1. SYARAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Tulisan ini adalah salah satu upaya sederhana untuk mengulas sejarah seorang alim-ulama yang berjasa besar dalam dakwah Islam, dan juga berperan utama dalam berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Sebuah kerajaan yang maklum diketahui, meskipun memiliki kekurangan dan kelebihannya layaknya negara-negara lainnya, akan tetapi ia senantiasa berusaha untuk menjalankan syariat Islam seutuhnya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok yang gigih dalam berdakwah kepada tauhid secara terperinci, serta tak pernah henti memerangi kesyirikan dan kebid’ahan secara terperinci. Karenanya, beliau ditentang dan difitnah oleh banyak orang yang tidak menyukai dakwah Islam yang murni.
Di antara fitnah-fitnah tersebut adalah tuduhan bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, mengaku sebagai seorang nabi, membenci Rasulullah, seorang mujassim, suka mengkafirkan kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan tak berdasar lainnya.
Siapa saja yang benar-benar mengenal beliau melalui biografi dan karya-karyanya, pasti tahu pasti bahwa beliau berlepas diri dari fitnah-fitnah keji tersebut, wallaahul musta’aan.
Penting untuk diketahui, bahwa pengaruh baik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap dakwah Islam sangatlah besar dan luas. Pengaruh dakwah beliau atas izin Allah meliputi negara-negara Arab, bahkan juga hingga tanah air kita, Indonesia. Bahkan di Qatar, terdapat suatu masjid agung yang diberi nama Masjid Muhammad bin Abdul Wahhab.
Selain itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga memiliki pengaruh atas berdirinya beberapa Ormas Islam di berbagai negara, seperti Jam’iyyah Ansharussunnah Muhammadiyyah di Mesir, dan Ormas Muhammadiyyah dan Persis di Indonesia.
Jikalau sosok Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memanglah seperti yang mereka tuduhkan kepada beliau, tentu saja kelakuan-kelakuan buruk tersebut akan tampak pula pada negeri-negeri atau ormas-ormas tersebut. Namun faktanya, yang demikian itu tidak terlihat pada satu negara atau ormas pun yang terpengaruh dengan dakwah beliau, baik Kerajaan Arab Saudi yang merupakan mata air dakwah beliau, maupun negara-negara dan ormas-ormas lainnya yang letak geografisnya jauh dari beliau.
Atau, kita dapat saksikan dakwah sunnah yang tersebar di tanah air –alhamdulillah – dengan berbagai macam yayasan, da’i, pesantren, dan sarana-sarana dakwah lainnya, seperti radio dan televisi dakwah, semuanya tidak ada yang sesuai dengan tuduhan tersebut. Sebaliknya, dakwah sunnah yang saat ini sudah tersebar di Indonesia, wa lillaahilhamd, jelas sekali berusaha untuk memurnikan tauhid, menebarkan ilmu agama dari sumbernya yang benar, serta membimbing kaum muslimin di Indonesia untuk kembali kepada agama Islam yang murni dari noda syirik dan kebid’ahan.
Fakta-fakta ini semakin menjelaskan, bahwa tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada beliau hanyalah kedustaan semata, yang dilancarkan oleh orang-orang yang membenci dakwah tauhid. Ketika mereka tidak memiliki landasan argumentasi untuk menjatuhkan dakwah sunnah yang penuh berkah ini, mereka pun terpaksa berusaha semaksimal mungkin untuk melariskan tuduhan-tuduhan dusta tersebut pada masyarakat, dan akhirnya banyak orang-orang jahil yang termakan dengan kedustaan-kedustaan tersebut.
Pada tulisan singkat ini, kita akan sebutkan narasi-narasi yang dinukil langsung dari buku-buku mereka, agar kita tahu bahwa apa yang diutarakan oleh mereka, sejak dahulu hingga saat ini, hanyalah kedustaan yang dipaksa-paksakan belaka, dan sama sekali tidak relevan dengan kenyataan yang ada.
