SHALAT MUSAFIR

mountains, lake, alpine lake, nature, landscape, water, sky, alpine, clouds, colorado, crested butte, glacier lake, mobile wallpaper, android wallpaper, iphone wallpaper, mobile wallpaper, mobile wallpaper, mobile wallpaper, mobile wallpaper, mobile wallpaper

1. Pendahuluan

Safar dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Isfaar, yang artinya adalah الانكشاف “Tersingkap” dan الجلاء “Kejelasan”. Hal ini karena dengan safar orang-orang meninggalkan tempat tinggalnya sehingga tempat tinggalnya tersingkap, atau dengan safar tersingkap wajah dan akhlak seseorang, sehingga menjadi nampak apa saja yang sebelumnya tersembunyi.

Ketika safar seorang akan jauh dari teman-temannya dan hal-hal yang biasa ia temui, sehingga ia akan menemukan kesusahan, letih, dan sebagainya, inilah yang dimaksud dengan adzab dalam sabda Rasulullah:

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

“Safar adalah potongan dari adzab, karena mencegah seorang dari makanan, minuman dan tidurnya, jika ia sudah menyelesaikan kebutuhannya, maka hendaklah segera kembali kepada keluarganya”. HR. Bukhari no. 1.804 dan Muslim no. 1.927.

Karenanya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya menurunkan syariat yang mudah dan ringan, sehingga dalam kondisi musafir, seorang mendapatkan tambahan keringanan padahal sebelumnya syariat sudah ringan. Keringanan yang didapatkan oleh seorang musafir adalah:

a. Qashar shalat empat rakaat;

b. Jama’ antara dua shalat:

c. Boleh berbuka puasa di siang Ramadhan;

d. Boleh mengusap dua sepatu selama tiga hari;

e. Tidak wajib shalat jum’at.

Ibnu Rajab menerangkan bahwa safar itu sendiri merupakan sebab dikabulkan doa, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَقُولُ: ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ ، دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga doa yang mustajab: doa orang puasa, doa orang musafir dan doa orang terzhalimi”. HR. Abu Dawud no. 1.536, Tirmidzi 3442 dan beliau menilai hadits ini hasan.

Diriwayatkan juga semacam ini dari lbnu Mas’ud: “Jika safar semakin jauh, maka semakin lebih mustajab doanya: karena saat itu kondisi jiwa seorang lemah disebabkan semakin asing dari daerah asalnya”.

2. Hukum-Hukum Seputar Musafir

a. Hukum meng-qashar shalat

Para ulama sepakat bahwa qashar shalat ketika safar disyariatkan, mereka juga sepakat bahwa shubuh dan maghrib tidak bisa diqashar. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hukum qashar shalat! Pendapat yang kuat: Hukum mengqashar shalat adalah sunnah dan menyempurnakannya (menjadi 4 rakaat) adalah makruh. Wallahu a’lam. 

Perselisihan Ulama tentang Qashar:

1. Qhasar hukumnya fardhu ‘ain. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, madzhab zhahiriyah.

2. Qashar dan itmam (empat rakaat) keduanya wajib mukhayyar (boleh  memilih antara keduanya seperti dalam hukum kaffarah) ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.

3. Qashar adalah sunnah. Ini riwayat yang paling masyhur dari imam Malik, dan merupakan pendapat Hanabilah.

4. Qashar adalah rukhshah (keringanan) dan itmam (menyempurnakan 4 rakat) lebih utama. Ini adalah pendapat yang paling masyhur dari riwayat Syafi’iyah.

Sebab perbedaan pendapat tersebut terbagi menjadi tiga poin utama: (Lihat: Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd hlm. 401-403)

1. Tujuan dari qashar shalat bagi musafir adalah rukhshah disebabkan adanya kesusahan, sebagaimana halnya keringanan untuk tidak berpuasa, dikuatkan dengan hadits Ya’la bin Umayyah: Aku berkata kepada Umar bin Khatthab tentang ayat:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat jika kamu takut diserang orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)

Padahal manusia sudah dalam keadaan aman. Maka Umar berkata: aku juga dahulu heran sebagaimana engkau heran, maka aku bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, lantas beliau bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Itu adalah sedekah yang Allah berikan untuk kalian, maka terimalah sedekah-Nya”. (HR. Muslim no. 686, Abu Dawud no. 1.199 dan lainnya.)

