METODE PARA ULAMA DALAM MENETAPKAN AQIDAH YANG BENAR

tree, rain, milky way, night, nature, nightscape, galaxy, space, landscape, iphone wallpaper, aesthetic wallpaper, phone wallpaper, iphone wallpaper, iphone wallpaper, iphone wallpaper, iphone wallpaper, iphone wallpaper

A. Wajib Membenarkan Setiap Hal Shahih Yang Berasal Dari Allah Dan Rasul-Nya

Para ulama Salafush Shalih menetapkan bahwa setiap apa vang disampaikan oleh Allah atau pun Rasulullah melalui jalur periwayatan yang shahih wajib kita mengimani serta membenarkannya. Mereka tidak membedakan antara hadits mutawatir dan hadits ahad, selama derajatnya jelas shahih. Mereka menetapkan aqidah berdasarkan keduanya, tanpa membedakan satu sama lain.

Para ulama berhujjah dengan dalil-dalil umum yang memerintahkan kita untuk membenarkan apa-apa yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta mentaati perintah dari keduanya.

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab (33): 36)

B. Wajib Meneliti Keautentikan Hadits Nabi Sebelum Menjadikannya Hujjah

Kita diwajibkan untuk berusaha meneliti setiap hadits sebelum menggunakannya sebagai hujjah atau dalil, baik di dalam masalah aqidah ataupun masalah hukum. Sebab jika tidak demikian akan berakibat penyandaran kepada agama Allah sesuatu yang bukan berasal dari-Nya, atau malah menetapkan masalah-masalah aqidah yang bathil.

Ada sekelompok orang yang memiliki pengetahuan lemah sehingga tidak dapat memilih mana hadits shahih dan mana hadits dha’if dari hadits-hadits Rasulullah, lalu mereka berhujjah dengan hadits-hadits maudhu’ atau palsu dan dha’if atau lemah dalam masalah ini.

Di antara contoh hadits palsu dan lemah adalah:

1. Hadits:

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَبِّي لَيْلَةً أُسْرِيَ بِي إِلَى السَّمَاءِ فَرَأَيْتُ رَبِّي بَيْنِي وَبَيْنَهُ حِجَابٌ بَارِزٌ فَرَأَيْتُ كُلَّ شَيْءٍ مِنْهُ حَتَّى رَأَيْتُ تَاجًا مَخُوْصًا مِنَ اللُّؤْلُؤِ

“Aku berhenti di hadapan Rabbku ketika malam aku diisra’kan ke langit, dan aku melihat Rabbku. Tetapi antara aku dan Dia terdapat hijab (penghalang) yang jelas. Aku melihat segala sesuatu dari-Nya, sampai aku melihat mahkota berukir mutiara.” Derajat hadits ini maudhu.

2. Hadits:

إِنَّ اللَّهَ يَجْلِسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى الْقَنْطَرَةِ الْوُسْطَى، بَيْنَ الْجَنَّةِ والنار

“Sungguh, Allah pada hari Kiamat duduk di atas jembatan yang berada di tengah-tengah antara Surga dan Neraka.” Derajat hadits ini dha’if.

3. Hadits

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ (موضوع)

“Cinta tanah air sebagian dari iman.” [palsu]

Contoh orang-orang yang menetapkan aqidah dengan hadits-hadits dha’if maupun maudhu’ ini tidak boleh dan haram. Sama juga tidak bolehnya orang menetapkan ibadah melalui mimpi, khurafat, dan dongeng nenek moyang.

C. Wajib Berhujjah Dengan Hadits Ahad Seperti Halnya Hadits Mutawatir

Sekelompok orang menolak berhujjah dengan hadits-hadits ahad yang shahih dalam masalah aqidah. Mereka hanya berhujjah dengan al-Qur-an atau hadits-hadits mutawatir. Mereka tidaklah menetapkan aqidah dengan al-Qur-an maupun hadits (as-Sunnah) kecuali apabila nashnya bersifat qath’i dilalah. Menurut mereka, nash yang tidak bersifat qath’i dilalah, tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil.

Yang berpendapat seperti ini adalah para ahli kalam dahulu, yang lalu diikuti beberapa ulama ushul fiqih. Pendapat itu telah menyebar pada masa kita kini, sampai seakan-akan pendapat yang benar terlupakan dan orang yang menyerukannya dianggap aneh. Sedangkan para ulama, baik pada masa dahulu maupun masa sekarang, senantiasa menjelaskan kesalahan pendapat tersebut dan perihal bahayanya. Para ulama itu juga mengungkapkan syubhat mereka yang berpendapat demikian.

