a. Penjelasan
Shalat malam adalah shalat yang dikerjakan dua rakaat-dua rakaat yang jumlah rakaatnya tidak terbatas, dikerjakan antara Isya hingga terbitnya fajar.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:
صلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat….” (HR. Bukhari 2/24 no. 990 dan Muslim 1/516 no. 749)
Shalat witir
Witir secara bahasa dijelaskan oleh Ibnu Manzhur:
الوِترُ والوَتر: الفَرْدُ أَوْ لَمْ يَتَشَفَّعْ من العددِ
“Al-witru dan al-watru adalah sendiri atau bilangan yang tidak digenapkan.”
Adapun secara istilah, shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat isya dan terbitnya fajar, yang menjadi penutup shalat malam.
Perbedaan antara shalat malam dan shalat witir
Berkata Syaikh ‘Utsaimin: “Sunnah (dari Nabi) dalam ucapan maupun perbuatan membedakan antara shalat malam dan shalat witir, begitu juga para ulama membedakan antara keduanya secara hukum dan tata caranya.
a) Sunnah ucapan, dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi tentang shalat malam, beliaupun menjawab:
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Shubuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk menjadikan ganjil shalat yang telah dia lakukan.” (HR. Bukhari 2/24 no. 990 dan Muslim 1/516 no. 749)
b) Sunnah perbuatan, dalam hadits Aisyah, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ
“Dahulu Nabi shalat, sedangkan aku sedang tidur terlentang di atas kasurnya, dan jika beliau hendak witir maka beliau membangunkanku hingga aku juga shalat witir.” (HR. Bukhari no. 512 dan Muslim no. 512)
Dan diriwayatkan juga darinya, bahwasanya Rasulullah shalat malam 13 rakaat, dan shalat witir 5 rakaat dari 13 tersebut dan beliau tidak duduk kecuali di akhirnya.
Dan diriwayatkan darinya ketika Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir bertanya kepadanya:
يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنْبِئِينِي عَنْ وِتْرِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتِ: كُنَّا نَعُدُّ لَهُ سِواكه وطَهُوره، فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ لِمَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُصَلِّي ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيهِنَّ إِلَّا عِنْدَ الثَّامِنَةِ، فَيَجْلِسُ وَيَذْكُرُ رَبَّهُ تَعَالَى وَيَدْعُو ثُمَّ يَنْهَضُ وَمَا يُسَلِّمُ. ثُمَّ يُصَلِّي التَّاسِعَةَ فَيَقْعُدُ فيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُه وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا
“Wahai Ummul Mu’minin, beritahu aku tentang witir Rasulullah.” Ia menjawab: ‘Kami menyiapkan untuknya siwak dan untuk bersucinya, maka Allah membangunkan beliau dengan kehendak-Nya pada waktu malam, beliau bersiwak, berwudhu, dan shalat sembilan rakaat, beliau tidak duduk kecuali di rakaat ke delapan, lalu ia berdzikir, bertahmid, dan berdoa kepada-Nya, lalu bangkit tanpa salam, lalu berdiri untuk shalat rakaat yang kesembilan, lalu beliau duduk, berdzikir, bertahmid, dan berdoa kepada-Nya lalu salam dengan sekali salam yang bisa kami dengar’.” (HR. Muslim no. 746)
C) Secara hukum, sesungguhnya para ulama telah berselisih dalam wajibnya shalat witir, Abu Hanifah berpendapat shalat witir wajib dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Inshaf dan al-Furu’, berkata Ahmad: Siapa yang meninggalkan shalat witir secara sengaja maka dia adalah orang yang buruk, dan tidak layak untuk persaksiannya diterima.
Dan yang terkenal dalam madzhab Hanbali bahwa witir hukumnya sunnah, dan ini adalah madzhab Malik dan Asy-Syafi’i. Adapun shalat malam tidak ada khilaf akan sunnahnya dan tidak wajibnya.
Dalam kitab Fathul Baari disebutkan:
وَلَمْ أَرَ النَّقْلَ فِي الْقَوْلِ بإيجابه الا عَن بعض التَّابِعين قَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ شَذَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ فَأَوْجَبَ قِيَامَ اللَّيْلِ وَلَوْ قَدْرَ حَلْبِ شَاةٍ وَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاعَةُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ
“Aku tidak melihat ada nukilan yang mewajibkannya kecuali dari sebagian tabi’in. Berkata Ibnu Abdil Barr: Sebagian tabi’in syadz dan mewajibkan shalat malam walau sebatas memerah susu kambing. Yang menjadi pendapat mayoritas ulama adalah hukumnya mandub (sunnah).” (Lihat Fathul Baari 3/27)
d) Dari segi tata cara, sangat jelas para ahlu fiqih dari madzhab Hanabilah dalam membedakan keduanya, mereka berkata shalat malam dua rakaat dua rakaat, dan mereka berkata dalam shalat witir: jika berwitir dengan 5 rakaat, 7 rakaat tidaklah duduk kecuali di akhirnya, dan jika berwitir dengan sembilan rakaat maka duduk pada rakaat ke delapan untuk tasyahhud kemudian bangkit tanpa salam ke rakaat sembilan, kemudian duduk tasyahhud dan salam. Ini adalah yang dikatakan oleh penulis kitab Zaadul Mustaqni.
Perberdaan shalat tarawih dengan shalat malam
Pada hakikatnya shalat tarawih termasuk dalam shalat malam, namun perbedaannya hanya dari segi waktu pelaksanaan, shalat tarawih dikerjakan hanya pada bulan Ramadhan, adapun shalat malam di semua bulan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi.
Dan dinamakan tarawih dikarenakan orang-orang yang shalat beristirahat setiap dua kali salam.
Perbedaan antara shalat malam, tahajjud, dan shalat malam
Secara umum shalat malam dan shalat tahajjud sama, namun terdapat perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Hajjaj bin Amr Al-Mazini:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَجَّدُ بَعْدَ نَوْمِهِ، وَكَانَ يَسْتَنُّ قَبْلَ أَنْ يَتَهَجَّدَ
“Nabi melakukan tahajjud setelah bangun dari tidurnya, dan melakukan shalat sunnah sebelum bertahajjud.”
أَيَحْسَبُ أَحَدُكُمْ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنْ قَدْ تَهَجَّدَ إِنَّمَا التَّهَجُّدُ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، ثُمَّ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، ثُمَّ الصَّلَاةُ بَعْدَ رَقْدَةٍ، تِلْكَ كَانَتْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apakah kalian mengira jika seseorang diantara kalian bangkit dari waktu malam lalu shalat hingga waktu shubuh sungguh telah tahajjud? Tahajjud hanya untuk shalat setelah bangun dari tidur, kemudian shalat setelah bangun dari tidur, kemudian shalat setelah bangun dari tidur, itulah shalat Rasulullah.” (HR. Thabrani no. 8670)
Dan juga dalam firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
“Peda sebagian malam bertahajjudlah kamu.” (QS. Al-Isra: 79)
Maka dari sini kita dapat fahami bahwa shalat malam lebih umum daripada shalat tahajjud, karena shalat malam bisa dilakukan sebelum dan sesudah tidur, adapun shalat tahajjud hanya dilakukan setelah tidur.
b. Keutamaannya
Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat malam dan shalat witir, diantaranya:
1) Mendapatkan kedudukan terpuji.
Sebagaimana firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)
2) Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah yaitu Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim 2/821 no. 1163)
3) Termasuk kebiasaan orang-orang yang shalih, sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, juga menggugurkan keburukan serta mencegah dari berbuat dosa.
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَقُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الْإِثْمِ
“Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam, karena dia adalah kebiasaan orang-orang sholeh sebelum kalian, dan dia mendekatkan diri kelada Rabb kalian, dan pelebur atas keburukan-keburukan, dan juga pencegah dari dosa.”
4) Sebab masuk surga.
Rasulullah bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang-orang yang membutuhkan), sambungkanlah silaturrahim, dan shalatlah pada malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Ibnu Majah no. 3251 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
5) Kemuliaan seseorang terletak pada shalat malamnya.
Selain mendapatkan kedudukan mulia di akhirat kelak, orang-orang yang ahli shalat tahajud juga akan mendapatkan kedudukan yang mulia di dunia. Allah akan memberinya kemuliaan dan kewibawaan.
وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ
“Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya.”
c. Hukumnya
Hukum shalat malam sunnah. Ibnu Hajar menjelaskan:
وَلَمْ أَرَ النَّقْلَ فِي الْقَوْلِ بإيجابه الا عَن بعض التَّابِعين قَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ شَذَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ فَأَوْجَبَ قِيَامَ اللَّيْلِ وَلَوْ قَدْرَ حَلْبِ شَاةٍ وَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاعَةُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ
“Aku tidak melihat ada nukilan yang mewajibkannya kecuali dari sebagian tabi’in. Berkata Ibnu ‘Abdil Barr: Sebagian tabi’in syadz dan mewajibkan shalat malam walau sebatas memerah susu kambing. Yang menjadi pendapat mayoritas ulama adalah hukumnya mandub (sunnah).”