Lewat tulisan ini pula, kami berusaha mengingatkan kepada mereka yang sering menyebarkan kedustaan dan fitnah tersebut, bahwasanya mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada Hari Kiamat kelak atas setiap huruf yang terucap dari lisan mereka, dan mereka akan berhadapan langsung dengan sosok mulia nan berjasa besar terhadap Islam yang selama ini mereka fitnah, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
2. Biografi
Beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Al-Masyarif At-Tamimi Al-Hambali An-Najdi,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan pada tahun 1115 H (1703 M) di kampung Uyainah (Najd), dan wafat pada tahun 1206 H. Ayah beliau adalah salah seorang ulama bermazhab Hanbali yang menjabat sebagai Qadhi (Hakim Agung) di Uyainah.
Semenjak masa kecilnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menerima pendidikan agama langsung dari ayahnya, Syaikh Abdul Wahhab Atas izin Allah melalui bimbingan orang tuanya, dan didukung dengan kecerdasan otak dan ketinggian semangatnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah berhasil menghafal 30 juz Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Bahkan ayah beliau sendiri kagum terhadap kecerdasannya. Sang ayah pernah berkata, “Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat terkait hukum-hukum (agama) dari anakku, Muhammad.”
Beliau dinikahkan ketika sudah baligh pada usia 12 tahun. Di usia tersebut juga beliau haji dan memulai rihlahnya ke Mekkah dan Madinah sehingga beliau bertemu para ulama disana.
Pada tahun 1135 H beliau menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya, namun untuk ibadah haji kali ini beliau tidak segera pulang akan tetapi beliau memilih untuk menetap dikota Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Setelah itu beliau berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk menuntut ilmu. Beliau juga sempat menuntut ilmu di kota Madinah dan berguru pada dua orang ulama besar, yaitu Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an Najdi dan Syaikh Muhammad Hayah As-Sindi. Beliau juga sempat menuntut ilmu di kota Basrah (Irak).
Beliau juga sangat meminati karya-karya Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Fakta ini menjelaska kepada kita rahasia semangat dakwah tauhid yang benar-benar mendarah daging pada diri Syaikh Muharnmad bin Abdul Wahhab.
Setelah sekian lama melakukan rihlah dalam rangka menuntut ilmu, beliau pun kembali ke kampung halamannya, Uyainah. Sesampainya di Uyainah, beliau mendapati bahwa ayahanda beliau sudah pindah ke Al-Huraimilah’. Pada tahun 1153 H, di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dakwah tauhid, sang ayah pun wafat di Al Huraimila’.
Kondisi Najd ketika itu penuh dengan kesyrikan baik berupa takhayul, kepercayaan kepada dukun dan jimat, praktik praktik rukyah yang sarat unsur kesyirikan, dan pengagungan terhadap kuburan, baik dengan beristighatsah kepadanya, tawaf di sekelilingnya, atau pun yang semacamnya ketika itu sudah ada di Najd namun ia hanya fokus kepada fikih, dan melalaikan urusan tauhid. Situasi inilah yang menggugah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mendakwahkan tauhid di sana.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akhirnya kembali ke Uyainah, tanah kelahiran beliau, ketika terjadi peperangan antar kabilah di Al Huraimila’, Di antara strategi beliau dalam mengembangkan dakwah tauhid adalah dengan mendekati Amir (penguasa) Uyainah saat itu, yang bernama Ustman bin Ma’mar. Dari sinilah beliau mulai intens dalam berdakwah.
Ketika itu beliau mendakwahi orang-orang yang mengagungkan kuburan yang mereka sangka merupakan kuburan Zaid bin Khattab, saudara dari Umar bin Khattab dengan membangun kubah di atasnya dan berdoa kepadanya. Sebelum mendapatkan bantuan dari sang Amir, selama berbulan-bulan Syaikh hanya mendakwahi mereka dengan mengingatkan mereka bahwa Allah jelas lebih baik dari Zaid, agar mereka hanya meminta kepada Allah semata.
Namun mereka sama sekali tidak menghiraukan seruan beliau. Setelah beliau mendapatkan bantuan dari Amir Uyainah, kubah kuburan tersebut pun langsung diruntuhkan. Meruntuhkan situs-situs kesyirikan adalah sunnah Rasulullah.
Ali bin Abu Thalib pernah berkata kepada Abul Hayyaj:
ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه أن لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته
“Maukah kau aku utus untuk melaksanakan suatu perintah yang juga pernah Rasulullah perintahkan padaku? Janganlah engkau biarkan patung melainkan engkau musnahkan dan Jangan engkau biarkan kuburan yang ditinggikan secara berlebihan melainkan engkau ratakan.
