosa yang telah lalu. Yang dimaksud dengan dosa-dosa tersebut adalah dosa kecil, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi: “Yang dimaksud dari ampunan (dari dosa-dosa) adalah dosa-dosa kecil bukan yang besar.” (Syarh An-Nawawi ‘Alaa Muslim 3/108)
5. Hadits-hadits di atas memberikan semangat kepada kaum muslimin agar senantiasa menjaga kesuciannya (dalam keadaan memiliki wudhu).
6. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal shalih yang dikerjakan secara tersembunyi. ini lebih utama daripada amal shalih yang dikerjakan secara terang-terangan, karena amalan yang dikerjakan oleh Bilal tidak diketahui oleh orang lain kecuali setelah Nabi bertanya kepadanya, sehingga menunjukkan bahwa Bilal tidak menampakkan amalan tersebut.
7. Perbuatan yang dikerjakan oleh Sahabat Rasulullah dan tidak diingkari oleh Nabi adalah termasuk Sunnah yang disyariatkan dalam Islam, karena Rasulullah tidak mungkin mendiamkan dan membenarkan perbuatan yang salah. Apa yang dilakukan Bilal bisa jadi dua kemungkinan:
a. Bilal berijtihad melakukan shalat sunnah wudhu, lalu ia mengabarkan kepada Nabi dan Nabi membenarkan ijtihad beliau tersebut, atau:
b. Bilal memang sudah mendengar dari Nabi tentang keutamaan shalat sunnah wudhu, lalu iapun mengamalkannya. Hanya saja Nabi tidak tahu amal apakah yang dilakukan Bilal sehingga menyebabkan Bilal masuk surga. Dan kemungkinan kedua inilah yang lebih tepat, karena dalam hadits tidak ada isyarat sama sekali bahwa shalat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal.
8. Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan agungnya keutamaan Sahabat yang mulia, Bilal bin Rabah.
9. Dua rakaat setelah wudhu bisa dikerjakan kapan saja. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bilal: “Tidaklah aku berwudhu dengan sempurna pada waktu malam ataau siang”. Bahkan sekalipun dikerjakan di waktu terlarang, maka tidak mengapa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah: “Dianjurkan shalat dua rakaat setelah berwudhu meskipun pada waktu yang dilarang, ini adalah pendapat Syafiiyyah.” (Al-Fatawa Al-Kubro 5/345)
10. Terdapat anjuran untuk senantiasa tunduk dan khusyu’ dalam beribadah sebagaimana yang tercantum dalam hadits Uqbah bin Amir: “Dengan menghadirkan hati dan wajahnya”. Imam An-Nawawi menjelaskan maksudnya: “Nabi telah menggabungkan dengan dua lafaz ini berbagai macam ketundukkan dan kekhusyu’an, karena ketundukkan terdapat pada anggota tubuh dan khusyu’ terdapat pada hati.” (Syarh An-Nawawi ‘Alaa Muslim 3/747)
b. Jumlah rakaat
Minimal dua rakaat, sebagaimana yang tercantum dalam hadits Humron dan Uqbah bin Amir di atas. Maksimal tidak ada batasannya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah tentang amalan Bilal di atas.
c. Tempat
Shalat 2 rakaat setelah wudhu ini bisa dikerjakan di mana saja. Bisa dikerjakan di masjid maupun di rumah, namun jika dikerjakan di rumah maka ini lebih utama.
Karena di rumah lebih tertutup dari pandangan manusia dan lebih mendekatkan seseorang pada keikhlasan, berdasarkan hadits Bilal di atas. Juga Nabi menganjurkan untuk mengerjakan shalat-shalat sunnah dikerjakan di rumah dan tidak menjadikan rumah seperti kuburan.
d. Waktu
Waktunya bisa dikerjakan kapan saja. Yaitu setiap kali selesai berwudhu dan belum ada jeda waktu yang lama antara wudhu dengan shalat sunnah setelah wudhu tersebut.
Di antaranya adalah shalat sunnah wudhu setelah melakukan wudhu dan sebelum berselang waktu lama. Dan itu bisa terealisasi dengan shalat tahiyatul masjid, yaitu jika seorang melaksanakan shalat lain setelah wudhu, baik shalat wajib maupun sunnah. Maka (pembahasannya) seperti pada pembahasan tahiyatul masjid dari sisi mendapatkan pahala dan gugurnya pelaksanaan.” (Nihayatuz Zain hlm. 104)
e. Permasalahan
1) Menggabungkan niat shalat sunnah setelah wudhu dengan shalat sunnah lain
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ menjelaskan: “Jika seorang muslim berwudu lalu masuk masjid setelah azan Zhuhur. Kemudian shalat dua rakat dengan berniat untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid, sunnah wudhu dan sunnah Zhuhur, maka dua rakaat tersebut mencukupi ketiganya.
Berdasarkan sabda Nabi, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niat, dan masing-masing orang tergantung apa yang diniatkan.” Hanya saja, disunnahkan baginya untuk melaksanakan dua rakaat lainya sebagai bentuk penyempurnaan rawatib qabliyah Zhuhur. Karena Nabi biasanya selalu shalat (sunnah) sebelum Zhuhur sebanyak empat rakaat.”
2) Mengerjakan shalat sunnah wudhu di waktu terlarang
Menurut pendapat yang terkuat bahwasanya shalat-shalat sunnah karena sebab boleh dikerjakan meskipun di waktu terlarang. (silahkan lihat pembahasan hukum shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarang).