A. Pengertian Niat
Niat adalah tekad untuk mengerjakan suatu ibadah dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, shalat tidak sah jika tidak dibarengi dengan niat, dan pada saat yang sama niat tidak dapat digugurkan. Sebab niat tidak dapat gugur kecuali dengan hilangnya akal.
B. Beberapa Perkara yang Sudah Disepakati Ulama tentang niat
1. Letak niat semua peribadatan, termasuk shalat, ada di dalam hati bukan lidah.
2. Jika seseorang mengucapkan dengan lisannya tanpa sengaja yang berbeda dengan niat yang ada di dalam hatinya, maka yang diambil adalah niat yang ada di dalam hatinya. Contohnya, seorang yang berniat shalat Zhuhur dengan hatinya, namun lidahnya keliru mengucapkan shalat Ashar.
3. Seandainya ia mengucapkan dengan lisannya, dan tidak meniatkan dalam hatinya, maka ibadahnya tidak sah.
4. Melafalkan niat ketika shalat adalah perbuatan menyelisihi sunnah yang buruk, bukan sunnah yang baik, dan ini sudah disepakati kaum Muslimin. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa melafalkan niat adalah mustahab (sunnah), dan tidak ada pula yang mengatakannya sebagai bid’ah hasanah. Barangsiapa berpendapat demikian, berarti ia telah menyelisihi Sunnah Rasulullah dan ijma’ empat imam dan selainnya. Orang yang berpendapat demikian harus dituntut untuk bertaubat, jika mau bertaubat. Jika tidak mau bertaubat, maka ia harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Di samping itu, melafalkan niat juga dapat menganggu orang lain yang sedang shalat, dan ini hukumnya haram.
5. Melafalkan Niat Adalah bukan sunnah Walau dengan Suara Pelan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tak seorang Muslim pun pernah menukil, baik dari Nabi maupun dari salah seorang sahabat-sahabatnya bahwa beliau melafalkan niat sebelum bertakbir, baik dengan suara pelan maupun jahr, dan beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Sudah dimaklumi jika melafalkan niat itu ada, niscaya banyak riwayat yang menyebutkan tentang hal itu. Jika ditilik dari kebiasaan dan syar’i, tidak mungkin riwayat yang dinukil secara mutawatir itu disembunyikan. Jika tidak ada seorang pun yang menukil riwayat tentang melafalkan niat, maka dapat dipastikan, hal itu tidak pernah ada.
Menambah hal ini dalam tata cara shalat sama seperti melakukan perkara bid’ah dalam ibadah-ibadah lainnya, seperti menambah adzan dan iqamah pada shalat dua hari raya, atau seperti mereka yang shalat dua rakaat di Marwah saat hendak melakukan Sa’i dan lain-lain.” Lalu niat itu sendiri lebih mudah dilakukan daripada melafalkannya. Contoh, seseorang bangkit untuk mengambil wudhu lalu keluar menuju masjid serta mengetahui maksud dan tujuannya ke sana, berarti ia sudah berniat. Karena itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Niat itu mengikuti ilmu. Jika ia tahu apa yang akan dilakukannya, berarti ia sudah memasang niatnya.” Sebab tidak mungkin melakukan suatu pekerjaan tanpa ada niat sebelumnya.
6. Menentukan Salah Satu Shalat yang Dikerjakan
Dalam niat itu harus menentukan jenis shalat yang akan dikerjakannya: apakah shalat tersebut shalat fardhu ataukah shalat sunnah? Apakah yang ia kerjakan itu shalat Zhuhur ataukah Ashar? Maksudnya, meniatkan hal ini dalam hati.
7. Kapan Waktunya Memasang Niat
a. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, jika niat itu mengiringi takbir yakni setelah berniat langsung diikuti takbir maka shalatnya sah. Bahkan inilah asalnya dan yang terbaik.
b. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka, jika niat tersebut dilakukan setelah takbir maka shalatnya tidak sah.
c. Jika seseorang sudah berniat, lalu datang sesuatu yang membuatnya sibuk, setelah itu ia baru mengerjakan shalat, maka shalatnya sah, menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama. Karena niatnya tetap berkaitan dengan hukum itu, selama ia tidak membatalkan niatnya tersebut. Wallahu a’lam.