Beliau juga akhirnya berhasil menegaskan hukuman hadd di Uyainah atas wanita yang mengaku berulang-ulang telah berbuat zina. Wanita tersebut pun akhirnya dirajam. Mulailah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Warhab tersebar dan menghebohkan masyarakat, karena tindakan beliau yang mereka nilai berlebihan.
Kabar tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terus tersebar, hingga sampai kepada Amir wilayah Ahsa’, yang ketika itu lebih berkuasa dibanding Amir wilayah Uyainah. la pun murka, dan langsung menyurati Amir Uyainah dengan berkata, “Wahai Ibnu Ma’mar! Jika surar telah sampai kepadamu, maka bunuhlah Muhammad Abdul Wahhab!”, sembari mengancam akan memutuskan hubungan antar kedua wilayah tersebut, jika Amir Uyainah tidak mengindahkan perintahnya.
Perlu diketahui oleh para pembaca sekalian, bahwa dahulu Najd terbagi menjadi beberapa wilayah yang masing-masmg wilayah tersebut dikuasai oleh Amir. Tidak ada kekhilafahan atau sistem pemerintahan lainnya yang menyatukan wilayah-wilayah tersebut.
Ancaman dari Amir Ahsa’ sukses menggoyahkan Amir Uyainah hingga diusirlah Syaihh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Uyainah pada tahun 1158 H. Beliau sempat menasehati Amir Uyainah agar tetap bertahan dalam menegakkan dakwah tauhid, akan tetapi nasehat tersebut tidak diindahkan olehnya. Ia lebih takut akan ancaman Amir Ahsa’ yang lebih berkuasa darinya ketika itu.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun pergi menuju Dir’iyyah. Perjalanan tersebut beliau tempuh di tengah musim panas dengan berjalan kaki. Beliau tidak membawa bekal, kecuali hanya sebuah kipas tangan yang beliau gunakan untuk mengurangi hawa panas yang beliau rasakan di sepanjang perjalanan.
Sepanjang perjalanan itu pula beliau senantiasa membaca ayat:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepuda Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya, Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Tholaq: 2-3)
Sesampainya beliau di Dir’iyyah, beliau bertemu dengan seorang ulama yang bernama Ibnu Suailim. Ibnu Suailim merahasiakan keberadaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Amir Dir’iyyah yang bernama Muhammad bin Saud.
Amir Dir’iyyah Muhammad bin Saud memiliki dua saudara yang bernama Musyari dan Tsunaiyyan, dan beliau juga beristrikan seorang wanita yang cerdas. Dengan kuasa Allah, ketiganya akhirnya bertemu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menerima dakwah beliau. Ketiga orang tersebut, terutama istri sang Amir, akhirnya dengan izin Allah berhasil membuat Muhammad bin Saud menerima dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Istri Muhammad bin Saud pun meminta suaminya untuk menemui Syaikh, serta menasehatinya agar menghormati dan memuliakan Syaikh dengan mendatanginya dengan berjalan kaki.
Dalam pertemuan tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengajak Muhammad bin Saud selaku Amir Dir’iyyah untuk bersama-sama menegakkan dakwah tauhid. Muhammad bin Saud pun mengiyakan ajakan beliau dengan dua persyaratan. Syarat pertama jika nanti mereka telah berhasil menegakkan dakwah maka beliau dimohon untuk tidak meninggalkan mereka. Syarat yang kedua Muhammad bin Saud meminta agar upeti-upeti dari semua wilayah kekuasaan beliau tetap beliau ambil.
Setelah mendengar syarat tersebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata
الدم بالدم والهدم بالهدم
“Jika kita harus mati maka kita mati bersarna, jika hancur maka hancur bersama…”
Ucapan ini sama seperti yang Nabi sabdakan ketika ditanya oleh orang-orang Anshar, apakah beliau akan kembali ke kota beliau dan meninggalkan mereka di Madinah, maka beliau menjawab dengan perkataan tersebut, untuk meyakinkan mereka bahwa beliau tidak akan meninggalkan mereka.
Setelah merespon syarat Muhammad bin Saud yang pertama, beliau melanjutkan dengan syarat yang kedua, bahwa beliau tidak akan melarang dan beliau akan mendoakan agar kedepannya sang Amir dilimpahkan rizkinya dari Allah sehingga beliau tidak lagi perlu mengambil upeti-upeti dari wilayah yang beliau kuasai. Semenjak itu mereka berdua bersama-sama, bahu-membahu dalam menegakkan dakwah tauhid. Dari sinilah cikal bakal berdirinya negara Arab Saudi yang pertama.
