HUKUM MENGANGKAT KEDUA TANGAN

hands, world, map, global, earth, world map, globe, continents, palms, fingers, idea, concept, world, world, world, world, world, map, earth, earth, globe

A. Penjelasan

Para ulama sepakat akan disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Adapun selain takbiratul ihram maka para ulama berselisih menjadi beberapa pendapat.

Pendapat Pertama: Mengangkat kedua tangan hanya di takbiratul ihram.

Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik.

Mereka berdalil dengan riwayat Ibnu Umar:

كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ، ثُمَّ لَا يَعُودُ

“Bahwasanya Rasulullah mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat kemudian tidak mengulanginya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah I/213 no. 2442)

Ibnu Hajar berkata.

وهو مقلوب موضوع

“Dan dia (hadits ini) maqlub (terbalik) dan maudhu’ (palsu).” (Lihat: At-Talkhiisul Habiir fii Takhriiji Ahaadiitsir Raafi’iyyi-l Kabiir I/545)

Pendapat Kedua: Mengangkat kedua tangan di 4 tempat, (1) Takbiratul ihram, (2) Ketika takbir mau ruku’, (3) Ketika takbir bangkit dari ruku’, dan (4) Ketika takbir bangkit dari tasyahud awal menuju rakaat ketiga.

Dan ini adalah pendapat Mazhab Syafi’i dam Mazhab Hambali, serta salah satu riwayat dari imam Malik. (Lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 4/95).

Pendapat Ketiga: Mengangkat kedua tangan setiap kali takbir, termasuk ketika akan sujud dan ketika bangkit dari sujud.

Dan Ini adalah pendapat sebagian utama. Mereka berdalil dengan hadits Malik bin Al-Huwairits,

أَنَّهُ رَأَى نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلَاتِهِ، وَإِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا سَجَدَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ، حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ

“Bahwasanya beliau melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya, ketika beliau ruku’, ketika mengangkat kepala beliau dari ruku’, ketika sujud, dan ketika mengangkat kepala beliau dari sujud hingga beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan ujung atas daun telinga beliau.” (HR. Ahmad no. 15.600 dan 15.604 dan An-Nasaa’i no. 1.085)

Akan tetapi sanadnya bermasalah dari 3 sisi:

1. Pada sanadnya ada Qataadah bin Di’aamah As-Saduusi, dan beliau adalah seorang mudallis, dan beliau telah melakukan an’anah (meriwayatkan dengan عن), sehingga sanadnya lemah.

2. Pada matannya ada tambahan lafaz إذا سجد وإذا رفع رأسه من السجود “Mengangkat kedua tangannya ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud”, dan lafaz ini tidak diriwayatkan pada jalur-jalur yang lain. Sehingga tambahan ini adalah syadz (Perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya). (Lihat penjelasan para pentahqiq al-Musnad 24/366-367)

Jika memperhatikan pohon sanadnya maka sangat jelas bahwa Qataadah terkadang meriwayatkan dengan tambahan dan terkadang tanpa tambahan. Dan riwayat dari beliau yang tanpa tambahan lebih banyak daripada riwayat yang dengan tambahan.

Terlebih lagi riwayat Qataadah dari Malik bin al-Huwairits menyelisihi riwayat Kholid al-Hadzdzaa’ dari Abu Qilabah dari Malik bin al-Huwairits yang lebih shahih (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Karenanya Imam Muslim dalam Shahih-nya memilih riwayat Qataadah yang tidak disertai tambahan tersebut. (HR. Muslim no. 391).

3. Tambahan ini bertentangan dengan hadits Ibn Umar yang menyatakan bahwa Nabi tidak mengangkat kedua tangannya ketika sujud.

Dan Ibn Umar dikenal sangat meneladani Nabi dan lebih lama menyertai Beliau karena beliau merupakan penduduk Madinah. Berbeda dengan Malik bin al-Huwairits yang bukan penduduk Madinah dan hanya menyertai Nabi selama 20 hari. (Lihat Shahih Muslim no. 674). Dan dalam pembahasan ini tidak bisa kita katakan bahwa yang menetapkan (suatu hukum) lebih didahulukan daripada yang tidak tahu (meniadakan hukum tersebut), karena Ibn Umar menafikan didasari ilmu, bukan didasari ketidaktahuan. Wallahu a’lam.

Pendapat Keempat: Berusaha men-jamak (menggabungkan dan mengkompromikan) antara pendapat kedua dan pendapat ketiga. Yaitu dengan mengatakan boleh sesekali mengangkat kedua tangan ketika sujud dan bangkit dari sujud. (Lihat penjelasan Ibn Rajah Al-Hambali dalam Fathul Baari 6/354)

Dan yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu disyariatkannya mengangkat kedua tangan di 4 tempat:

a. Ketika takbiratul ihram.

b. Ketika takbir sebelum ruku’

c. Ketika takbir bangkit dari ruku’

d. Ketika takbir bangkit dari rakaat kedua (dari tasyahhud awal).