8. Merubah Niat Ketika Mengerjakan Shalat
Merubah niat pada saat mengerjakan shalat memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
a. Merubah niat dari shalat fardhu ke shalat sunnah mutlak. Misalnya, orang yang sedang melaksanakan shalat Zhuhur sendirian, lalu ia melihat sekelompok orang yang datang, ia tidak boleh merubah niat shalat wajibnya menjadi shalat sunnah kemudian shalat berjamaah bersama mereka.
b. Dari shalat fardhu ke shalat fardhu lainnya. Ini tidak boleh, dan kedua shalat fardhu tersebut menjadi batal. Shalat fardhu yang pertama batal karena ia membatalkan niatnya. Sementara shalat fardhu yang kedua juga batal karena tidak memasang niatnya dari awal. Misalnya, seseorang sedang mengerajakan shalat Ashar dan tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka ia tidak boleh menukar niatnya dari shalat Ashar ke shalat Zhuhur.
c. Dari shalat sunnah ke shalat fardhu. Hal ini tidak dibolehkan juga karena alasan sebelumnya.
d. Dari shalat sunnah tertentu ke shalat sunnah mutlak.
Hal ini dibolehkan karena shalat sunnah tertentu mengandung niat shalat sunnah mutlak. Contohnya, seseorang berniat mengerjakan empat rakaat shalat sunnah Zhuhur. Lalu ia melihat shalat jamaah, maka ia merubahnya menjadi dua rakaat agar dapat mengikuti shalat berjamaah.
e. Dari shalat sunnah tertentu ke shalat sunnah tertentu.
Ini tidak boleh. Contohnya, seseorang yang melaksanakan shalat dengan niat tahiyat masjid. Ketika mengerjakan shalat tersebut, ia merubah niatnya menjadi shalat sunnah Shubuh. Maka shalat tahiyat masjidnya batal karena ia telah membatalkan niatnya, dan shalat sunnah Shubuhnya juga batal karena tidak diniatkan sebelum shalat.
f. Dari niat shalat sunnah mutlak ke shalat sunnah tertentu.
Shalatnya tidak sah dengan alasan yang telah lalu.
g. Merubah niat dari posisi imam ke makmum.
Hal ini boleh, berdasarkan hadits Aisyah tentang kisah Abu Bakar yang mengimami orang-orang shalat, disebutkan, “Ketika Rasulullah masuk ke dalam masjid, Abu Bakar mendengar gerak langkah beliau, maka ia mundur. Tapi, Rasulullah memberi isyarat kepada Abu Bakar untuk tetap berdiri di tempatnya. Rasulullah datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar.” Aisyah melanjutkan, “Saat itu Rasulullah shalat bersama orang-orang sambil duduk, sementara Abu Bakar berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi, sedangkan orang-orang mencontoh shalat Abu Bakar.”
j. Dari shalat sendirian berubah menjadi imam.
Perubahan niat seperti ini dibolehkan. Seperti orang yang shalat sendirian lalu datang orang lain dan menjadikannya sebagai imam, lalu ia selesaikan shalatnya dengan posisi sebagai imam. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, ia berkata, “Di saat aku bermalam di rumah bibiku, Nabi bangkit untuk mengerjakan shalat malam. Kemudian aku pun ikut bangkit untuk shalat dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memegang kepalaku dan menggeser posisiku ke sebelah kanannya.” Dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah.
k. Merubah niat dari posisi sebagai imam menjadi shalat sendirian.
Hal ini tidak dibolehkan kecuali karena udzur. Contohnya, saat shalat berjamaah berlangsung, makmum berhadats sehingga tinggallah imam sendirian. Kondisi seperti ini dibolehkan, dan shalatnya sah.
l. Dari makmum menjadi shalat sendirian.