Sehingga qashar adalah keringanan dan keringanan tidak wajib dilakukan.

2. Mafhum dalil di atas menunjukan bahwa qashar adalah rukhshah (dari empat rakaat menjadi dua rakaat). Namun ada dalil yang bertentangan dengan mafhum tersebut, yang menunjukkan bahwa shalat pada asalnya memang dua rakaat, bukan empat. Sehingga qashar bukanlah rukhshah, tapi azimah (hukum asal). Yaitu hadits Aisyah yang telah disepakati keshahihannya, beliau berkata:

فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ

“(Awalnya) shalat diwajibkan dalam dua rakaat-dua rakaat ketika safar maupun tidak safar, kemudian ditetapkanlah shalat safar demikian, dan ditambah untuk shalat tidak safar”. (HR. Bukhari no. 1.084 dan Muslim no. 695)

Diriwayatkan juga dari sejumlah sahabat bahwa mereka menyempurnakan shalat di belakang Utsman bin Affan ketika shalat di Mina, (Lihat HR. Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685) para sahabat shalat empat rakaat di belakang beliau sedangkan mereka mengingkarinya dalam hati, bahkan lbnu Masud mengucapkan istirja’. Tapi ini bisa dijawab bahwa mereka melakukannya karena mengikuti imam, hanya saja ini menunjukkan bahwa menyempurnakan shalat bukanlah perbuatan maksiat, karena jika menyempurnakan shalat (ketika safar) adalah maksiat tentu para sahabat tidak akan mengikutinya.

3. Perbuatan Rasulullah, setiap kai beliau safar selalu mengqashar shalat, dan tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau menyempurnakan shalat ketika safar.

Ibnul Qayyim menyebutkan: “Rasulullah mengqashar shalat yang empat rakaat dengan mengerjakan dua rakaat ketika keluar untuk safar sampai kembali ke Madinah, dan tidak ada yang benar satupun bahwa beliau menyempurnakan shalat yang empat rakaat ketika safar, adapun hadits ‘Aisyah bahwa Nabi mengqashar dan menyempurnakan ketika safar, berbuka dan berpuasa, maka tidak shahih. Aku mendengar syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata: ini adalah dusta atas nama Rasulullah”. (Zadul Ma’ad 1/472 cet. Ar-Risalah)

Adapun hadits Anas bin Malik dalam Shahih Bukhari:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami dahulu safar bersama Nabi, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa”. (HR. Bukhari no. 1.947) Maka hadits ini tidak menyebutkan tentang qashar atau itmam, dan riwayat Anas yang menyebutkan qashar atau itmam tidak shahih.

b. Jarak safar yang boleh qashar

Terdapat silang pendapat antara ulama dalam jarak safar yang boleh qashar shalat. Ada beberapa pendapat, namun pendapat yang terkuat adalah Safar tidak memiliki batas tertentu, boleh mengqashar di tiap perjalanan yang disebut dengan safar. Ini adalah pendapat Zahiriyah dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Tiamiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim.

Hal ini karena syari’at tidak pernah memberi batasan jarak tertentu sebagai jarak safar. Karenanya jika seseorang secara ‘urf masyarakat sudah dikatakan musafir maka ia sudah menempuh jarak safar. Dalil mereka adalah:

1) Firman Allah:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kamu bepergian (bersafar) di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat…” (QS. An-Nisa’: 101)

Zhahir ayat ini menunjukkan bahwa qashar berkaitan dengan setiap bepergian di bumi tanpa ada batas tertentu.

2) Nabi tidak memberi batas qashar baik dengan waktu maupun tempat, tapi dikaitakan dengan nama safar yang mutlak, maka tidak boleh membedakan antara satu macam dengan lainnya tanpa dalil syar’i, yang wajib adalah memutlakkan apa yang dimutlakkan oleh syariat dan membatasi apa yang diberi batasan.

3) Riwayat dari Ibnu Umar:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Aku menemani Rasulullah, ketika safar beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat, dan aku juga menemani Abu Bakar, Umar dan Utsman begitu pula”.  HR. Bukhari no. 1.102 dan Muslim no. 689.

