NAJIS DAN MACAMNYA

water, water drop, ripple, waves, liquid, drop, closeup, nature, monochrome, water, water, water, water, water, water drop

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor menurut syariat.

Adapun macamnya:

1. Tinja dan air seni manusia

Dalam hal ini terdapat beberapa dalil, di antaranya sabda Rasulullah:

بول الغلام يُنضح، وبول الجارية يُغسل

“Air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui dipercikan, sedangkan air kencing bayi perempuan dicuci.”

Disamping itu, terdapat sabda Nabi yang lain tentang air seni seorang Arab Badui:

دعوه، وأهريقوا على بوله ذَنوباً من ماء -أو سَجْلاً من ماء-

“Biarkan ia dan siramlah air seninya itu dengan seember air (atau segayung air).”

Begitu juga, sabda Nabi mengenai dua orang yang di adzab di dalam kuburnya:

كان أحدهما لا يستتر من بوله، وكان الآخر يمشي بالنميمة

“Salah seorang dari mereka tidak membersihkan diri dari air seninya, sedangkan yang satu lagi suka menyebarkan namimah (adu domba).”

Demikian pula, sabda Nabi berikut ini:

إِذا وطئ أحدُكم بنعليه الأذى؛ فإِنَّ التراب له طَهور

“Jika sandal salah seorang dari kalian menginjak kotoran (najis), maka tanah adalah penyuci baginya.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

إِذا وَطِئ الأذى بخُفَّيْه؛ فطَهورهما التراب

“Bila seseorang menginjak kotoran dengan kedua khufnya, maka penyucinya adalah tanah.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id a-Khudri tentang kisah Nabi ketika membuka kedua sandalnya dalam shalat, dia berkata: “Ketika Nabi mengerjakan shalat mengimami para Sahabatnya, tiba-tiba beliau membuka sandalnya lalu meletakkannya di samping kiri beliau. Orang-orang yang melihat hal itu pun turut melepaskan sandal-sandal mereka. Sesudah shalat, beliau bertanya: Apa yang menyebabkan kalian membuka sandal-sandal kalian?’ Mereka lantas menjawab: Kami melihat engkau melepas sandalmu, maka kami pun ikut melepas sandal-sandal kami.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya pada kedua sandal itu terdapat kotoran.”

Lalu Nabi bersabda:

إِذا جاء أحدكم إِلى المسجد، فلينْظرْ، فإِنْ رأى في نعليه قذراً أو أذى؛ فليَمْسَحْهُ، ولْيُصَلِّ فيهما

“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka hendaklah ia memeriksa kedua sandalnya. Jika ia melihat pada keduanya terdapat kotoran atau najis, maka hendaklah ia menggosokkannya (ke tanah) terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan shalat dengan memakai keduanya.”

Dari Lubabah binti al-Harits, dia berkata: “Suatu hari, al-Husain bin Ali berada di pangkuan Rasulullah, lalu ia kencing. Aku berkata: Kenakanlah pakaian yang lain dan berikan kain sarungmu padaku agar aku bisa mencucinya.” Mendengar itu, Nabi mengatakan:

إِنَّما يُغسل من بول الأنثى، وينُضَحُ من بول الذَّكر 

“Sesungguhnya, yang harus dicuci itu adalah apabila terkena air seni anak perempuan yang masih kecil. Adapun yang terkena air seni anak laki-laki yang masih kecil, maka cukup diperciki dengan air saja.”

Dari Abu Samh, dia berkata:

كنت أخدم النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فكان إِذا أراد أن يغتسل؛ قال: “ولِّني قفاك”، فأولِّيه قفاي، فأسترُه به، فأُتي بحَسَن -أو حُسين- فبال على صدره، فجئتُ أغسله

“Aku pernah menjadi pelayan Rasulullah. Apabila hendak mandi, beliau berkata: Palingkanlah tubuhmu! Maka aku pun memalingkan tubuhku, bahkan aku lindungi beliau dengannya. Lalu, dibawakan al-Hasan atau al-Husain, hingga anak tersebut kencing pada dada beliau. Aku pun lalu datang untuk mencucinya.

