1. Penjelasan
Secara bahasa dari lafadz (ركع – يركع – ركوعا) yang bermakna (الانحناء) yaitu menunduk atau membungkuk.
Secara istilah ruku’ dalam shalat adalah gerakan khusus yang dilakukan setelah berdiri membaca surat Al-Qur’an dengan menundukkan kepala dan membungkukkan punggung disertai kedua tangan memegang kedua lutut hingga punggung dan kepala lurus sama rata.
Ruku’ termasuk salah satu rukun shalat. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah panjang yang menjelaskan tentang seseorang yang diajarkan tata cara shalat yang benar oleh Nabi, di antaranya tentang ruku’:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
«… lalu ruku’lah dengan tuma’ninah…”
2. Hukum-Hukum
a. Ruku’ merupakan rukun shalat
Ruku’ merupakan salah satu rukun shalat dan wajib dikerjakan bagi yang mampu.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu. (QS. Al-Hajj: 77)
Kemudian hadits tentang orang yang buruk shalatnya, diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
وَعَن أبي هُرَيْرَة، رَضِي الله عَنهُ: أَن رجلا دخل الْمَسْجِد، وَرَسُول الله [صلى الله عَلَيْهِ وَسلم] جَالس فِي نَاحيَة الْمَسْجِد فصلى، ثمَّ جَاءَ فَسلم عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُول الله [صلى الله عَلَيْهِ وَسلم]: وَعَلَيْك السَّلَام، ارْجع فصل، فَإنَّك لم تصل، فصلى ثمَّ جَاءَ فَسلم، فَقَالَ: وَعَلَيْك السَّلَام، فَارْجِع فصل فَإنَّك لم تصل فصلى، ثمَّ جَاءَ فَسلم، فَقَالَ: وَعَلَيْك السَّلَام، فَارْجِع فصل فَإنَّك لم تصل، فَقَالَ فِي الثَّانِيَة، أَو فِي الَّتِي تَلِيهَا: عَلمنِي يَا رَسُول الله. فَقَالَ: إِذا قُمْت إِلَى الصَّلَاة فأسبغ الْوضُوء، ثمَّ اسْتقْبل الْقبْلَة، فَكبر، ثمَّ اقْرَأ مَا تيَسّر مَعَك من الْقُرْآن، ثمَّ اركع حَتَّى تطمئِن رَاكِعا، ثمَّ ارْفَعْ حَتَّى تستوي قَائِما؛ ثمَّ اسجد حَتَّى تطمئِن سَاجِدا، ثمَّ ارْفَعْ حَتَّى تطمئِن جَالِسا ثمَّ اسجد حَتَّى تطمئِن سَاجِدا، ثمَّ ارْفَعْ حَتَّى تطمئِن جَالِسا، ثمَّ افْعَل ذَلِك فِي صَلَاتك كلهَا
“Ada seorang lelaki yang masuk masjid dan Rasulullah duduk di suatu sudut masjid, lalu ia melaksanakah shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi, lalu beliau menjawab: “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi. Lalu beliau menjawab (sama seperti sebelumnya): “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lantas orang yang tersebut berkata pada kali kedua atau yang ketiga: “Ajarilah aku! Wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan serta thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah dengan berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitiah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk disertai thuma’ninah Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.”
b. Ruku’ harus thuma’ninah
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi bersabda:
ثمَّ اركع حَتَّى تطمئِن رَاكِعا
“Kemudian ruku’lah sampai engkau benar-benar ruku’ dengan thuma’ninah.”
Dan thuma’ninah dapat terealisasi dalam ruku’ apabila seseorang sudah mencapai posisi ruku’ sempurna, yaitu dengan diam sesaat pada posisi tersebut, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qudamah: “Makna thuma’ninah (dalam ruku’) ialah ketika sampai batasan ruku’ lalu diam sebentar. Ini menunjukkan bahwa banyak dari kaum muslimin yang salah memahami arti thuma’ninah. Dimana sebagian mereka memahami bahwa thuma’ninah adalah sekedar posisi ruku’, bukan diam sesaat setelah mencapai posisi ruku’ yang sempurna.”
Batas thuma’ninah dalam gerakan ruku’ adalah dengan ukuran membaca bacaan tasbih yang telah diwajibkan. Hal ini berdasarkan hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya yang telah disebutkan.