Ada pendapat yang mengatakan boleh, jika ada alasan syar’i, seperti imam memanjangkan bacaan melebihi yang disunnahkan, atau makmum sedang sakit dan alasan lainnya yang mengharuskan dirinya untuk shalat sendiri sehingga ia dapat meringankan shalatnya dan pergi. Pendapat ini berdalil dengan kisah seseorang yang shalat di belakang Mu’adz bin Jabal yang membaca surat panjang, lalu orang tersebut memisahkan diri dari jamaah dan shalat sendirian. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi, ternyata Nabi tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalat tersebut.
Ada yang mengatakan, bahkan ia tidak boleh shalat sendirian. Tetapi jika terjadi sesuatu yang mengharuskan dirinya untuk membatalkan shalatnya, maka ia boleh melakukannya lalu melaksanakannya sendirian. Mereka menjawab, zhahir hadits Muadz adalah bahwa seseorang keluar dari shalatnya kemudian shalat sendirian, seperti disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, “Lalu orang tersebut membatalkan shalatnya dengan mengucapkan salam, kemudian shalat sendirian.”
9. Perbedaan Niat Imam dan Makmum
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya makmum mengikuti imam disertai dengan niat yang sama, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Kemudian para ulama berselisih pendapat, jika antara imam dan makmum memiliki niat yang berbeda. Yang benar bahwa tidak ada persyaratan yang menetapkan makmum harus mempunyai niat yang sama dengan imam. Ini adalah madzhab asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Dalil mengenai hal itu ialah sabda Rasulullah:
إنما الأعمال بالنية وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Demikian juga dalil-dalil yang menunjukkan beberapa bentuk perbedaan kedua niat tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Shalat sunnah di belakang imam shalat fardhu.
lni dibolehkan oleh mayoritas ulama, baik imam yang empat maupun selainnya, berdasarkan dalil berikut ini:
Hadits Yazid bin al-Aswad, ia berkata, “Aku pernah melihat langsung ibadah haji Nabi, lalu aku shalat Shubuh bersama beliau dl masjid Khif. Ketika selesai shalat, ternyata beliau melihat dua orang tidak ikut shalat bersamanya, maka beliau bersabda, ‘Hadapkan kedua orang itu kepadaku!’
Keduanya pun dibawa ke hadapan Rasulullah dalam keadaan gemetar karena ketakutan, lalu beliau bertanya, ‘Apakah yang menghalangi kalian untuk mengerjakan shalat bersama kami?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah mengerjakan shalat di kemah kami!’ Rasulullah bersabda, ‘Jangan lakukan seperti itu. Jika kalian memang sudah mengerjakannya di kemah, lalu kalian dapati orang-orang sedang mengerjakan shalat berjamaah di masjid, maka shalatlah bersama mereka, karena shalat tersebut terhitung shalat sunnah bagi kalian.’”
2. Shalat fardhu di belakang imam shalat sunnah.
Hal ini dibolehkan, berdasarkan dalil sebagai berikut:
a. Hadits Jabir bin Abdullah, “Mu’adz bin Jabal shalat Isya’ bersama Rasulullah, lalu ia kembali ke kaumnya dan mengimami mereka melaksanakan shalat tersebut.”
Sebagian riwayat menambahkan, “Ia (Mu’adz) shalat sunnah, dan makmum mengerjakan shalat fardhu (Isya).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Hadits ini dijadikan dalil atas bolehnya mengerjakan shalat fardhu di belakang imam yang mengerjakan shalat sunnah, berdasarkan hadits Mu’adz yang berniat shalat wajib ketika berjamaah bersama Nabi dan berniat shalat sunnah ketika mengimami kaumnya.
b. Hadits Abu Bakrah, ia berkata, “Nabi pernah melaksanakan shalat khauf pada shalat Zhuhur. Beliau membariskan sebagian mereka di belakang beliau, dan sebagian yang lainnya di hadapan musuh (front depan). Lalu beliau shalat bersama mereka sebanyak dua rakaat kemudian salam. Mereka yang sudah shalat bersama beliau pergi menggantikan kawan-kawan mereka (yang berada di front depan), kemudian mereka (yang tadinya di front depan) pergi menyusun shaf di belakang Rasulullah. Kemudian beliau shalat bersama mereka sebanyak dua rakaat lalu mengucapkan salam. Jadi Nabi shalat sebanyak empat rakaat, sedangkan para sahabatnya hanya shalat dua rakaat.