Adapun shalat witir terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun yang kuat adalah hukumnya sunnah muakkadah, karena dalam Isro dan Mi’roj Allah tidaklah mewajibkan kepada Nabi Muhammad kecuali lima shalat dalam sehari semalam.
Dan juga Ali berkata:
لَيْسَ الْوَتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الصَّلاةِ، وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Shalat Witir tidak wajib seperti bentuk shalat wajib, namun ia adalah sunnah yang disunnahkan Rasulullah.”
d. Waktunya
Adapun waktunya sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah.
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat atas kalian, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah antara waktu shalat isya sampai shalat fajar.”
Dan waktu yang paling utama untuk melakukannya adalah sesuai dengan kondisi seseorang. Jika ia mampu untuk bangun di sepertiga malam terakhir maka yang utama baginya adalah shalat di sepertiga malam akhir tersebut, karena ini waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa. Adapun jika khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka yang utama baginya adalah di awal malam.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir.
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ، ثُمَّ لِيَرْقُدْ، وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ، فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir kemudian tidur. Siapa yang yakin untuk bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan itu lebih utama.”
e. Jumlah rakaat shalat malam dan witir serta tata caranya
Jumlah rakaat shalat malam tidak dibatasi, adapun tata caranya dua rakaat-dua rakaat, dan ini dilandasi dari hadits Ibnu Umar:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Shubuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah dia lakukan.”
Adapun shalat witir maka terdapat banyak atsar yang menyebutkan bilangan-bilangan rakaat witir:
1) Satu rakaat
Dalilnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di atas. Juga yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshory:
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Shalat Witir wajib bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat, maka kerjakanlah: yang ingin berwitir tiga rakaat, maka kerjakanlah: dan yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!”
2) Tiga rakaat
Ini berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshory di atas:
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa yang ingin berwitir dengan tiga rakaat, maka kerjakanlah”.
Dan ini bisa dilakukan dengan dua cara:
a) Mengerjakannya dengan tiga rakaat sekaligus dengan satu kali tasyahhud, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يونر بثلاث لا يسلم إلآ في آخرهن
“Adalah Rasulullah melakukan shalat witir tiga rakaat, dan tidak salam kecuali di rakaat terakhir”.
b) Mengerjakan 3 rakaat dengan 2 kali tasyahhud dan 2 kali salam yaitu salam di rakaat kedua dan ketiga.
3) Lima rakaat
Cara shalat witir 5 rakaat adalah dilakukan sekaligus dengan sekali tasyahud dan satu salam di akhir, shalat witir dengan 5 rakaat ini dilandasi dengan riwayat Abu Ayyub Al-Anshory di atas:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang ingin berwitir dengan 5 rakaat, maka kerjakanlah”.
Dan tata cara shalatnya dilandasi dari hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُوتِرُ مِنْهَا بِخَمْسٍ ، لاَ يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْخَمْسِ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ
“Adalah Rasulullah melakukan shalat di malam hari, tiga belas rakaat, beliau shalat witir dengan lima rakaat, tidak duduk (tasyahud) kecuali di rakaat terakhir.”
4) Tujuh rakaat
Ada dua cara:
a) Melakukannya 7 rakaat sekaligus, dan tidak duduk kecuali di rakaat ke 6 dan duduk tasyahhud tanpa salam, kemudian bangkit ke rakaat ke 7 kemudian salam.
Hal ini dilandasi dari hadits Abu Hurairah di atas:
أَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ أَو بِسَبْعٍ
“Witirlah kalian dengan 5 atau 7 rakaat.”
Dan tata caranya berlandaskan hadits Aisyah.