4) Diriwayatkan bahwa Nabi mengqashar pada jarak kurang dari batas-batas yang telah ditentukan di atas:

Dari Anas, ia berkata: “Dahulu Rasulullah jika keluar dalam jarak 3 mil atau 3 farsakh, beliau menunaikan shalat dua rakaat.” Ini menunjukkan bahwa qashar berkaitan dengan safar mutlak, sekalipun 3 mil atau tiga farsakh. Al-Hafidz berkata: “Ini adalah hadits paling shahih dan paling jelas yang menunjukkan hal ini.”

Dari Anas juga, ia berkata: “Aku shalat Zhuhur bersama nabi di Madinah empat rakaat, dan shalat ashar di Dzul Hulaifah dua rakaat, dan antara keduanya berjarak 3 mil.”

5) Seandainya safar memiliki batasan niscaya Rasulullah tidak akan lalai dalam menjelaskannya.

6) Batasan dengan perjalanan dan hari bukan suatu yang paten juga, karena bisa berubah tergantung kecepatan kendaraan dan jenisnya dan faktor lain.

Sehingga qashar shalat boleh dilakukan pada setiap bepergian yang disebut dengan safar, baik jarak tersebut pendek atau panjang, karena tidak ada juga batasan dari sisi bahasa, sehingga bisa berbeda tergantung masa yang selalu berkembang dengan sarana transportasi. Standarnya adalah jika seorang berkata: “Aku safar ke negara ini”, bukan hanya bilang pergi, dan hendaklah hal itu dianggap oleh adat kebiasaan sebagai safar, seperti dengan mempersiapkan bekal dan semisalnya.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan jarak safar:

1) Jika seseorang bersafar dengan jarak lebih dari 80 km maka tidak usah ragu bahwa ia sedang bersafar, karena Nabi telah menamakan jarak tersebut dengan safar, berdasarkan hadits Abu Hurairah:

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

“Tidak halal bagi wanita beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar dalam jarak sehari semalam tanpa mahram”

2) Demikian juga jika sesoerang bepergian kurang dari 4 burud (80 km) dan menurut ‘urf belum termasuk safar maka yakinlah bahwa statusnya bukanlah musafir. Sebagai contoh hingga saat ini jika seseorang bepergian dari Jogja ke Bantul atau ke Prambanan maka jaraknya kurang dari 80 km, dan masyarakat tidak menganggapnya sebagai safar.

3) Jika seseorang bepergian jauh kurang dari 80 km namun menurut ‘urf masyarakat sudah termasuk safar. Maka menurut pendapat yang kuat jarak ini sudah termasuk safar

4) Yang menjadi ukuran ‘urf adalah ‘urf masyarakat umum bukan ‘urf tradisi perorangan. Sebagai contoh orang yang tinggal di Jakarta jika bepergian ke Bandung maka semua orang sepakat bahwa itu adalah safar. Akan tetapi jika bepergian ke Bekasi (meskipun sudah beda kota) maka hingga saat ini masyarakat tidak menganggap bahwa hal itu adalah safar (bepergian jauh). Maka tidak boleh seseorang menganggap hal itu adalah safar karena menurut “nya” (‘urf pribadi) adalah safar. Karena yang menjadi patokan adalah ‘urf masyarakat bukan ‘urf perorangan.

5) Jika ragu dalam ukuran jarak qashar

Seorang yang ragu dalam ukuran jarak perjalanannya, apakah sudah memasuki batas safar atau belum, maka tidak boleh qashar dan wajib shalat sempurna empat rakaat, ini disebutkan oleh fuqaha Hanabilah, dzahir madzhab Malikiyah, dan disebutkan oleh Imam Syafi’i. Beliau berkata:

وَلَكِنْ إذَا سَافَرَ فِي الْبَحْرِ وَالنَّهْرِ مَسِيرَةً يُحِيطُ الْعِلْمُ أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ فِي الْبَرِّ قُصِرَتْ فِيهَا الصَّلَاةُ قَصَرَ وَإِنْ كَانَ فِي شَكٍّ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَقْصُرُ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ بِأَنَّهَا مَسِيرَةُ مَا تُقْصَرُ فِيهَا الصَّلَاةُ.

“Akan tetapi jika safar di laut atau sungai dengan jarak yang diketahui bahwa seandainya di daratan boleh mengqashar shalat maka ia boleh mengqashar, namun jika ragu maka tidak boleh qashar sampai ia yakin bahwa ia mencapai jarak qashar shalat”.

