1. Hukum Menolak Hadits Ahad yang Sudah Jelas Shahih
Imam as-Safarini (wafat th. 1188 H) telah menukil dari Ishaq bin Rahawaih pendapat tentang kafirnya orang yang mengingkari hadits ahad. Namun pendapat yang benar ialah tidak kafir. Tampaknya, tinjauan pendapat yang mengkafirkan orang yang menolak hadits ahad melihat pada kedudukan hadits-hadits tersebut sebagai riwayat yang diterima dan disepakati keshahihannya oleh umat Islam.
Meskipun tidak mengatakan kafirnya orang tersebut, akan tetapi kami menegaskan bahwa siapa saja yang menolak hadits dari Nabi yang shahih mengenai penggunaannya sebagai hujjah dalam masalah aqidah telah menempuh jalan yang sesat. Dan dengan sebah penolakannya terhadap hadits-hadits yang demikian, maka Allah menjerumuskannya dalam kesesatan.
Allah berfirman:
… فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“… Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah dari Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpakan adzab yang pedih. (QS. An-Nur (24): 63)
2. Wajib Menyampaikan Aqidah Sesuai Dengan Metode Al-Qur-an Dan As-Sunnah
Dalam pembahasan ini, kita wajib berkomitmen menggunakan metode al-Qur-an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, kita wajib untuk menyampaikan aqidah sesuai dengan metode yang diterangkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah yang difahami, diyakini, dan diamalkan oleh para Sahabat tidak boleh keluar dari pemahaman ini. Sungguh, inilah jalan yang terbukti bisa menghidupkan hati generasi pertama umat Islam, para Sahabat, dan juga orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Inilah satu-satunya jalan yang dapat memperbaiki generasi umat Islam setelah era para Sahabat. Tepatlah apa yang ditegaskan oleh Imam Malik bin Anas, imam dan ulama kota Madinah al-Munawwarah:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.
“Generasi akhir umat ini tidak akan dapat diperbaiki melainkan dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya (para Sahabat).”
Dalam hal ini, ada dua syubhat atau kerancuan yang perlu diluruskan:
1. Bagaimana Menyampaikan al-Qur-an kepada Orang yang Tidak Beriman kepada Kitab-Nya ini?
Beberapa orang yang mempunyai sedikit ilmu agama bertanya: “Bagaimana kita menyampaikan al-Qur-an kepada seseorang yang tidak beriman kepada Allah? Seharusnya kita mengajak bicara umat manusia saat ini menggunakan logika ilmiah-materialis-modernis dan dengan argumen-argumen logis. Jika mereka puas dengan Islam melalui metode tersebut, barulah kita mengajak mereka berbicara dengan al-Qur-an.”
Kami menegaskan kepada mereka: “Demi Allah, bagaimana kalian memahami perintah Allah kepada Rasul-Nya agar memberi peringatan dengan al-Qur-an kepada kaum kafir yang mendustakan Allah, al-Qur-an, dan Rasul-Nya ini:
… لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ …
“… Agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Qur-an kepadanya) ….” (QS. Al-An’am (6): 19)
Bagaimana pula kalian memahami perintah Allah kepada Nabi agar membacakan al-Qur-an kepada mereka?
Bukankah Nabi Muhammad membacakan al-Qur-an kepada orang-orang yang menentang dan mendustakannya, sehingga berhasil menggetarkan jiwa dan mengguncangkan hati mereka?”
Renungkanlah pengaruh ayat-ayat al-Qur-an terhadap Umayyah bin Khalaf, al-Walid bin Utbah, dan kaum Quraisy lainnya padahal kekafiran mereka sudah sedemikian kental dan permusuhan mereka sudah mendarah daging?
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa al-Qur-an kini sudah dibacakan di setiap tempat bahkan dalam siaran radio maupun televisi, namun anak-anak kaum muslimin yang membaca al-Qur-an tetap saja tidak mengimani pesan yang dibawanya.
Jawabannya: dahulu, pada saat orang Arab mendengar ayat-ayat al-Qur-an dibacakan kepadanya, maka ayat tersebut pun langsung menyelinap masuk dalam lubuk hatinya. Karena, dia merupakan orang Arab yang mengetahui maknanya sehingga tidak ada penghalang untuk memahami hakikatnya.
Adapun zaman ini, ada banyak penghalang bagi manusia untuk memahami hakikat yang dikandungnya, sebagiannya karena terkendala bahasa dan sebagiannya karena syubhat (kerancuan) yang meracuni pemikiran-pemikiran mereka, sehingga syubhat-syubhat tersebut menurut masyarakat awam dianggap sebagai sesuatu yang bisa diterima.
Atas dasar itu, tugas terpenting bagi seseorang yang mengamalkan al-Qur-an saat ini adalah menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa yang bisa dipahami orang banyak. Dia wajib menghubungkan manusia dengan al-Qur-an, dan menghubungkan al-Qur-an dengan manusia.