Dan sebagaimana sabda Rasulullah:
إِنَّ أَسْوَأَ النَّاسِ سَرِقَةً، الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا؟ قَالَ: لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا
“Seburuk-buruknya pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri shalat? Rasulullah berkata, Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya.”
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berkata:
إِذَا رَكَعَ اسْتَوَى فَلَوْ صُبَّ عَلَى ظَهْرِهِ الْمَاءُ لَاسْتَقَرَّ
“Rasulullah jika ruku’ maka anggota tubuhnya sejajar, seandainya dituangkan air ke atas punggungnya maka air itu akan tenang.”
Demikian juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Wahb Al-Juhaniy.
رَأَى رَجُلًا لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلاَ سُجُودَهُ، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ: «مَا صَلَّيْتَ؟» قَالَ: وَأَحْسِبُهُ قَالَ: لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Beliau melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Tatkala dia selesai dari shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: “Kamu tidak shalat”. Dia (perawi) berkata: Aku pikir dia berkata: “Jika kamu mati, maka kamu mati tidak di atas agama Muhammad.”
Perkataan Hudzaifah (kamu tidak shalat) menunjukkan akan wajibnya thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud, apabila ditinggalkan maka hal itu membatalkan shalat.
Begitu juga halnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud.
لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
“Rasulullah bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”
c. Batas Gerakan ruku’
Gerakan ruku’ yang sah dan mencukupi rukun shalat adalah membungkukkan badan yaitu dengan sekedar meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dengan diam sebentar. Dengan menjadikan patokan bahwa gerakan ruku’ menjadi pembatas antara gerakan mengayunkan tubuh ketika hendak membungkuk dan gerakan berdiri dari ruku’. Dan sebagian orang didapati memiliki bentuk tangannya terlalu panjang atau pendek.
Maka ukurannya adalah meluruskan tulang punggung dengan tulang leher hingga sejajar sama rata. Seandainya posisi kedua tangannya telah diletakkan di atas kedua lututnya, namun tidak mampu mencapai gerakan ruku’ yang telah dijelaskan, maka hal itu tidak bisa disebut dengan ruku’.
Bagi orang yang tidak mampu, maka hendaknya membungkukkan badannya sampai dengan batas kemampuannya. Seandainya benar-benar tidak mampu membungkukkan badannya, maka cukup memberikan isyarat dengan kepalanya.
3. Gerakan
Pertama: Meletakkan kedua telapak tangannya pada lutut sembari merenggangkan jari jemarinya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Humaid,
إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ، وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Ketika Rasulullah ruku’, Beliau pun meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan merenggangkan jari jemarinya.”
Kedua: Punggung direndahkan hingga posisi ruku’, namun dengan diluruskan, tidak bengkok seperti busur panah.
Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Humaid As-Saa’idi, beliau berkata:
أَنَا كنتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاة رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – رأَيتُه إذا كبَّرَ جعَلَ يدَيهِ حذاءَ مَنكِبَيْهِ، وإذا رَكعَ أمكَنَ يدَيهِ من رُكْبتَيهِ، ثم هصَرَ ظهْرَه
“Akulah orang yang paling hafal tata cara shalat Rasulullah di antara kalian. Aku melihat beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan pundak ketika bertakbir, lalu menurunkan punggungnya (dengan posisi tulang punggung lurus dan tidak bengkok seperti busur panah).”
Juga berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ لَوْ وُضِعَ قَدَحٌ مِنْ مَاءٍ عَلَى ظَهْرِهِ، لَمْ يُهَرَاقْ
“Seandainya sebuah wadah berisi air diletakkan di atas punggung Nabi ketika Beliau ruku’, tentulah air tersebut tidak akan tumpah.”
Ketiga: Posisi kepala sejajar dengan punggung, tidak mendongak dan tidak pula terlalu menunduk.
Berdasarkan hadits Abu Humaid As Sa’idi:
إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ، وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ غَيْرَ مُقْنِعٍ رَأْسَهُ وَلَا صَافِحٍ بِخَدِّهِ
“Rasulullah jika ruku’ beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan merenggangkan jari jemarinya sambil membungkukkan badannya tanpa mengangkat kepalanya (sehingga lebih tinggi dari punggungnya), tanpa menundukan kepalanya (sehingga lebih rendah dari punggungnya) dan tidak pula menampakkan pipinya sehingga tidak condong atau miring kepada salah satu sisi.”
