3. Gerakan
a. Tidak perlu mengangkat tangan
Lalu turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan.
Kaidah: Tidak ada mengangkat tangan jika berkaitan dengan sujud, maka tidak ada mengangkat tangan sebelum sujud dan tidak mengangkat tangan setelah sujud.
b. Ketika turun untuk sujud, diperbolehkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, dan juga sebaliknya.
Secara garis besar, seseorang ketika akan turun (dari berdirinya) untuk sujud, maka ia boleh mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, atau pun sebaliknya, yaitu mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Hanya saja para ulama berselisih pendapat perihal yang lebih afdhal di antara keduanya.
Ibnu Taimiyyah berkata:
أَمَّا الصَّلَاةُ بِكِلَيْهِمَا فَجَائِزَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ، بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ. وَلَكِنْ تَنَازَعُوا فِي الْأَفْضَلِ
“Para ulama sepakat bahwa kedua sifat tersebut mendahulukan tangan ataupun lutut diperbolehkan di dalam shalat. Tidak mengapa jika seorang yang shalat ingin mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, demikian pula jika ia ingih mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, dan para ulama sepakat bahwa shalatnya sah dengan sifat mana pun. Mereka hanya berselisih pendapat perihal yang lebih afdhal di antara dua sifat tersebut.”
Catatan:
1. Dan yang lebih afdhal -wallahu a’lam bi-sh shawaab– adalah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, berdasarkan dua argumentasi:
Pertama: Sifat tersebut lebih sesuai dengan tabiat manusia, yang mana manusia jika ingin turun maka ia mendahulukan bagian tubuhnya yang lebih dekat dengan tanah.
Kedua: Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Ini adalah pendapat para ulama Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, riwayat yang masyhur dalam Mazhab Hambali, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, dan pendapat ini dikuatkan oleh beberapa ulama mutaakhirin, seperti Syaikh Ibn Baaz, dan Syaikh Ibn Utsaimin.
Dan ini adalah amalan yang diriwayatkan dari para sahabat: seperti Umar bin Khaththaab, Ibn Umar, dan Ibn Mas’ud.
Dan dari kalangan tabi’in, di antaranya Ibrohim An-Nakha’i, Muslim bin Yasar, Abu Qilaabah, dan Muhammad bin Sirin. Bahkan Ibrahim An-Nakha’i ketika ditanya tentang orang yang meletakkan tangan terlebih dahulu ia pun menjawab, “Tidaklah melakukan hal itu kecuali orang dungu dan gila.”
Berkata Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadits yang mendasari pendapat yang mendahulukan lutut:
وَالعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
“Dan kandungan hadits inilah yang diamalkan atau dikuatkan oleh mayoritas ulama, dimana mereka berpendapat hendaklah seseorang meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila hendak berdiri maka ia mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Al-Khaththaabi berkata:
فَذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى وَضْعِ الرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ وَهَذَا أَرْفَقُ بِالْمُصَلِّينَ وَأَحْسَنُ بِالشَّكْلِ وَرَأْيِ الْعَيْنِ
“Dan mayoritas ulama berpendapat untuk mendahulukan lutut sebelum tangan, dan hal itu lebih mudah untuk dilakukan bagi orang yang shalat, lebih indah modelnya dan lebih enak dipandang mata.”
Namun, tidak mengapa seseorang meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, jika ia merasa lebih nyaman dengan cara tersebut, karena tidak adanya dalil yang tegas dalam permasalahan ini. Sebagaimana sebagian orang yang sudah tua atau bertubuh gemuk terkadang merasa lebih nyaman jika turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut. Wallahu a’lam bi-sh shawaab
Semua dalil yang dijadikan dasar oleh kedua pendapat (baik yang mendahulukan kedua lutut ataupun yang mendahulukan kedua tangan) semuanya lemah.
Adapun pendapat pertama (mendahulukan kedua lutut) maka berdalil dengan hadits Waa’il bin Hujr, beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku melihat Rasululullah apabila (hendak) sujud, Beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Dan apabila (hendak) bangkit, Beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Namun hadits ini adalah hadits yang dhaif, karena semua jalur periwayatannya berporos pada riwayat Yazid bin Harun dari Syarik bin Abdillah An-Nakhaa’i Al-Qaadhi dari Ashim bin Kulaib. Dan hanya Syariik yang meriwayatkan hadits ini dari Ashim. Demikian juga hanya Yazid bin Harun yang meriwayatkannya dari Syarik. Sementara Syarik adalah perawi yang lemah jika meriwayatkan secara tunggal.
2. (yaitu mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut) adalah pendapat Imam Malik, Al-Auza’i, dan riwayat kedua dari Imam Ahmad, dan Ibn Hazm.
Berkata ibn Abi Daud, “Dan ini adalah pendapat Ahli Hadits.” (Nailul Awthor, Asy-Syaukani 2/282), dan dikuatkan oleh beberapa ulama mutaakhirin, seperti Syaikh Al-Albani.