Imam asy-Syafii dalam al-Umm (I/173) berkata, “Dua rakaat pertama Nabi adalah shalat sunnah, dan dua rakaat terakhir adalah shalat fardhu.”
3. Shalat fardhu di belakang imam yang mengerjakan shalat fardhu lainnya.
Tentang perkara ini ada tiga keadaan:
a. Kedua shalat fardhu tersebut memiliki jumlah rakaat yang sama. Seperti orang yang mengqadha shalat Zhuhur di belakang imam yang sedang mengerjakan shalat Ashar atau Isya. Hal ini dibolehkan.
b. Jumlah rakaat shalat fardhu yang dikerjakan makmum lebih banyak dari jumlah rakaat yang dikerjakan imam. Seperti orang yang shalat Zhuhur di belakang imam yang sedang mengerjakan shalat Shubuh atau Maghrib. Hal seperti ini dibolehkan, yakni imam dan makmum tidak harus memiliki niat yang sama, dan juga diqiyaskan dengan shalatnya makmum masbuq (yang terlambat menghadiri shalat jamaah) atau shalatnya orang yang bermukim di belakang musafir yang mengqashar shalatnya.
c. Jumlah rakaat shalat fardhu yang dikerjakan makmum lebih sedikit daripada jumlah rakaat yang dikerjakan imam.
Hal ini tidak dibolehkan. Seperti orang yang mengerjakan shalat Shubuh di belakang imam yang mengerjakan shalat Zhuhur, atau shalat Maghrib di belakang imam shalat lsya. Jika ini dilakukan maka akan terjadi perbedaan amalan zhahir antara imam dan makmum. Misalnya, ia harus menyelisihi imam dengan terlebih dahulu mengucapkan salam, atau makmum harus menunggu sejenak agar dapat salam bersama imam, atau ia kembali berdiri bersama imam untuk melaksanakan perintah Rasulullah agar mengikuti imam. Jika ini dilakukan, berarti terjadi penambahan rakaat shalat dengan sengaja, dan tentunya ini membatalkan shalat.
4. Orang yang shalat dengan rakaat sempurna ikut di belakang imam yang sedang shalat qashar.
Hal ini boleh dilakukan. Namun, setelah imam mengucapkan salam, ia harus melanjutkan shalatnya hingga selesai. Perkara ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, ia berkata, “Aku berperang bersama Rasulullah, dan aku menyaksikan sendiri kisah penaklukan Kota Mekkah. Lalu beliau bermukim di Mekkah selama 18 hari, dan beliau tidak shalat kecuali hanya dua rakaat. Beliau bersabda, “Wahai penduduk Mekkah, shalatlah empat rakaat, karena kami sekarang sebagai rnusafir.” Hadits ini dhaif. Namun, demikianlah pengamalannya. Karena orang yang bermukim wajib melaksanakan shalat empat rakaat. Ia tidak boleh mengurangi sedikit pun rakaatnya, seperti halnya musafir yang tidak berdosa bila mengqashar shalatnya.
5. Shalat qashar di belakang imam yang shalat dengan rakaat sempurna.
Hal ini boleh dilaksanakan, hanya saja ia harus menyempurnakan shalatnya empat rakaat, walaupun ia berjamaah bersamanya hanya beberapa saat sebelum selesai.
Diriwayatkan dari Musa bin Salamah, ia berkata, “Ketika kami bersama Ibnu Abbas di Mekkah, aku berkata, ‘Jika kami bersama kalian, maka kami shalat empat rakaat. Dan jika kami kembali ke kemah, kami kerjakan shalat hanya dua rakaat.” Ibnu Abbas menjawab, “Demikian itulah sunnah Abul Qasim”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, jika ia shalat bersama imam, maka ia shalat empat rakaat dan apabila mengerjakan shalat sendirian, maka ia shalat dua rakaat.