Ibnu Qudamah berkata:
فَأَمَّا التَّعْقِيبُ، وَهُوَ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ التَّرَاوِيحِ نَافِلَةً أُخْرَى جَمَاعَةً، أَوْ يُصَلِّيَ التَّرَاوِيحَ فِي جَمَاعَةٍ أُخْرَى
“Adapun at-Ta’qiib, yaitu shalat sunnah berjamaah lagi setelah shalat tarawih (dengan jamaah yang sama), atau shalat tarawih lagi di jamaah yang lain.”
Dari sini Ibnu Qudamah menyebutkan dua model at-Taqiib:
Pertama: Yaitu suatu jamaah shalat tarwih di awal malam, setelah itu mereka shalat tarwih lagi di akhir malam.
Kedua: Yaitu seseorang shalat tarwih pada suatu jamaah, lalu ia shalat tarwih lagi setelah itu bersama jamaah yang lain.
Dari sini kita tahu bahwasanya jika seseorang setelah shalat tarawih lalu shalat tahajjud sendirian (tanpa berjamaah) maka diperbolehkan tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Yang diperselisihkan adalah kedua bentuk yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah di atas.
Adapun hukum at-Ta’qiib di bulan Ramadhan maka ada perbedaan pandangan di kalangan salaf, sebagian membolehkan dan sebagian membenci.
a) Pendapat yang memakruhkan
Ini adalah pendapat Qatadah dan Al-Hasan, alasan Al-Hasan adalah karena memberatkan orang-orang, beliau mengatakan: “Siapa yang memiliki kekuatan maka hendaklah ia lakukan shalat malam sendirian dan tidak dilakukan bersama orang-orang”, beliau juga mengatakan لا تملوا الناس “Janganlah kalian membuat orang-orang bosan”.
Pendapat ini juga dipilih sebagian Hanafiyah, Ishaq bin Rahawaih dan pendapat lama dari Imam Ahmad. Al-Kaasani mengatakan: “Jika mereka selesai shalat tarawih kemudian ingin shalat tarawih lagi maka dilakukan sendiri-sendiri dan tidak berjamaah, karena shalat yang kedua adalah shalat sunnah mutlak, dan shalat mutlak berjamaah dibenci.”
b) Pendapat yang membolehkan
Ini adalah pendapat Anas bin Malik dan mayoritas fuqohaa. Anas berkata tentang at-Ta’qiib:
لَا بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا يَرْجِعُونَ إِلَى خَيْرٍ يَرْجُونَهُ، وَيَبْرَءُونَ مِنْ شَرٍّ يَخَافُونَهُ
“Tidak mengapa, karena mereka kembali pada kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari keburukan yang mereka takuti.”
Ibnu Rojab berkata:
وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ بِحَالٍ
“Mayoritas fuqohaa berpendapat bahwa at-Ta’qiib tidaklah makruh sama sekali.”
Dan ini adalah pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanabilah.
Dan pendapat jumhur ulama adalah yang lebih tepat, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
a) Hukum asal tarawih di bulan Ramadhan adalah shalat malam (qiyamul lail) yang dikerjakan secara berjamaah. Bahkan Nabi pernah shalat dan diam-diam para sahabat bermakmum kepada Nabi. Karenanya apa yang dikerjakan Nabi tatkala shalat malam sendirian boleh dipraktikan secara berjamaah.
Dan telah datang dalam hadits-hadits bahwasanya Nabi membolehkan shalat lagi setelah shalat witir.
Diantaranya:
Pertama: Hadits Aisyah dimana Nabi shalat 11 rakaat (langsung witir 9 rakaat setelah itu beliau shalat 2 rakaat).
Aisyah berkata:
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ
“Dahulu kami menyiapkan siwak dan air untuk bersuci beliau, Allah membangunkan beliau pada malam hari dengan kehendak-Nya, beliau pun bersiwak dan shalat 9 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat ke 8, beliau berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian berdiri dan melanjutkan rakaat ke 9, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau salam dengan salam yang kita dengar, kemudian shalat 2 rakaat setelah salam dalam keadaan duduk, maka semuanya adalah 11 rakaat wahai anakku.”
Kedua: Nabi juga pernah shalat 9 rakaat, yaitu beliau shalat 7 rakaat setelah itu beliau shalat lagi 2 rakaat.
Berdasarkan kelanjutan hadits Aisyah di atas juga:
فَلَمَّا سَنَّ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَهُ اللَّحْمُ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الْأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ
“Ketika Nabi semakin berusia dan gemuk, beliau witir dengan 7 rakaat, kemudian beliau melakukan 2 rakaat seperti di awal, sehingga semuanya 9 rakaat wahai anakku”.
Ketiga: Nabi juga pernah shalat 13 rakaat, yaitu beliau shalat 8 rakaat, lalu witir 3 rakaat, lalu shalat lagi 2 rakaat.