فَلَمَّا كَبِرَ وَضَعُفَ أَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ ، لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِي السَّادِسَةِ ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ فَيُصَلِّي السَّابِعَةَ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً
“Ketika Nabi menjadi tua dan melemah, beliau melakukan shalat witir sebanyak 7 rakaat, dan tidaklah duduk kecuali di rakaat ke 6, kemudian bangkit dan tidak salam, dan melakukan rakaat ke 7 kemudian melakukan 1 kali salam.”
b) Bisa juga dengan melaksanakannya langsung dengan sekali tasyahhud dan satu salam, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat lain dari Aisyah ketika ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam:
فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخَذَ اللَّحْمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَقْعُدُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ
“Setelah Rasulullah mencapai umur senja dan bertambah gemuk, beliau mengerjakan witir tujuh rakaat dan tidak duduk (tasyahhud) kecuali di akhirnya.
5) Sembilan rakaat
Dan ini ada dua tata cara:
a) Dengan dua kali tasyahhud, yaitu di rakaat kedelapan dan kesembilan dengan satu kali salam di rakaat terakhir.
b) Dan cara yang kedua dilandasi hadits Aisyah.
ثُمَّ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ. لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا عِنْدَ الثَّامِنَةِ فَيَدْعُو رَبَّهُ، فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ، وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُو رَبَّهُ وَيُصَلِّي عَلَى نَبِيِّهِ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا
“Kemudian shalat witir sebanyak 9 rakaat, tidaklah duduk kecuali di rakaat ke 8, kemudian berdzikir, memuji Allah, dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit dari rakaat ke 8 tanpa salam, lalu melakukan rakaat ke 9, kemudian duduk, berdzikir, memuji Allah dan berdoa kepada-Nya, kemudian mengucapkan salam yang terdengar oleh kami.”
Dan boleh melakukan shalat witir dengan jumlah rakaat lebih banyak lagi.”
Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar, dari As-Saib bin Yazid:
أَنَّ عُمَرَ: جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَعَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةُ يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ
“Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang pada bulan Ramadhan dengan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dary sebagai imam dengan jumlah 11 rakaat, mereka membaca mi’in dan mereka kembali ketika terbitnya fajar.”
f. Permasalahan
1) Qadha shalat witir
Jika seseorang terbiasa melakukan shalat witir lalu ia tertidur dan tidak dapat melakukannya, maka boleh baginya untuk mengqadha shalat witir tersebut setelah terbit matahari dan terangkat, sebelum matahari berada di posisi di tengah (waktu Zhuhur), dikerjakan dengan rakaat genap bukan ganjil.”
2) Bolehnya shalat tarawih lebih dari 11 rakaat
Para ulama telah ijmak (sepakat) akan bolehnya shalat malam (tarawih) lebih dari 11 rakaat. Bahkan yang menukil ijmak tersebut para ulama dari berbagai madzhab fikih. Berikut ini nukilan tersebut:
a) Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata:
وَأَكْثَرُ الْآثَارِ عَلَى أَنَّ صَلَاتَهُ كَانَتْ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَقَدْ رُوِيَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَاحْتَجَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ اللَّيْلِ لَيْسَ فِيهَا حَدٌّ مَحْدُودٌ وَالصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ فَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ وَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَرَ
“Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau adalah 11 rakaat, dan diriwayatkan bahwa 13 rakaat, para ulama berdalil bahwa shalat lail tidak ada batasnya, dan shalat adalah ibadah terbaik, siapa yang berkehendak silahkan menyedikitkan rakaat, dan siapa yang berkehendak maka silahkan memperbanyak rakaat.”
Beliau juga berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لَا حَدَّ وَلَا شَيْءَ مُقَدَّرًا فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ فَمَنْ شَاءَ أَطَالَ فِيهَا الْقِيَامَ وَقَلَّتْ رَكَعَاتُهُ وَمَنْ شَاءَ أَكْثَرَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Para ulama sepakat tidak ada batas atau ukuran dalam shalat lail (malam), mereka juga sepakat bahwa shalat lail sunnah, siapun mau boleh memanjangkan berdiri dan sedikit jumlah rakaatnya, dan siapapun mau boleh memperbanyak ruku’ dan sujud”.
Beliau juga berkata:
وَلَيْسَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ حَدٌّ مَحْدُودٌ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَتَعَدَّى
“Tidak ada batas tertentu dalam jumlah rakaat dalam shalat lail yang tidak boleh dilewati menurut satupun ulama.”