Aisyah berkata:
وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ
“Rasulullah jika ruku’ beliau tidak meninggikan (mendongakkan) kepala dan tidak juga merendahkannya (terlalu membungkukkan), namun di antara keduanya (lurus).”
Keempat: Adapun pandangan mata ketika ruku’ maka tidak ada dalil yang secara tegas menerangkan perihal ini. Namun hendaknya seorang yang shalat berusaha untuk ruku’ dengan tata cara yang telah diterangkan pada hadits di atas.
Tentu jika seorang memaksakan arah pandangannya ketika ruku’ ke arah tempat sujud, itu akan membuatnya sedikit mengangkat kepalanya sehingga tidak sejajar dengan pundaknya.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang memandang ke arah bawah secara wajar. Jadikan prioritas utama adalah untuk ruku’ sesuai tata cara ruku’ Nabi, karena tidak ada dalil yang secara spesifik menentukan arah pandangan ketika ruku’.
4. Gerakan ruku’ yang salah
a. Posisi ruku’ kurang rendah
b. Kepala didongakkan
c. Kepala terlalu menunduk ke bawah
d. kedua tangan dirapatkan
e. Siku menempel pada pinggang
5. Bacaan
Pertama:
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung.”’
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat aspek ibadah yang sangat agung antara gerakan tubuhnya dan juga lisannya, ketika seorang hamba ruku’ dia harus menundukkan kepalanya, membungkukkan badannya, lalu mensucikan dan mengagungkan Allah.
Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi, salah satu ulama bahasa yang terkenal, menjelaskan tentang makna (Subhanallah) artinya adalah: “Mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak untuk disifatkan kepada Allah”. (Lihat: Al-Ain 3/151)
Oleh karena itu, Allah menjadikan ruku’ adalah salah satu rukun shalat. Ini dikarenakan keagungan dan pentingnya gerakan tersebut dalam shalat.
Kedua:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْم وَبِحَمْدِهِ (ثلاث مرات)
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya.” Ini dibaca tiga kali.
Kandungannya:
Terkumpul di dalam doa ini tiga hal yang sangat penting, yaitu: pensucian, pengagungan, dan pujian. Maka seorang hamba harus senantiasa mensucikan Allah dari segala kekurangan, mengagungkan-Nya dan tidak ada yang bisa melebihi dari kebesaran Allah sehingga senantiasa mengedepankan Allah dalam setiap hidupnya.
Juga senantiasa memuji Allah atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, khususnya nikmat Islam, nikmat iman, dan nikmat berjalan di atas sunnah Rasul-Nya. Juga perlu diketahui bahwa dalam mensucikan Allah dan memuji-Nya terdapat keutamaan yang sangat besar.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اَللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي اَلْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى اَلرَّحْمَنِ، سُبْحَانَ اَللَّه وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اَللَّه اَلْعَظِيمِ
“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan di lidah, tapi berat pada timbangan amal, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman, yaitu: Subhaanallahi wabihamdihi, subhaanallahil azhiim (Maha Suci Allah dan pujian-Nya, dan maha suci Allah yang Maha Agung)”. (HR. Bukhari no. 6.682 dan Muslim no. 2.694)
Ketiga:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحُ
“Maha Suci, Maha Qudus, Rabb-nya para malaikat dan ar-Ruh’ (yaitu Jibril)”.
Kandungannya:
Imam An-Nawawi berkata: “Makna (subbuuhun) adalah yang terlepas dari segala kekurangan, persekutuan atau kesyirikan, dan dari setiap yang tidak layak untuk Allah. Adapun (qudduusun) adalah yang disucikan dari segala hal yang tidak pantas untuk Sang Pencipta”. Kemudian melanjutkan perkataannya: “(Ar-Ruuh) dikatakan artinya malaikat yang besar dan dikatakan juga kemungkinan yang dimaksud adalah Jibril”. (Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj 4/205)
Keempat:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku.”
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat pensucian Allah, pujian untuk Allah, lalu permohonan ampun, dan ini adalah salah satu adab meminta kepada Allah, hendaknya seorang hamba ketika meminta dimulai dengan pujian-pujian yang indah, mensucikannya dari segala kekurangan, dan mengagungkannya. Kemudian setelah itu menyebutkan permohonannya. Salah satu permohonan yang layak diucapkan oleh hambanya adalah memohonkan ampunan dari segala kesalahan-kesalahan yang dia lakukan yang diketahui maupun tidak.