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: كَانَ يُصَلِّي ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ، وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
“Dari Abu Salamah, ia bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat Rasulullah, maka ia menjawab: Beliau shalat 13 rakaat, shalat 8 rakaat kemudian witir, setelah itu shalat dua rakaat dengan duduk, dan jika ingin ruku’ maka beliau berdiri dan ruku’, kemudian shalat dua rakaat antara adzan dan iqamat shalat shubuh.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas maka para ulama berkesimpulan bolehnya shalat malam lagi setelah witir.
An-Nawawi berkata,
إذَا أَوْتَرَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ نَافِلَةً أَمْ غَيْرَهَا فِي اللَّيْلِ جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ وَلَا يُعِيدُ الْوِتْرَ
“Jika seorang melakukan witir kemudian ingin shalat sunnah atau lainnya pada malam itu juga maka diperbolehkan tanpa dibenci dan tidak perlu mengulang witir.”
Catatan:
Tentu yang terbaik adalah seorang menutup shalat malamnya dengan witir. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar, dimana Rasulullah bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir.”
Namun jika seseorang sudah melakukan shalat malam beserta witirnya di awal atau pertengahan malam kemudian ingin melakukan shalat lagi hukumnya diperbolehkan. Dan jika melakukan shalat lagi maka tidak perlu mengulang witir dua kali, cukup dengan witir yang dilakukan di awal.
Berdasarkan hadits Thalq bin Ali, beliau mendengar Rasulullah bersabda:
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.”
Ibnu Hazm mengatakan:
وَالْوِتْرُ آخِرُ اللَّيْلِ أَفْضَلُ، وَمَنْ أَوْتَرَ أَوَّلَهُ فَحَسَنٌ، وَالصَّلاَةُ بَعْدَ الْوِتْرِ جَائِزَةٌ وَلاَ يُعِيْدُ وِترًا آخَرَ
“Witir di akhir malam lebih utama, siapa yang witir di awal malam maka bagus, shalat setelah witir hukumnya boleh, dan janganlah ia mengulang witir lagi”.
Demikian juga Nabi membolehkan shalat malam sama witir, setelah itu istirahat tidur, dan melanjutkan lagi jika telah bangun. Dalam hadits Tsauban, Rasulullah memerintahkan shalat dua rakaat setelah witir:
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ. فَقَالَ: إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جَهْدٌ وَثِقَلٌ، فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ، وَإِلَّا كَانَتَا لَهُ
“Tsauban maula Rasulullah berkata: “Dahulu kami bersama Rasulullah dalam safar, beliau berkata: “Sesingguhnya safar ini berat dan melelahkan, jika salah satu dari kalian melakukan witir maka shalatlah dua rakaat, jika dia bangun maka (bisa melakukan shalat lagi) dan jika tidak maka shalat itu sudah cukup.”
Imam Ibnu Khuzaimah berkata sebelum menyebutkan hadits di atas:
بَابُ ذِكْرِ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ الْوِتْرِ مُبَاحَةٌ لِجَمِيعِ مَنْ يُرِيدُ الصَّلَاةَ بَعْدَهُ، وَأَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا بَعْدَ الْوِتْرِ لَمْ يَكُونَا خَاصَّةً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ أُمَّتِهِ، إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَنَا بِالرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ، أَمْرَ نَدْبٍ وَفَضِيلَةٍ، لَا أَمْرَ إِيجَابٍ وَفَرِيضَةٍ
“Bab dalil bahwa shalat setelah witir diperbolehkan bagi siapa saja yang ingin shalat setelahnya, dan dua rakaat yang dikerjakan oleh Nabi setelah witir bukan khusus bagi nabi tanpa umat beliau, karena Nabi telah memerintahkan kita melakukan dua rakaat tersebut setelah witir dengan perintah bersifat anjuran dan keutamaan, bukan perintah yang bersifat wajib.”
Demikian juga hadits ini menunjukan boleh ada jeda antara dua shalat malam. Karena dalam lafadz hadits tersebut yaitu “Jika bangun dari tidur” berarti boleh ada jeda waktu antara kedua shalat malam tersebut sekalipun jeda dengan tidur.
b) Para sahabat pernah meminta Nabi untuk shalat tarwih lagi padahal Nabi telah selesai dari tarwih, dan tentu telah selesai dari shalat witir. Dan Nabi tidak mengingkari permintaan mereka. Ini menunjukan bahwa para sahabat memahami tidak mengapa at-Ta’qib, yaitu melakukan shalat tarwih lagi setelah shalat tarwih yang pertama meskipun jamaahnya sama.
Abu Dzar berkata:
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ; لَمْ يَقُمْ بِنَا; فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ; قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ؟ قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7 hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5 hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa malam ini, maka beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya jika seorang shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam suntuk’.”
c) Praktik sebagian sahabat (yaitu Thalq bin Ali) yang pernah shalat tarwih dua kali dengan jamaah yang berbeda. Dan ini adalah salah satu dari 2 makna at-Ta’qib yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah.