Dan ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Yaitu asalnya seseorang tidak dalam kondisi musafir sehingga ia harus shalat dengan sempurna (4 rakaab), maka ia tidak boleh keluar dari hukum asal hingga yakin bahwa statusnya sudah menjadi musafir.

6) Disyaratkan untuk boleh qashar harus meniatkan pergi menempuh jarak qashar, jadi kalau ada orang keluar rumah lalu tersesat, atau untuk kebutuhan tertentu dan tidak berniat menempuh jarak qashar, maka tidak boleh mengqashar. Ini berdasarkan kesepakatan madzhab fiqih empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

7) Selama status seseorang adalah musafir (safar dalam rangka apapun, sekalipun dalam rangka maksiat) Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Hal ini karena asal mula shalat disyariatkan dua rakaat, bukan empat rakaat, sekalipun orang tersebut melakukan safar maksiat.

Macam-Macam Safar:

1. Safar Haram. Yaitu melakukan safar untuk melakukan apa yang diharamkan Allah atau Rasul-Nya, Contohnya safar untuk berdagang khamr, barang-barang haram, merampok, atau wanita yang safar tanpa mahram.

2. Safar wajib. Seperti safar untuk menunaikan kewajiban haji, umrah wajib, atau jihad wajib.

3. Safar Mustahab. Seperti safar untuk umrah sunnah, haji sunnah, atau jihad sunnah.

4. Safar Mubah. Seperti safar untuk perdagangan yang mubah dan untuk setiap hal yang hukumnya diperbolehkan.

5. Safar Makruh. Seorang safar sendiri pada malam hari tanpa kawan kecuali untuk urusan yang mendesak, berdasarkan sabda Rasulullah:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ، مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ

“Sekiranya manusia mengetahui apa yang aku ketahui dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang yang berjalan dengan kendaraan pada malam hari sendirian”. (HR. Bukhari no. 2.998)

Adapun pendapat jumhur ulama maka tidak disyariatkan qashar kecuali pada safar wajib atau mubah, tidak boleh pada safar maksiat, seperti perampok dan semisalnya. Ini adalah madzhab Malik, Syafi’i dan Ahmad. (Bidayatul Mujtahid 1/244, Al-Majmu’ 4/201, Al-Mughni 2/101, Kasyyaful Qina’ 1/324)

Alasan mereka adalah karena qashar adalah rukhsah dan tujuannya adalah untuk meringankan beban taklif, dan hanya disyariatkan agar mendapat maslahat, maka tidak berhak didapatkan kecuali untuk orang yang melakukan ketaatan, dan tidak berhak didapatkan oleh orang yang menggunakannya untuk mengundang kemurkaan Allah.

Namun yang lebih kuat adalah pendapat pertama karena masalah qashar shalat berkaitan dengan status seseorang musafir atau bukan, bukan berkaitan dengan tujuan safarnya. Wallahu a’lam.

c. Dari mana memulai qashar ketika safar?

Jika seorang musafir telah keluar dari kotanya maka ia sudah boleh mulai mengqashar shalat. Hal ini berdasarkan hadits Anas berikut:

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا، وَبِذِي الحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

“Aku shalat Zhuhur bersama Nabi di Madinah empat rakaat, dan di dzul Hulaifah dua rakaat”.

Ini jelas menunjukkan bahwa nabi memulai qashar setelah keluar dari kota Madinah. Karena ketika itu posisi Dzulhulaifah (yang jauhnya sekitar 6 mil atau 11 km) di luar kota Madinah.

Yang menjadi patokan adalah benar-benar keluar dari kota yang ia tinggali. Demikian pula musafir jika pulang dari safarnya maka ia masih terus boleh mengqashar shalat hingga ia benar-benar telah masuk ke kota tempat tinggalnya, bukan sekedar melihat dari kejauhan bangunan-bangunan yang ada di kotanya, berdasarkan riwayat berikut:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ عَلِيٍّ، وَنَحْنُ نَنْظُرُ إلَى الْكُوفَةِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُوَ يَنْظُرُ إلَى الْقَرْيَةِ، فَقُلْنَا لَهُ: أَلَا تُصَلِّي أَرْبَعًا؟ قَالَ: لَا، حَتَّى نَدْخُلَهَا

“Dari Ali bin Rabi’ah Al-Asadi berkata: Aku keluar bersama Ali dan kami melihat ke Kufah, beliau pun shalat dua rakaat, kemudian kembali dan shalat dua rakaat, ketika beliau melihat ke kota, kami bertanya kepadanya tidakkah engkau shalat empat rakaat?’, Beliau pun menjawab ‘sampai’.”