1. Penjelasan Syubhat

Kami telah menjelaskan, syubhat yang mereka lontarkan adalah berupa anggapan bahwa dalil-dalil aqidah haruslah menginformasikan sesuatu yang yakin. Sedangkan seluruh hadits ahad, dan juga nash-nash al-Qur-an, serta hadits-hadits mutawatir, apabila dilalah-nya tidak qath’i, maka ia dinilai tidak dapat menginformasikan sesuatu yang yakin, tetapi hanya bersifat dugaan.

Adapun dugaan tidak boleh dijadikan hujjah dalam masalah aqidah, berdasarkan firman Allah:

… إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ …

“.. Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” (QS. An-Najm (53): 23)

Dan firman-Nya:

… وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“… Dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm (53): 28)

Serta ayat-ayat semisal yang berisi celaan Allah terhadap orang-orang musyrik karena mengikuti dugaan. Demikian syubhat mereka.

Akan tetapi, menggunakan ayat-ayat di atas dan yang semisalnya sebagai hujjah tidak dapat diterima. Karena, makna dugaan di situ bukan dugaan dengan makna yang mereka maksud. Dalam arti, nash-nash yang mereka tolak untuk dijadikan sebagai hujjah dalam permasalahan aqidah mengandung pengertian dugaan yang kuat.

Sedangkan makna dugaan yang Allah cela dalam firman-Nya:

… إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ …

“… Mereka hanya mengikuti dugaan ….” (QS. An-Najm (53): 23)

adalah keraguan yang tidak lain berupa kharsh (yaitu mengira-ngira sesuatu yang tidak diyakini atau taksiran) dan takhmin (dugaan dengan intuisi). Disebutkan di dalam an-Nihayah, juga di dalam al-Lisan, serta kitab-kitab tentang ilmu bahasa (linguistik) Arab lainnya: “Azh-zhann adalah keraguan yang anda alami terhadap sesuatu, kemudian anda mencari kebenarannya dan menetapkan hukumnya”

Inilah zhann (dugaan) yang dicela Allah terhadap orang-orang musyrik. Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah firman Allah tentang mereka:

… إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“… Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am (6): 116)

Dalam ayat ini Allah memaknai zhann sebagai kharsh, yaitu sekadar taksiran atau dugaan dengan intuisi (maksudnya hanya kebohongan).

Dengan demikian, setiap hadits yang tercantum dalam kitab-kitab Sunan dan dinilai shahih oleh para ulama, serta tidak ada seorang pun di antara mereka yang terang-terangan menyangsikan keshahihannya, maka hadits tersebut dapat menginformasikan sesuatu yang yakin, karena umat ini telah ijma dalam ihwal keshahihannya. Termasuk di antaranya hadits-hadits yang disepakati oleh dua penyusun kitab Shahih (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).

Atau hadits yang terdapat pada salah satu dari ash-Shahihain dan tidak seorang pun dari para ulama yang menyangsikan keshahihannya. Termasuk juga apabila hadits itu tergolong hadits masyhur, mustafidh, atau hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka beserta jalur periwayatannya seperti Imam Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.

2. Kesimpulan Pendapat

Ulama Ahlus Sunnah menerima hadits-hadits ahad yang shahih dalam masalah aqidah maupun hukum tanpa membeda-bedakannya. Sebagai buktinya, para ulama seperti Imam Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan juga ad-Darimi telah meriwayatkan banyak hadits yang menetapkan masalah aqidah di dalam kitab-kitab mereka, padahal di antara hadits-hadits itu hanya sedikit yang bisa digolongkan memiliki derajat mutawatir.

Seandainya mereka tidak berkenan untuk berdalil dengan hadits ahad tersebut, niscaya tidak mungkin mereka mau bersusah payah meriwayatkannya, menghafalnya, apalagi mengkodifikasikannya. Oleh karenanya, siapa saja yang menyatakan kebalikan dari asumsi ini, dia telah berdusta terhadap mereka. Dan tidak ada kaitannya dengan apakah hadits ahad tersebut bisa menginformasikan sesuatu yang bersifat dugaan kuat ataukah sesuatu yang yakin dalam masalah syariat.

Sebagian dari mereka pun menilai bahwa hadits ahad tidak dapat menginformasikan sesuatu yang sifatnya yakin, akan tetapi mereka berpendapat wajibnya berpegang terhadap setiap riwayatnya dalan masalah aqidah jika derajatnya memang terbukti shahih. Walaupun hadits ahad menginformasikan sesuatu yang bersifat dugaan (zhann) tetapi tidak serta-merta harus ditolak dalam masalah aqidah.