Caranya ialah dengan menjelaskan kandungan al-Qur-an kepada mereka, memberikan penyegaran terkait makna tiap ayatnya sehingga dirasakan dan diresapi kembali oleh jiwa. Dengan cara demikian ini, makna-makna al-Qur-an akan sampai ke telinga para pendusta atau pengingkarnya. Begitu pula, akan terealisasi dakwah ilahi yang kelak menjadi hujjah bagi setiap manusia.
Sebagaimana kami ungkapkan di atas bahwa al-Qur-an mengandung dalil-dalil yang mendiskusikan akal manusia serta memuaskan dahaga hati sanubari, bukan hanya berisi berita-berita semata.
3. Pendekatan Melalui Dialog antar Agama dan Keyakinan
Penyampaian aqidah sesuai dengan metode atau melalui pendekatan al-Qur-an dan as-Sunnah merupakan jalan yang sudah benar. Yaitu dengan menjelaskan metode yang Allah berikan kepada kita untuk menetapkan keimanan dalam diri manusia serta menerapkannya secara konsisten dalam diri kita sendiri, juga dalam upaya mengajak dan mendidik manusia sesuai aturannya.
Akan tetapi musuh-musuh Allah dan orang-orang yang teperdaya di kalangan umat Islam berusaha menodai jalan yang lurus tersebut melalui seruan pendekatan dialog antar agama dan keyakinan. Untuk tujuan itu, digelarlah sejumlah muktamar dan seminar.
Apabila ini ditinjau lebih lanjut, perwakilan kaum muslimin yang memimpin muktamar dan seminar-seminar tersebut telah melakukan kesalahan besar. Karena, mereka telah sudi menjadikan Islam sebagai materi bahasan yang mau tidak mau akan dipersepsikan oleh masyarakat berposisi sejajar dengan agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Karena agama Islam tidak bisa disejajarkan dengan agama Yahudi, Nasrani, maupun agama lainnya.
Agama Islam adalah agama yang haq (benar) selain Islam adalah bathil. Maka kewajiban kita adalah mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam, agama tauhid.
Allah berfirman:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (Muhammad): “Wahai Ahlul Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak beribadah kepada selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain ilah-ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka): “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. Ali Imran (3): 64)
Semestinya para pengusung dialog antar agama tersebut menjelaskan kesalahan kaum musyrikin dengan cara yang baik, menawarkan kepada mereka agama yang benar ini, serta menegakkan hujjah (kebenaran) kepada mereka. Bukan malah mencari simpati dan mentolerir kesalahan mereka. Ini merupakan kebodohan dan kesesatan, bahkan membawa kepada kekafiran.
Mereka yang mencampuradukkan antara Islam dengan keyakinan yang lainnya baik dari agama-agama yang berkembang, aliran-aliran kepercayaan, ataupun doktrin-doktrin filsafat, mereka telah melakukan kesalahan yang besar dan kesalahan yang sangat fatal!
Bagaimana dia mengklaim dapat menyelaraskan antara nash-nash al-Qur-an dan perkataan mereka hingga tercapai titik temu?
Dengan klaim tersebut sebenarnya mereka telah berdusta, dan mereka telah tersesat dengan metode yang dijalankan.
Karena, Islam adalah agama Allah yang mengatur kehidupan dan semua makhluk hidup. Dan Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sedangkan selain Islam tidak akan diterima di sisi Allah.
Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ …
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam ….” (QS. Ali Imran (3): 19)
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan?” (QS. Ali Imran (3): 83)
Allah juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)
Kita tidak perlu menyelaraskan antara agama Islam dengan agama atau keyakinan lainnya, karena dalam ajaran selain Islam ada yang baik dan ada yang buruk, sedangkan agama Islam adalah baik seluruhnya. Tugas kita adalah melestarikan keunggulan Kitab Allah (al-Qur-an) dan agama-Nya.
Sebagaimana firman-Nya:
… قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ …
“… sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat ….” (QS. Al-Baqarah (2): 256)
Sehingga manakala manusia kembali kepada ajaran Islam, mereka mendapatinya sebagai satu agama yang murni, tidak tercampur dengan sesuatu apa pun.
Allah mencela orang-orang yang seperti ini, yaitu mereka yang ingin mencampuradukkan Islam dengan agama atau keyakinan yang lainnya, dan mencari titik temu di persimpangan jalan atas nama toleransi.
Allah menyebutkan cara atau usaha menyatukan Islam dengan agama-agama lain, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan orang-orang munafik.
Sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul, (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu.
فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)
Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.” (QS. An-Nisa (4): 61-62)
Allah juga berfirman:
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا (88)
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka (kepada kekafiran), disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah? Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (89)
Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan dari antara mereka sebagai teman-teman(mu), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan, dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka sebagai teman setia dan penolong,” (QS. An-Nisa (4): 88-89)
Allah telah melarang keras mencampuradukkan antara Islam dengan agama Yahudi dan Nasrani.
Allah berfirman:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah (2): 42)
Berkenaan dengan tafsir ayat berikut ini:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ “Dan janganlah kalian campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarir membawakan pernyataan Imam Mujahid (wafat th. 104 H) yaitu: “Janganlah kalian mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatadah (wafat th. 117 H) berkata: “Janganlah kalian campuradukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah, bukan dari Allah!”