2. Darah Haidh

Dalam hal ini ada sejumlah dalil di antaranya:

Dari Aisyah, dia menuturkan: “(Suatu hari) Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi, lantas ia berkata: “Ya Rasulullah, aku seorang wanita yang sering mengalami istihadhah. Sampai-sampai aku tidak bisa (berada dalam keadaan) suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”

Nabi menjawab:

لا؛ إِنَّما ذلك عِرْق، وليس بالحيضة، فإِذا أقبلتِ الحيضة؛ فدَعي الصلاة، وِإذا أدبرَت؛ فاغْسِلي عنك الدم وصلِّي

“Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat-urat yang terluka, bukan merupakan darah haidh. Apabila masa haidh telah tiba maka tinggalkan shalat. Jika telah selesai, maka bersihkan darah tersebut darimu dan shalatlah.”

Dari Ummu Qais binti Mihshan, ia menuturkan: “Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang darah haidh yang melekat pada pakaian? Beliau menjawab:

حُكِّيه بضِلْع، واغسليه بماء وسِدْر

“Gosoklah ia dengan kayu serta cucilah ia dengan air dan perasan daun bidara.”

Imam an-Nawawi menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) atas najisnya haidh di dalam Syarh Muslim (III/200).

3. Wadi

Wadi adalah cairan berlendir yang keluar dari zakar (alat kelamin pria) sesudah buang air kecil, secara langsung, namun hal in tidak mewajibkan seseorang untuk mandi.

4. Madzi

Madzi adalah cairan bening berlendir dan halus yang keluar tanpa memancar kuat ketika bercengkerama, atau ketika mengingat jima’ (persetubuhan), atau ketika memiliki keinginan kuat untuk berjima’.

Kadang kala seseorang tidak merasakan keluarnya madzi. Sehingga madzi termasuk najis yang sulit dihindari. Maka itu, diberi keringanan dalam cara menyucikannya. Orang yang keluar madzi tidak wajib mandi, namun cukup berwudhu serta mencuci buah zakar dan kemaluannya sebelum itu. Dan hendaklah ia mengambil seraup air dengan telapak tangan dan memercikkannya pada pakaian yang terkena najis ini.

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dan Al bin Abi Thalib, dia mengatakan: “Aku adalah laki-laki yang suka keluar madzi, kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki untuk bertanya kepada Nabi—karena status putri beliau di sisinya—hingga laki-laki itu pun menanyakannya. Nabi menjawab:

توضأ، واغسل ذَكَرَك

“Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu.”

Dari Sahal bin Hunaif, dia menuturkan: “Dahulu, aku mengalami masalah yang sangat sulit dan pelik, yaitu sering keluar madzi, sehingga aku selalu mandi karenanya. Aku pun menceritakan hal itu kepada Rasulullah, serta bertanya kepada beliau tentang hal tersebut. Beliau mengatakan:

إِنَّما يُجزئك من ذلك الوضوء. فقلت: يا رسول الله! كيف بما يصيب ثوبي منه؟ قال: يكفيك أن تأخذ كفّاً من ماء، فتنضح به ثوبك، حيث ترى أنَّه أصاب منه

“Sesungguhnya cukup bagi kamu berwudhu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan pakaianku yang terkena madzi?” Nabi menjawab: “Cukup bagimu mengambil seraup air lalu memerciki pakaianmu dengannya, yakni di tempat yang kamu perkirakan terkena najis tersebut.”

5. Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih atau dipotong secara syar’i.

Dalil najisnya bangkai adalah sabda Nabi berikut ini:

إِذا دُبِغَ الإِهاب، فقد طَهُرَ

“Apabila kulit sudah disamak maka ia telah suci.”

Dalam kitab Subulus Salam (I/52), ash-Shan’ani mengatakan: “Adapun bangkai, kalaulah bukan karena hadits yang menyebutkan bahwa menyamak kulitnya merupakan cara menyucikannya, dan hadits yang berbunyi: “Kulit apa pun yang telah disamak maka telah suci, tentu kami akan berpendapat sucinya bangkai sebab yang disebutkan dalam al-Qur-an adalah pengharaman memakannya. Tetapi, kami menghukuminya sebagai najis karena telah ada dalil selain dalil pengharaman memakannya. Demikian pula hukum yang berlaku pada bagian-bagian tubuh yang dipotong dari hewan yang masih hidup.”

Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

ما قُطِعَ من البهيمة وهي حيَّةٌ؛ فهو ميتة

“Bagian tubuh yang dipotong dari hewan yang masih hidup termasuk bangkai.”

Namun, dikecualikan darinya bangkai ikan dan belalang karena kedua bangkai itu hukumnya suci dan halal dimakan.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

أُحِلَّتْ لنا ميتتان ودمان فأمّا الميتتان: فالحوت والجراد وأمّا الدَّمان: فالكبد والطحال

“Dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua macam darah. Adapun dua jenis bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa.”