Lihatlah Ibnu Abdil Bar, misalnya, walaupun berpendapat bahwa hadits ahad tidak menginformasikan sesuatu yang yakin, dia tetap saja meyakini atas wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam masalah agidah seperti halnya kewajiban yang serupa dalam masalah hukum. Dan, ditegaskan olehnya bahwa itulah pendapat para ulama Ahlus Sunnah.

3. Nash (Dalil-dalil) dari al-Qur-an dan as-Sunnah yang Mewajibkan Berpegang kepada Sunnah Nabi

Banyak nash yang mewajibkan kita agar berpegang kepada hadits ahad dan berhujjah dengannya dalam masalah aqidah. Di antara nash tersebut adalah sebagai berikut.

a. Firman Allah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah (9): 122)

Ayat di atas mengimbau orang-orang beriman baik dalam tataran kabilah, suku, penduduk pinggiran, maupun berbagai kaum di belahan dunia agar menyiapkan sekelompok orang dari kalangan mereka untuk memperdalam ilmu agama. Kemudian kembali lagi kepada kaum mereka untuk memberi peringatan (pengajaran agama).

Kata tha-ifah dalam bahasa Arab biasa digunakan untuk menyebut satu orang atau lebih. Sementara itu tafaqquh fid din (memperdalam pengetahuan agama) mencakup aqidah dan hukum hukum fiqih. Bahkan tafaqquh dalam masalah aqidah jauh lebih penting daripada tafaqquh dalam masalah hukum. Karena itulah, Imam Abu Hanifah menamakan lembaran lembaran tulisannya dalam masalah aqidah: al-Fiqhul Akbar.

Maka ayat Ini pun menjadi dalil yang amat jelas tentang wajibnya berpegang pada hadits ahad dalam masalah Aqidah. Sebab kalau yang dimaksudkan bukan demikian, mana boleh satu tha-ifah memberi peringatan kepada kaumnya?

b. Firman Allah

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat (49): 6)

Di dalam versi qira-qt (bacaan) yang lainnya lafazh فَتَبَيَّنُوا disebutkan dengan فَتَثَبَّتُوا (maka periksalah kebenarannya). Ayat ini dipahami bahwa jika orang yang menyampuikan berita tersebut bukan seorang yang fasik, alias dia seorang yang adil (istiqamah dalam beragama), maka berita yang ia sampaikan dapat dijadikan sebagai hujjah. Seseorang tidak diwajibkan meneliti kebenaran berita itu lagi, tetapi dapat langsung diterima apa adanya.

c. Disebutkan di dalam as-Sunnah sebuah hadits yang menjelaskan firman Allah:

… فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ …

“… Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi …” (QS. At Taubah (9): 122)

Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya dari Malik bin al-Huwairits, bahwa dia menuturkan: “Pada saat datang menemui Rasulullah, kami masih muda dan usia kamj sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari, Rasulullah adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut.

Ketika mengira kami telah rindu dengan keluarga-keluarga kami, beliau bertanya kepada kami tentang siapa saja yang kami tinggalkan. Lalu kami memberitahukannya kepada beliau. Kemudian beliau bersabda kepada kami:

ارْجِعُوا إلى أهْليكُمْ، فَأَقيمُوا فيهمْ، وَعَلِّمُوهُمْ، وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوني أُصَلِّي

“Kembalilah kalian menemui keluarga kalian, lantas tinggallah kalian bersama mereka. Ajarilah (ilmu agama) serta suruh mereka (beramal shalih). Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Rasulullah memerintahkan setiap pemuda tersebut untuk mengajari keluarganya (ilmu agama). Kata “mengajar” mencakup aqidah, bahkan aqidah adalah yang pertama kali harus diajarkan dari semua materi agama yang diajarkan. Seandainya hadits ahad tidak bisa diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah, maka perintah ini tidak ada artinya.

d. Disebutkan dalam hadits shahih bahwa penduduk Yaman menemui Rasulullah dan berkata: “Utuslah kepada kami seseorang yang dapat mengajarkan kami as-Sunnah dan Islam.” Maka beliau memegang tangan Abu Ubaidah dan berkata kepada mereka: “Ini adalah al-Amin (orang kepercayaan) umat ini.”

Seandainya hadits ahad tidak bisa menjadi hujjah, tentunya tidak mungkin Nabi mengutus Abu Ubaidah seorang diri kepada penduduk Yaman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top