Ketika dakwah semakin berkembang, banyak orang yang menuntut ilmu kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di kota Dir’iyyah. Sehingga ketika masing masing kembali ke tempat mereka dan menegakkan dakwah tauhid serta mengingkari berbagai macam kesyirikan maka semakin berkembanglah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Seketika itu Amir Uyainah meminta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk kembali ke Uyainah namun beliau menolak dan ingin kembali meneruskan perjuangan dakwah beliau bersama Muhammad bin Saud dan berdirilah negara Kerajaan Arab Saudi.
Sosok Muhammad bin Abdul Wahhab bagi warga Saudi bukan hanya sekedar ulama, namun beliau juga merupakan sosok pahlawan bagi negara tersebut. Beliau memiliki jasa yang besar dalam berdirinya negara Arab Saudi yang keberkahannya dapat dirasakan oleh banyak orang.
Arab Saudi merupakan satu-satunya negara yang dengan tegas menjadikan undang-undang dasarnya adalah Al-Quran dan As-Sunnah (hadits Rasulullah), serta menujukan wala’ (loyalitas) mereka kepada Allah. Kemudian Rasulullah, kemudian kepada negara mereka.
Tentu saja dengan segala kekurangan dan kelebihannya, namun sampai saat ini hanya Arab yang secara terang-terangan menuliskan hal tersebut dalam UUD mereka. Tidak ada negara Islam lainnya yang seperti itu, bahkan sebagian kelompok Islam yang menyatakan ingin menegakkan syariat Islam, ketika mereka berhasil memegang tampuk kepemimpinan suatu negara atau wilayah, mereka tidak menyatakan dalam UUD mereka bahwa mereka kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Inilah negara kerajaan Arab Saudi yang sebelumnya penuh dengan peperangan, kesyirikan merajalela dan tidak ditegakkannya syariat Islam secara totalitas, namun dengan izin Allah setelah berdirinya negara Arab Saudi berdirilah pula syariat Islam, berdiri pula undang-undang Islam, kesyirikan dengan segala macam bentuknya dimusnahkan, bahkan tidak ada di sana praktek perdukunan, zina dan khamer yang terang-terangan.
Sampai sekarang, urusan politik Arab Saudi dipegang oleh keturunan Muhammad bin Saud, sedangkan urusan agama dipegang oleh Alu Syaikh (keturunan Syaikh Muhamrnad bin Abdul Wahhab) Namun, bukan berarti mereka fanatik dalam masalah agama, karena selain Alu Syaikh pun pernah menjabat sebagai mufti kerajaan seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terus konsisten dalam berdakwah hingga pada akhirnya beliau wafat pada tahun 1206 H semoga Allah merahmatinya dengan surga-Nya.
3. CIRI-CIRI DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
a. Berlandaskan ilmu
Tentu saja beliau bukan orang sembarangan. Beliau hafal Al-Qur’an sebelum baligh, belajar dari ayahnya yang merupakan ahli fikih bermazhab Hambali, beliau juga memiliki sanad dan ijazah dalam hadits, beliau juga gemar membaca buku-buku Ibnu Tamniyyah dan Ibnul Qayyim.
b. Fokus kepada tauhid
Dalam berdakwah, beliau senantiasa menjelaskan tauhid secara terperinci dan juga menjelaskan kesyirikan secara terperinci. Oleh karenanya. ghirah beliau tentang tauhid sangatlah besar, karena tauhid merupakan tujuan utama seseorang di diciptakan muka bumi ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Alhamdulillah faktanya, sampai sekarang kita dapati bahwa dakwah yang fokus kepada dua hal, yaitu menjelaskan tauhid secara terperinci dan memperingatkan bahaya kesyirikan secara terperinci, adalah dakwah Salafiyyah. Kita dapati pula bahwa sebagian dai yang tidak berdakwah di atas manhaj Salaf, pasti fokus mereka bukanlah dalam dua hal ini.
c. Membersihkan syariat dari bid’ah
Ini adalah salah satu sebab utama kebencian banyak orang-orang di zaman beliau kepada beliau. Tidak hanya membahas masalah tauhid dan syirik secara terperinci, beliau juga membahas bahaya bid’ah secara terperinci, menjelaskan kepada umat apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan, apa yang sebenarnya merupakan ajaran agama, dan mana yang bukan.