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ، قَالَ: زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَمْسَى عِنْدَنَا، وَأَفْطَرَ، ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ، وَأَوْتَرَ بِنَا، ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ، فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ، حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا، فَقَالَ: أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ، فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ»
“Qais bin Thalq berkata: Thalq bin Ali mengunjungi kami pada satu hari Bulan Ramadhan dan sore masih bersama kami lalu berbuka dan mengimami shalat kita pada malam itu, beliau witir bersama kami kemudian pergi ke masjidnya dan shalat mengimami para sahabatnya, ketika hendak witir beliau menyuruh seorang maju dengan berkata: shalatlah witir bersama para sahabatmu karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.”
Sahabat Thalq bin Ali dahulu melakukan shalat malam dua kali, yang pertama di tempat ini dan yang kedua di tempat lain.
d) Jika seseorang boleh shalat malam tanpa berhenti dari ba’da isya hingga jam 3 shubuh, maka tentu boleh juga jika ia shalat 2 jam, lalu istirahat 3 jam (baik tidur maupun tidak tidur), lalu melanjutkan lagi 2 jam.
Terlebih lagi istilah “Tarawiih” adalah istilah baru yang tidak ada di zaman Nabi, akan tetapi sudah ada di zaman para salaf, karena mereka dahulu setiap kali shalat malam di bulan Ramadhan 4 rakaat maka merekapun istirahat, lalu mereka melanjutkan lagi 4 rakaat lalu istirahat lagi. Istirahat tersebut dalam bahasa Arab adalah الترويحة (at-Tarwiihah), maka munculah istilah التراويح (atTarawiih) yang artinya adalah kumpulan dari istirahat-istirahat mereka tatkala shalat malam.
e) Di zaman Nabi bahkan para sahabat shalat berkelompok–kelompok kecil (berjamaah-jamaah) di masjid Nabawi dalam satu waktu. Dan ini juga terjadi hingga di zaman Umar bin al-Khoththob. Lalu akhirnya Umar menggabungkan mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaab.
Sisi pendalilan di sini adalah para sahabat tidak memandang terlarangnya berbilangnya jamaah shalat tarawih. Yang penting tidak menimbulkan kegaduhan.
Jika para sahabat membuat beberapa jamaah dengan masing-masing imamnya dalam satu waktu dan dalam satu masjid, maka lebih boleh lagi melakukan lebih dari satu jamaah dengan jeda waktu dan waktu yang berbeda.
Jawaban atas dalil pendapat yang memakruhkan shalat ta’qib
Adapun alasan yang digunakan oleh Al-Hasan yang membenci shalat ta’qib maka alasan sebenarnya tidak dibenci karena shalatnya, namun karena takut memberatkan manusia. Maka jika orang-orang tidak merasa berat dan tidak merasa bosan tentu tidak mengapa. Adapun Al-Kasani beliau tidak melarang kalau melakukannya sendiri, dengan alasan shalat sunnah mutlak tidak boleh dilakukan berjamaah, maka ini adalah kaidah Hanafiyah yang menyelisihi jumhur ulama, sehingga ini adalah berdalil dengan sesuatu yang masih diperdebatkan, yang menjadikan dalil pendapat ini lemah.
Abu Nashr Al-Marwazi berkata: “Ashaburra’yi (yaitu madzhab Hanafi) membenci shalat sunnah berjamaah kecuali qiyam Ramadhan dan shalat gerhana matahari, ini adalah pendapat yang menyelisihi sunnah, karena telah tsabit dari Rasulullah beliau shalat sunnah berjamaah di luar bulan Ramadhan baik malam maupun siang hari, dan dilakukan juga oleh sejumlah sahabat beliau.”
Adapun pendalilan dengan sabda Rasulullah:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir.”
Sehingga shalat ta’qiib menjadi makruh karena terjadi shalat lagi setelah witir, maka bisa dijawab bahwa perintah beliau di sini adalah menunjukkan sunnah bukan wajib, karena yang shahih dari sunnah Nabi baik perbuatan maupun ucapan beliau adalah membolehkan shalat setelah melakukan witir dan sudah kita sebutkan di atas.
Fatwa Ulama kontemporer yang membolehkan at-Ta’qiib
a) Lajnah Ad-Daimah dan didalamnya ada Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya tentang masalah ini dan jawabannya adalah boleh. Diperbolehkan membagi shalat qiyam Ramadhan menjadi dua bagian: satu bagian dilakukan di awal malam dan diringankan sebagai shalat tarawih dan bagian kedua dikerjakan di akhir malam dan dipanjangkan sebagai shalat tahajjud: karena Nabi di sepuluh akhir Ramadhan melakukan tahajjud lebih semangat dan mencari keutamaan malam lailatul qadr. Adapun yang mengatakan tidak boleh, maka menyelisihi petunjuk nabi dan para salaf.
b) Syaikh Utsaimin ketika ditanya beliau menjawab: Yang saya pandang kuat adalah shalat bersama imam sampai salam, saat imam salam witir ia tambah satu rakaat lagi supaya witir tersebut berubah menjadi genap, lalu witir bersama imam kedua di akhir malam. Dengan demikian dia telah menerapkan sabda Rasulullah: “Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir.”