Al-Qadhi Iyadh mengatakan:
ولا خلاف أنه ليس في ذلك حدّ لا يزاد عليه ولا ينقص منه، وأنّ صلاة الليل من الفضائل والرّغائب التي كلّما زيد فيها زيد في الأجر والفضل؛ وإنّما الخلاف في فعل النبيّ صلى الله عليه وسلم وما اختاره لنفسه
“Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batas yang tidak boleh ditambahi dan dikurangi, dan shalat lail termasuk amalan utama dan dianjurkan, jika ditambahi maka bertambah pula pahala dan keutamaannya, yang diperselisihkan hanya dalam perbuatan Nabi dan jumlah rakaat yang beliau pilih untuk beliau lakukan.”
b) Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyebutkan bahwa yang menjadi pilihan jumhur ulama adalah shalat tarawih 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ketika mengumpulkan orang-orang, beliau juga berkata: “Para sahabat bersepakat dalam hal itu di masa mereka.”
Ishaq bin Mansur bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Berapa rakaat shalat qiyam bulan Ramadhan? Beliau berkata: Ada beberapa pendapat, diriwayatkan sekitar 40, tetapi itu adalah shalat tathawwu’.
c) Madzhab Syafi’i
Abul Qasim Ar-Rafi’i: “Sesungguhnya Umar bin Khaththab mengumpulkan orang-orang diimami oleh Ubai bin Ka’ab, dan disepakati oleh para sahabat.”
An-Nawawi menukil ijma’ ini dan mengikrarkannya.
Az-Za’farani meriwayatkan dari As-Syafi’i: “Aku lihat orang-orang di Madinah mengerjakan shalat 39 rakaat”, beliau berkata: “Yang lebih aku suka adalah 20”, beliau berkata “Begitupula yang dikerjakan di Makkah”. Beliau berkata: “Tidak ada dalam hal ini batas akhirnya, jika mereka perbanyak ruku’ dan sujud maka lebih baik.”
Al-Iraqi mengatakan:
فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ مَحْصُورٌ وَلَكِنْ اخْتَلَفَتْ الرِّوَايَاتُ فِيمَا كَانَ يَفْعَلُهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batas tertentu dalam qiyamul-lail, akan tetapi riwayat-riwayat berbeda tentang mana yang dilakukan oleh Nabi.”
d) Ulama Hadits
Ibnu Al-Qaththan Al-Fasi juga menukil ijma’ tersebut dalam kitabnya “Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma”.
At-Tirmidzi dalam Jami’-nya berkata: “Para ulama berselisih pendapat dalam qiyam Ramadhan: Sebagian berpendapat 41 rakaat bersama witir, ini adalah pendapat ahlul Madinah, dan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Kebanyakan ulama adalah mengikuti riwayat Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Rasulullah berpendapat 20 rakaat, ini adalah pendapat At-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak dan As-Syafi’i.
As-Syafi’i berkata: Demikianlah yang aku jumpai di kota kami Makkah, mereka shalat 20 rakaat.
Ahmad mengatakan: Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dan tidak ada titik penentu.
Ishaq berkata: Tapi kita pilih 41 rakaat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab.
Kesimpulan:
Di atas adalah pernyataan sejumlah ulama dari berbagai madzhab yang menukilkan ijma’ (konsensus) ulama bahwa tidak ada batas jumlah shalat lail yang di antaranya adalah shalat tarawih, tidak ada seorang pun ulama setelah mereka yang mempermasalahkan hal itu. Lihatlah dalam buku fikih manapun dan dalam madzhab manapun tidak ditemukan seorang ulamapun yang menyatakan tidak boleh shalat malam lebih dari 11 rakaat. Jika ada ulama yang mu’tabar (yang diakui) yang melarang dari kalangan para ulama terdahulu, tentu sudah dinukil dalam kitab-kitab fikih klasik.
Adapun hadits Aisyah (yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama kontemporer bahwa shalat malam tidak boleh lebih dari 11 rakaat):
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.
“Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada ‘Aisyah “Berapa shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan?’ Ia menjawab: “Beliau tidak menambah sebelas rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lain, beliau shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat tiga rakaat, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum melakukan witir? Beliau menjawab: wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur.” (HR. Bukhari no. 2031 dan Muslim no. 1757)
Maka hadits di atas menjelaskan bahwa shalat malam Nabi tidak lebih dari 11 rakaat. Tetapi tidak seorang salafpun yang memahami bahwa maksud Aisyah itu adalah batasan jumlah shalat malam, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah.
Sementara tatkala kita memahami hadits atau memahami syari’at Islam harus dengan pemahaman para salaf, sebagai konsenkuensi dari bentuk berpegang dengan manhaj salaf dalam beristidlal (berdalil).