Berdasarkan pula sabda Nabi tentang air laut:

هو الطَّهور ماؤه، الحلُّ مَيتتُه

“Ia suci airnya dan halal bangkainya.”

6. Daging Babi

Allah berfirman:

{قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}

“Katakanlah: “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangka), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Rabbmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’aAm [6]: 145)

7. Anjing

Di antara dalil yang menunjukkan najisnya anjing adalah sabda Nabi:

إِذا شَرِبَ الكلب في إِناء أحدكم؛ فليَغْسِلْهُ سبعاً

“Jika anjing mimum pada bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.”

Berdasarkan juga sabda Nabi di bawah ini:

طَهور إِناء أحدكم إِذا وَلَغَ فيه الكلب: أن يغسله سبع مرات، أولاهنَّ بالتراب

“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika anjing menjilatnya, dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian yang pertama dengan tanah.”

8. Daging binatang buas

Di antara dalil yang menunjukkan kenajisannya adalah hadits riwayat Abdullah bin Umar, dia menuturkan: “Rasulullah pernah ditanya mengenai genangan air yang sering didatangi oleh binatang buas atau hewan yang lainnya. Beliau menjawab:

إذا كان الماء قُلَّتين؛ لم يحمل الخَبَث

“Jika air itu kadarnya dua qullah, maka dia tidak mengandung najis.”

9. Daging keledai

Dari Anas, dia berkata: “Ada seseorang yang datang kepada Nabi dan berkata: “Keledai-keledai telah disantap.” Lalu, datang lagi seseorang dan berkata: “Keledai-keledai telah dimakan.” Datang lagi seseorang dan berkata: “Keledai-keledai telah dihabiskan.” Maka, Rasulullah pun memerintahkan seseorang untuk menyerukan kepada manusia:

إِنَّ الله ورسوله ينهيانكم عن لحوم الحُمُر الأهليَّة فإِنَّها رجس

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang kalian memakan daging keledai karena keledai itu najis.”

Setelah itu, ditumpahkanlah kuali-kuali yang penuh dengan daging keledai tersebut.”

10. Hewan Jallalah

Diriwayatkan secara shahih dalam hadits Ibnu Umar, dia menuturkan:

نهى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عن أكل الجلاَّلة وألبانها

“Rasulullah telah melarang memakan hewan jallalah dan meminum susunya.”

Abdullah bin Abu Aufa berkata: “… kami berbincang-bincang bahwa tidaklah Rasulullah mengharamkannya, melainkan karena ia memakan kotoran.”

Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Umar: “Jika ingin memakan hewan jallalah, ia mengurungnya selama 3 hari.”

Dalam al-Muhalla, Ibnu Hazm berkata: “Susu hewan jallalah haram, yaitu unta yang memakan kotoran; demikian pula sapi dan kambing. Dilarang memakannya, hingga statusnya sebagai hewan jallalah hilang. Apabila telah hilang status jallalah-nya, maka susunya halal dan suci.”

Adapun ayam, tidak mengapa memakannya walaupun hewan ini memakan yang kotor-kotor. Telah diriwayatkan secara shahih bahwasanya Rasulullah memakan ayam. Di dalam hadits Zahdam, ia menuturkan: “Kami bersama Abu Musa al-Asy’ari—sementara antara kami dan penduduk kampung Bani Jarm terjalin hubungan persaudaraan, lalu dihidangkanlah makanan yang berisi daging ayam. Di antara kami terdapat laki-laki berkulit putih kemerah-merahan yang sedang duduk, tanpa menyentuh makanannya. Melihat itu, Abu Musa berkata: “Ambillah, karena aku telah melihat Rasulullah memakannya.” Ia berkata: “Sungguh, aku pernah melihat ayam ini memakan sesuatu, lalu aku menganggapnya sebagai hewan yang kotor (jallalah), dan aku bersumpah untuk tidak memakannya…. (lalu Zahdam menyebutkan riwayatnya dari Rasulullah.

Demikian pula halnya dengan telur ayam, hukumnya sama dengan ayam.

11. Tulang, bulu, dan tanduk hewan yang najis

Alasannya, benda-benda itu tumbuh dari sesuatu yang najis, kecuali jika tulang, bulu, dan tanduk itu bisa disamak.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top