Adapun selain 4 tempat ini (seperti akan sujud atau bangkit dari sujud) maka tidak disyariatkan padanya untuk mengangkat kedua tangan.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ، وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ مِنَ الرُّكُوعِ، وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ»

“Aku melihat Rasulullah jika Beliau memulai shalat, Beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya, dan (Beliau juga mengangkat kedua tangan) sebelum ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’. Dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya di antara dua sujud.”

Dalam riwayat yang lain: وكان لا يفعل ذلك في السجود “Dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika sujud.”

Dalam riwayat yang lain: وإذا قام من الركعتين رفع يديه “Dan ketika bangkit dari rakaat kedua (menuju rakaat ketiga) maka Beliau mengangkat kedua tangannya.”

Para ulama mencoba menyebutkan hikmah dari mengangkat kedua tangan tatkala memulai shalat.

1. Menunjukan kepasrahan, sebagaimana seseorang menyerah ketika tertangkap, ia akan mengangkat kedua tangannya.

2. Sebagai pertanda bahwa ia menganggap perkara yang akan ia masuki (yaitu shalat) adalah perkara yang agung.

3. Sebagai isyarat bahwa ia telah melemparkan segala urusan duniawi ke belakangnya, dan ia akan fokus dan berkonsentrasi penuh untuk shalat dan bermunajat kepada Altah. Hal ini sesuai dengan perkataannya “Allahu Akbar”, sehingga perbuatannya sesuai dengan perkataannya.

4. Sebagai pemberitahuan bahwa ia telah memulai shalat dengan perbuatan, sebagaimana “Allahu Akbar” adalah pemberitahuan bahwa ia telah memulai shalat dengan perkataan, sehingga makmum yang tidak mendengar bisa melihat hal tersebut. (Lihat Ikmaal al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, Al-Qaadhi Iyaadh 2/263)

B. Gerakan mengangkat tangan

1. Ukuran Tinggi Tangan ketika Diangkat

Adapun ukuran tinggi kedua tangan ketika diangkat maka ada beberapa tata cara:

Pertama: Sejajar dengan Pundak.

Berdasarkan hadits Ibnu Umar.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ, وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ, وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ

“Sesungguhnya Rasulullah biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan dan ketika mengangkat kepala setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya.”

Kedua: Sejajar dengan telinga.

Berdasarkan hadits al-Baraa’ bin Aazib:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُونَا حَذْوَ أُذُنَيْهِ

“Ketika memulai shalat, Rasulullah biasa mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya.”

Ketiga: Setinggi bagian atas daun telinga.

Berdasarkan hadits Malik bin Al-Huwairtis:

حتى يحاذي بهما فروع أذنيه

“Ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan bagian atas daun telinganya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits-hadits di atas. Namun pendapat yang lebih benar adalah bolehnya melakukan semua tata cara yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut (sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah melakukan ketiga tata cara tersebut), karena sedikitnya perbedaan di antara ketiganya.

Dan hendaknya kedua tangan diangkat dengan sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah.

Abu Hurairah berkata:

كَانَ إِذَا قَامَ يَعْنِي إِلَى الصَّلَاةِ، رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

“Adalah Nabi jika berdiri shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya dengan sungguh-sungguh.”

2. Kapan waktunya mengangkat tangan?

Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan ada 3 pilihan waktu mengangkat kedua tangan ketika takbir:

a. Bertakbir terlebih dahulu kemudian mengangkat kedua tangan.

Berdasarkan hadits Malik bin al-Huwairits. Dimana Abu Qilabah melihat Malik bin al-Huwairits:

إذا صلى كبّر ثم رفع يديه

“Jika beliau shalat maka beliau bertakbir kemudian beliau mengangkat kedua tangannya.”

b. Mengangkat kedua tangan terlebih dahulu kemudian baru bertakbir.

Berdasarkan hadits Ibnu Umar dalam lafazh yang lain:

رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُونَا حَذْوَ منكبيه ثم كبّر

“Nabi mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, kemudian Beliau bertakbir.”

c. Mengangkat tangan bersamaan dengan takbir.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:

فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

“Maka Nabi pun mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga Beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya.”

Ketiga pilihan waktu ini telah disebutkan oleh An-Nawawi, lalu beliau cenderung memilih pilihan waktu yang ketiga (yaitu mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbir).

3. Posisi telapak tangan ketika diangkat

Pertama: Posisi telapak tangan ketika di angkat ialah terbuka, bukan digenggam ataupun setengah menggenggam.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah,

 إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

“Rasulullah ketika masuk dalam shalat, beliau mengangkat kedua tangannya dalam keadaan terjulurkan.”