Di antaranya, beliau mengingkari tabarruk dengan tubuh orang, yang saat itu merebak luas di kalangan kaum muslimin, dan mereka yakini sebagai bagian dari ajaran Islam. Beliau sebenarnya tidak menggunakan pendapatnya sendiri, melainkan menukil dari pendapat para ulama sebelum beliau, seperti As-Syathibi yang menyebutkan bahwasanya ber-tabarruk (ngalap berkah) hanyalah diperbolehkan terhadap jasad Rasulullah saja, bukan makhluk-makhluk selain beliau. Oleh karenanya, walau para sahabat terbiasa ber-tabarruk dengan jasad Nabi, keringat beliau, ludah beliau, bekas air wudhu beliau, namun semua itu terhenti setelah wafatnya beliau. Setelah itu, mereka sama sekali tidak melakukannya pada Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, atau pun sahabat-sahabat Nabi lainnya.
d. Memerangi Taklid (fanatik) buta
Maksudnya adalah, tetap merujuk kepada dalil, dengan tetap menghormati mazhab-mazhab fikih yang ada. Beliau bukanlah seorang yang anti mazhab, karena beliau sendiri bermazhab Hambali, bahkan beliau juga menulis buku tentang fikih mazhab Hambali. Hanya saja, beliau tidak fanatik terhadap mazhab tersebut, dan tetap mengutamakan dalil.
Dahulu, masjid di Najd bahkan Masjidil Haram sekali pun memiliki banyak mihrab, yang masing-masing mewakili mazhab-mazhab fikih yang ada. Jadi pengikut mazhab A, hanya shalat bersama imam yang bermazhab A di mihrab yang bermazhab A. Demikianlah fenomena menyedihkan fanatisme mazhab yang saat itu merajalela di tengah-tengah kaum muslimin.
Alhamdulillah negara Arab Saudi berhasil mempersatukan kaum muslimin, dan hanya menjadikan satu mihrab saja dalam pelaksanaan shalat berjamaah. Arab Saudi bukanlah negara yang anti mazhab, karena jelas sekali penduduknya bermazhab Hambali. Ketika kuliah di Madinah, kami juga diajarkan kitab yang mengajarkan komparasi antar mazhab, yaitu kitab “Bidaayah al-Mujtahid”, walau saat ini sudah diganti kembali menjadi kitab fikih bermazhab Hambali, yaitu “Zaad al-Mustaqni”. Intinya, yang beliau perangi saat itu adalah taklid (fanatisme), dan bukan mazhab itu sendiri.
e. Memperhatikan skala prioritas dan bertahap dalam dakwah.
Hal ini tampak jelas ketika beliau berbulan-bulan lamanya menasehati orang-orang yang beribadah dan minta-minta di kuburan Zaid dengan mengingatkan mereka bahwa Allah lebih baik daripada Zaid, sebagaimana telah disebutkan kisahnya dalam biografi beliau.
Dalam kasus lain, beliau pernah mendamaikan antara dua kabilah yang berseteru. Ketika itu sudah ada peraturan bahwa barangsiapa yang ketahuan merokok maka akan ada sanksi hukum baginya. Singkat cerita, beliau berhasil mendamaikan kedua kabilah yang berseteru dengan cara menasehati pemimpin-pemimpin mereka. Maka tatkala tiba waktu shalat, salah satu dari pimpinan kabilah yang shalat di samping Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun tanpa sengaja menjatuhkan rokok yang tersimpan di sakunya ketika ruku’.
Orang-orang pun melapor kepada Syaikh, bahwa pimpinan kabilah tersebut ketahuan menyimpan rokok. Namun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terkesan mengabaikan aduan tersebut, dan berkata bahwa beliau tadi tidak melihatnya sedang merokok. Beliau khawatir jika saja pemimpin mereka dihukum padahal baru saja mereka berdamai, maka perdamaian akan batal, dan permusuhan justru akan semakin menyala lebih dari pada sebelumnya.
Ini bukti bahwa beliau mempertimbangkan maslahat dan mudarat yang ada, baik ketika berdakwah, atau pun dalam beramar makruf dan nahi munkar.