Al-Auzaa’i berkata:
أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَضَعُونَ أَيْدِيَهُمْ قَبْلَ رُكَبِهِمْ
“Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka terlebih dahulu sebelum lutut mereka.” (Masail Harb al-Kirmani, 1/225 no. 423)
c. Sujud diatas tujuh anggota tubuh
Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ -أَشَارَ بِيَدَيْهِ إِلَى أَنْفِهِ- وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2 dan 3) telapak tangan kanan dan kiri, (4 dan 5) lutut kanan dan kiri, dan (6 dan 7) ujung kaki kanan dan kiri.”
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.
Imam Nawawi berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.”
d. Posisi kedua tangan ketika sujud
Pertama: Kedua tangan sejajar dengan telinga atau sejajar pundak
Wail bin Hujr berkata:
ثم سجد فجعل كفيه بحذاء أذنيه
“Lalu Nabi sujud, maka Nabi menjadikan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya.”
Abu Humaid berkata:
ثُمَّ سَجَدَ فَأَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ، وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
“Lalu Nabi sujud dan memantapkan posisi hidung dan dahinya (menyentuh tanah tatkala sujud), dan beliau menjauhkan kedua tangannya dari kedua lambungnya, dan beliau meletakan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya.”
Kedua: Tangan direnggangkan (yaitu ketiak dibuka)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Malik bin Buhainah:
أن النبي كان إذا صلى فرّج بين يديه حتى يبدو بياض ابطيه
“Dan sesungguhnya Nabi jika shalat beliau merenggangkan antara kedua tangannya hingga terlihat putih dua ketiak beliau.”
Ketiga: Kedua siku diangkat
Dan yang diriwayatkan oleh al-Bara’:
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مَرْفِقَيْكَ
“Jika engkau sujud maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.”
Demikian juga dalam hadits Abu Humaid as-Saaidi beliau berkata:
سجد النبي صلى الله عليه وسلم ووضع يديه غيرَ مفترشٍ ولا قابضهما
“Nabi sujud dan beliau meletakan kedua tangannya tanpa menghamparkan keduanya (yaitu beliau tidak menempelkan kedua lengannya ke tanah akan tetapi mengangkatnya) dan tidak juga mengumpulkannya (yaitu beliau tangan menempel ke tanah menjauhkan kedua sikunya dari kedua lambungnya dan tidak menempelkan kedua lengan atasnya dan kedua lengan bahwanya dengan perutnya dan pahanya.”
Namun, perlu diketahui bahwa perkara ini hukumnya bukanlah wajib, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar:
وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَعَ حَدِيثِ مَيْمُونَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ … مَعَ حَدِيث بن بُحَيْنَةَ الْمُعَلَّقِ هُنَا ظَاهِرُهَا وُجُوبُ التَّفْرِيجِ الْمَذْكُورِ لَكِنْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لِلِاسْتِحْبَابِ وَهُوَ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ شَكَا أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ مَشَقَّةَ السُّجُودِ عَلَيْهِمْ إِذَا انْفَرَجُوا فَقَالَ اسْتَعِينُوا بِالرُّكَبِ
“Dan hadits-hadits ini dengan hadits Maimunah pada Shahih Muslim… bersama dengan hadits Buhainah yang mu’allaq di sini zhahirnya menunjukkan wajibnya merenggangkan apa yang telah disebutkan, akan tetapi Abu Dawud meriwayatkan apa yang menunjukkan bahwasanya hal tersebut hanya untuk mustahab, yaitu hadits Abu Hurairah: “Para sahabat Nabi mengadu kepada beliau tentang sulitnya sujud mereka jika harus menjauhkan (kedua tangan dari kedua rusuk dan menjauhkan perut dari kedua paha), maka beliau bersabda: Gunakanlah lutut-lutut kalian.”
Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah.
Namun jika dalam kondisi shalat berjamaah maka hendaknya tidak Merenggangkan kedua tangannya. Syaikh al-Utsaimin berkata:
ويستثنى من هذا – أي: من التفريج – ما إذا كان في جماعة، فإنه لو كان في جماعة وفرج لآذى من بجانبه وأشغله عن صلاته فلا يفرج إذن تكون هذه المسألة في الإمام والمنفرد، أما من كان مع الجماعة فلا يفرج لأن ترك السنة لدفع الأذى أولى من فعل السنة مع الأذى
“Dikecualikan dari ini -yaitu merenggangkan- jika berada dalam shalat berjama’ah, jika seorang dalam shalat berjama’ah kemudian merenggangkan kedua tangannya maka ini sungguh akan mengganggu orang yang berada disampingnya dan ia akan tersibukkan dalam shalatnya, maka hendaknya ia tidak merenggangkan. Dengan demikian, pembahasan ini adalah untuk imam dan orang yang shalat sendiri, adapun orang yang shalat berjamaah maka hendaknya ia tidak merenggangkan, karena meninggalkan sunnah dalam rangka mencegah gangguan lebih utama daripada melakukan sunnah tetapi mengganggu.”