Kedua: Posisi jari-jari sedikit direnggangkan, tidak terlalu renggang dan juga tidak dirapatkan.

Abu Hurairah berkata:

كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ: هَكَذَا -وَأَشَارَ أَبُو عَامِرٍ بِيَدِهِ وَلَمْ يُفَرِّجْ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَلَمْ يَضُمَّهَا

“Adalah Nabi jika berdiri hendak shalat maka beliau melakukan seperti ini. Dan Abu Aamir (sang perawi) menjelaskan dengan memberi isyarat dengan tangannya, yaitu beliau tidak merenggangkan jari-jarinya dan tidak pula menggenggamnya.”

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini:

وَأَشَارَ لَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، فَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ تَفْرِيجًا لَيْسَ بِالْوَاسِعِ، وَلَمْ يَضُمَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، وَلَا بَاعَدَ بَيْنَهَا

“Dan Yahya bin Hakiim (sang perawi hadits tersebut) memperagakan kepada kami, beliau pun mengangkat kedua tangannya, lalu beliau merenggangkan jari-jarinya namun tidak terlalu lebar, ia tidaklah menggenggam jari-jarinya serta tidak pula menjauhkan (merenggangkan sekali) jari-jarinya.”

An-Nawawi berkata:

وأن يفرّق بين أصابعهما تفريقا وسطا

“Hendaknya ia merenggangkan jari-jarinya dengan kerenggangan yang sedang.”

Sebagian ulama menambahkan posisi ketiga yaitu: Mengarahkan telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan. Akan tetapi tidak ada satu pun dalil yang shahih dan tegas yang menunjukkan hal ini, Karenanya tidak ada ketentuan perihal arah menghadapnya telapak tangan, boleh persis menghadap kiblat, dan boleh juga tidak persis menghadap kiblat. Wallahu a’lam.

C. Sedekap

1. Penjelasan

Ada 2 permasalahan: (1) permasalahan posisi antara kedua tangan, dan (2) di mana meletakkan kedua tangan tersebut.

2 Gerakan

a. Posisi antara kedua tangan.

Ada 3 model dalam hal ini:

Pertama: Meletakkan telapak tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri atau pergelangan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri.

Berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d, ia berkata:

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ.

“Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan telapak tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri ketika sholat.”

Kedua: Tangan kanan menggenggam tangan kiri (yaitu menggenggap pergelangan tangan kiri).

Berdasarkan hadits Waail bin Hujr, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

“Aku melihat Nabi ketika berdiri dalam shalat, Beliau menggenggamkan tangan kanannya ke tangan kirinya.”

Caranya yaitu tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri.

Ketiga: Meletakkan telapak tangan kanan di punggung telapak tangan kiri.

b. Posisi bersedekap

Tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan dimana letak kedua tangan ketika bersedekap. Adapun hadits yang menerangkan tentang posisi meletakkan kedua tangan di dada ketika bersedekap dan di bawah pusar Ketika bersedekap, semuanya haditsnya kedudukannya lemah.

Ibnul Mundzir berkata:

وَقَالَ قَائِلٌ: لَيْسَ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يَضَعُ عَلَيْهِ الْيَدَ خَبَرٌ يَثْبُتُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ شَاءَ وَضَعَهُمَا تَحْتَ السُّرَّةِ، وَإِنْ شَاءَ فَوْقَهَا

“Ada yang mengatakan: “Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi tentang di mana seorang meletakkan tangannya (ketika berdiri dalam shalat). Maka boleh baginya untuk memposisikannya di bawah atau di atas pusar.”

Karenanya para ulama memandang bahwa hukum bersedekap pada kedua posisi ini (di atas atau di bawah pusar) adalah boleh dan sah.

At-Tirmidzi berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاةِ وَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنْ يَضَعَهَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَكُلُّ ذَلِكَ وَاسِعٌ عِنْدَهُمْ

“Dan inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan para Sahabat Nabi, para tabiin, serta para ulama setelah mereka. Mereka memandang bahwa seseorang meletakan tangan kanannya di atas tangan kirinya ketika shalat. Kemudian sebagian mereka memandang bahwa seseorang meletakan kedua tangannya di atas pusar, dan sebagian yang lain memandang bahwa ia meletakan kedua tangannya di bawah pusar. Dan semua itu diperbolehkan menurut mereka.”

Hanya saja mereka berselisih perihal menentukan yang lebih afdhal. Maka dengan demikian seseorang bebas meletakkan kedua tangannya pada posisi apa pun (di atas atau di bawah pusar) yang mudah baginya dan dapat membantunya untuk lebih khusyu’.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top