Ada beberapa pendapat mulai kapan seseorang yang bersafar sudah boleh mengqashar shalat.

Pertama: Meskipun masih di rumah jika tujuannya memang bersafar, maka ia sudah boleh mengqashar shalat di rumahnya. Ini adalah pendapat sebagian salaf.

Kedua: la sudah boleh mengqashar jika ia telah naik tunggangan atau kendaraannya.

Ketiga: Jika ia keluar dari rumah siang hari maka ia hanya boleh mengqashar jika telah masuk malam hari. Dan jika ia keluar di malam hari maka ia tidak boleh mengqashar keculai jika telah masuk siang hari. Ini adalah pendapat Mujahid.

Keempat: Jika ia telah meninggalkan dinding rumahnya maka ia sudah boleh mengqashar. Ini adalah pendapat Atha’ (semua pendapat di atas sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi di Al-Majmuu’ 4/349 dan lbnu Hajar di Fathul Baari 2/569-570)

Kelima: Jika ia telah keluar bangunan negerinya (إذا فارق عامرَ قريتِه) atau hingga dia keluar dari negerinya (حتى يبرز من البلد) dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Inilah pendapat yang benar.

Ibnu Hajar berkata:

أَنَّ الْقَصْرَ يُشْرَعُ بِفِرَاقِ الْحَضَرِ وَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقْصُرْ حَتَّى رَأَى ذَا الْحُلَيْفَةِ إِنَّمَا هُوَ لِكَوْنِهِ أَوَّلَ مَنْزِلٍ نَزَلَهُ وَلَمْ يَحْضُرْ قَبْلَهُ وَقْتُ صَلَاةٍ وَيُؤَيِّدُهُ حَدِيثُ عَائِشَةَ فَفِيهِ تَعْلِيقُ الْحُكْمِ بِالسَّفَرِ وَالْحَضَرِ فَحَيْثُ وُجِدَ السَّفَرُ شُرِعَ الْقَصْرُ

“Sesungguhnya qashar disyariatkan dengan meninggalkan al-hador (iqamat). Adapun Nabi tidak shalat qashar hingga melihat Dzulhulaifah hanyalah karena itu adalah tempat pertama beliau singgah, dan sebelumnya belum tiba waktu shalat. Hal ini didukung dengan hadits ‘Aisyah bahwasnya hukum dikaikan dengan safar dan iqamat, maka kapan ada safar maka disyariatkan qashar.” (Fathul Baari 2/570)

Namun perlu diingat bahwa di zaman Nabi namanya kota hanyala kota kecil dan tidak seluas kota-kota sekarang yang bisa panjangnya puluhan kilometer. Dan kota-kota sekarang terdiri atas kecamatan-kecamatan atau kota-kota kecil. Seperti DIY terdiri atas Kota Jogjakarta, Kota Sleman, Kota Bantul, Kota Kulon Progo, dan Kota Gunung Kidul. Jika seseorang hanya boleh mengqashar jika telah meninggalkan kota DIY, itu berarti ia harus berjalan berpuluh-puluh kilo baru boleh mengqashar. Tentu hal ini bertentangan dengan tujuan disyariatkannya qashar itu sendiri, yaitu untuk memudahkan. Wallahu a’lam.

Selain itu pendapat sebagian salaf (seperti bolehnya mengqashar meski masih di rumah, atau jika sudah naik kendaraan, atau jika telah meninggalkan dinding rumahnya) ini semua dibangun diatas memberikan keringanan bagi orang yang bersafar. Karenanya jika seseorang tinggal di Sleman lantas ia telah meninggalkan Sleman dan telah masuk di Gunung Kidul maka ia sudah boleh qashar insya Allah.

Jika dari Sleman mau ke Jakarta, maka di bandara YIA sudah boleh qashar in sya Allah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top