Kelima:
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ خَشَعَ لَكَ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظَمِي وَعَصَبِي
“Ya Allah, untuk-Mu aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, untuk-Mu aku berserah diri, kutundukkan kepada-Mu pendengaranku dan penglihatanku, pikiranku, tulang-tulangku dan urat syarafku.”
Kandungannya:
Dalam doa ini terkandung ketundukan yang sempurna dari seorang hamba kepada Rabb-nya. Dia juga mengerahkan semua anggota tubuhnya agar bisa tunduk kepada-Nya, yaitu pendengaran, penglihatan, pikiran, dan tulang-tulangnya. Semuanya adalah bagian terpenting pada tubuh seseorang. Semuanya itu dia serahkan hanya untuk ketundukan kepada Allah semata, dengan mengikhlaskan semua amalannya hanya untuk Allah semata, dan iri bukanlah perkara yang mudah, keikhlasan itu membutuhkan usaha yang sangat berat agar seorang hamba itu bisa mendapatkan keikhlasan dengan sempurna di dalam hatinya, dan salah satu caranya adalah dengan menundukkan semua anggota tubuhnya hanya untuk Allah semata.
Sahl bin Abdillah at-Tustari pernah ditanya:
أَيُّ شَيْءٍ أَشَدُّ عَلَى النَّفْسِ؟ قَالَ: اَلْإِخْلَاصُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا فِيْهِ نَصِيْبٌ
“Sesuatu apakah yang paling berat untuk jiwa?’ Beliau menjawab: ‘Ikhlas. Karena tidak ada bagian untuk jiwa dalam keikhlasan itu”. (Lihat: Jami’ul Ulum Wal Hikam hal. 84)
Keenam:
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، أَنْتَ رَبِّي، خَشَعَ سَمْعِي وَبَصَرِي وَدَمِي وَمُخِّي وَعِظَامِي وَعَصَبِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ya Allah, untuk-Mu aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, untuk-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku bergantung, Engkau adalah Rabbku, kutundukkan kepada-Mu pendengaranku dan penglihatanku, serta darahku, dagingku, tulang-tulangku dan urat syarafku, semua untuk Allah Rabb semesta alam.”
Ketujuh pada shalat malam membaca:
سُبْحَانَ ذِي الجَبَرُوتِ وَالمَلَكُوتِ وَالكِبْرِيَاءِ وَالعَظَمَةِ
“Maha Suci Dzat yang memiliki Jabarut dan Malakut dan memiliki kedigdayaan dan keagungan.”
Kandungan:
Terkandung di dalamnya pensucian serta pengagungan kepada Allah dari segi rububiyyah-Nya. Bahwa Allah adalah Dzat maha pemilik kerajaan-kerajaan, maha memiliki kekuasaan, kebesaran dan keagungan. Ketika seorang hamba mengetahui hakikat keagungan sang penciptanya dan mengetahui bahwa tidak ada tandingan yang bisa menandingi penciptanya, maka ini membuatnya hanya menggantungkan diri kepada Allah semata.
Al-Aini berkata:
اَلْجَبَرُوْتُ فَعَلُوْتُ مِنَ الْجَبْرِ وَالْقَهْرِ، وَكَذَلِكَ اَلْمَلَكُوْتُ فَعَلُوْتُ مِنَ الْمُلْكِ…ويقال: إن زيادة الواو والتاء لأجل المبالغة في التعظيم
“الجبروت” adalah dari lafal al-jabr dan al-qohr (kekuasaan), dan demikian pula “الملكوت” adalah dari الملك “kerajaan atau kepimilikan” … dan dikatakan bahwasanya tambahan huruf و dan ت (pada kata الجبروت dan الملكوت) dalam rangka untuk hiperbola dalam hal pengagungan.” (Syarh Sunan Abi Daud 4/80)
Kedelapan:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِك لَا إِلَه إِلَّا أَنْت
“Maha Suci Engkau, segala puji bagi Engkau. Tidak ada Tuhan selain Engkau”.
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat pensucian, pujian, pengesaan Allah, dan pengikraran bahwasanya tidak yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Karena inilah manusia dan jin diciptakan dan para Rasul diutus, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Juga firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembohlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Kesembilan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِك، لَا إِلَه إِلَّا أَنْت
“Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau”.