Keempat: Merapatkan jari jemari
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr beliau berkata:
إِذَا رَكَعَ فَرَّجَ أصَابِعَهُ، وَإِذَا سَجَدَ ضَمَّ أصَابِعَهُ
“Jika Nabi ruku’ maka beliau merenggangkan jari-jari tangannya, dan jika sujud maka beliau merapatkan jari-jarinya.”
e. Menempelkan kedua kaki tatkala sujud
Ketika sujud yang lebih utama adalah menempelkan kedua tumit, berdasarkan hadits Aisyah, beliau berkata:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
“Aku kehilangan Rasulullah, padahal tadinya ia bersamaku di kasur. Aku pun mencarinya dan aku mendapati beliau sedang sujud dengan menempelkan kedua tumitnya satu dengan yang lainnya, dalam kondisi menghadap kiblat.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 654, dan Ibnu Hibban no. 1.933, dan Al-Hakim no. 832)
4. Bacaan
a. Dzikir sujud
Pertama:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.” (HR. Abu Dawud 1/230 no. 871)
Kedua:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan pujian untuk-Nya”. Ini dibaca tiga kali.
Ketiga:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحُ
“Mahasuci, Maha Quddus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu malaikat Jibril-.”
Keempat:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, Segala puji bagi Engkau. Ya Allah, ampunilah aku.”
Kelima:
اللهمَّ لكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلكَ أَسْلمْتُ سَجَدَ وَجْهِي للذِي خَلقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ َتَبَارَكَ الله أَحْسَنُ الخَالقِينَ
“Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Telah sujud wajahku kepada Dia yang telah menciptakannya, membentuknya, memisahkan pendengaran dan penglihatannya, Maha Suci Allah Pencipta yang paling baik.”
Keenam:
اللهمَّ لكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلكَ أَسْلمْتُ، وَأَنْتَ رَبِّي سَجَدَ وَجْهِي للذِي خَلقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُورَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ َتَبَارَكَ الله أَحْسَنُ الخَالقِينَ
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku bersujud, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku berserah diri. (Engkau Rabb-ku). Bersujud wajahku kepada Dzat yang menciptakan dan membentuknya, lalu Dia baguskan rupanya, yang membelah pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik Pencipta.”
Ketujuh:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِك لَا إِلَه إِلَّا أَنْتَ
“Maha Suci Engkau, segala puji bagi Engkau. Tidak ada Tuhan selain Engkau.”
Kedelapan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَه إِلَّا أَنْتَ
“Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.”
Kesembilan:
سُبْحَانَ ذِي الجَبَرُوتِ وَالمَلَكُوتِ وَالكِبْرِيَاءِ وَالعَظَمَةِ
“Maha Suci Dia yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.”
b. Doa-doa yang dianjurkan dalam sujud
1) Anjuran berdoa dalam sujud
Dianjurkan untuk berdoa di dalam sujud. Berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
أَقْرَبُ ما يَكُونُ العَبْدُ من رَبِّهِ وهو سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ
“Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabb-Nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa (dalam sujud).”
2) Doa yang dianjurkan dalam sujud
Pertama:
اللهُمَّ اغْفِرْ لي ذَنْبِي كُلهُ، دِقَّهُ وَجِلهُ، وَأَوَّلهُ وَآخِرَهُ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Allahummaghfirlii dzanbii kullahu, diqqahu, wa jillahu, wa awwalahu wa aakhirahu, wa ‘alaaniyyatahu wa sirrahu. “Ya Allah, ampunilah untukku dosaku semuanya, baik yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.”
Kedua:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
“Allahummaghfirlii maa asrartu wa maa a’lantu” “Ya Allah, ampunilah dosaku yang tersembunyi dan terang-terangan.”
Ketiga:
رَبِّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
“Wahai Rabb-ku, ampunilah aku, apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku nyatakan.”
Keempat:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورا، وَفِي سَمْعي نُورًا، وَفِي بَصَري نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ شِمَالِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِيّ نُورًا، وَمِنْ خَلْفي نُورًا، وَمِنْ فَوْقي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِيْ نُوْرًا
“Allahummaj’al fii qalbii nuuraa, wa fii sam’i nuura, wa fii basharii nuuraa, wa ‘an yamiinii nuuraa, wa ‘an syimaalii nuuraa, wa amaamii nuuraa, wa khalfii nuuraa, wa fauqii nuuraa, wa tahtii nuuraa, waj’al lii nuuraa”
“Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di dalam mataku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, dan jadikanlah cahaya untukku.”
Kelima:
اللَّهُمَّ! إنِّي أعُوذُ بِرِضاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وبِمُعافاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وأعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَناءً عَلَيْكَ أَنْت كَمَا أثْنَيْتَ على نَفْسِكَ
“Allahumma innii a’udzu bi ridhaaka min sakhatika, wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatika, wa a’udzubika minka, laa uhshi tsanaa’an ‘alaika kamaa atsnaita ‘ala nafsika”
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.”