1. Najisnya Babi
Mayoritas para ulama mazhab, yaitu; Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa babi termasuk najis.
Sesuai dengan firman Allah,
قل لاّ أجد في ما أوحي إليّ محرّما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنّه رجس
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya babi itu kotor”. (Al An’aam: 145).
Dalam ayat di atas Allah menekankan bahwa babi adalah kotor dan kotor dalam bahasa fikih berarti najis.
Juga hukum najisnya babi diqiyaskan dengan anjing, sebagaimana anjing adalah najis begitu juga dengan babi. Padahal anjing lebih baik dari babi dari sisi terdapat manfaat pada anjing untuk berburu, menjaga kebun dan mengungkap tindak kejahatan (pelacak). Dengan demikian, tidak dibolehkan menjual babi, karena babi termasuk najis dan karena Rasulullah telah mengharamkan menjual babi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنّ الله ورسوله حرّم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan berhala”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini berarti bahwa uang hasil penjualan babi merupakan harta haram.
2. Hukum Pemanfaatan Organ Babi
Para ulama sepakat bahwa organ babi yang mati termasuk kulitnya adalah najis dan tidak suci dengan disamak.
Bila seluruh organ babi adalah najis maka organ babi tersebut haram dimasukkan ke tubuh manusia, seperti; memasukkan insulin babi ke tubuh manusia, begitu juga haram memperjual-belikannya.
Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang, seperti: ikan, sapi dan babi.
Gelatin yang diperoleh dari babi merupakan gelatin yang paling luas dipakai dalam industri pangan dan obat-obatan, mengingat gelatin yang didapat dari hewan ini paling murah dibandingkan dengan hewan lainnya.
Dalam industri pangan gelatin dipakai sebagai salah satu bahan baku pembuatan permen lunak, jeli, es krim, susu formula, roti, daging olahan, soup dan minuman yang dicampur susu.
Dalam industri obat-obatan gelatin dipakai sebagai salah satu bahan baku pembuatan vaksin, kapsul, pil, krim, pasta gigi, sabun dan obat gosok.
Sebagian negara mewajibkan para produsen untuk mencantumkan kode komposisi bahan baku dari barang olahan, kode gelatin yang berasal dari babi: 101, 101A, 120, 150, 153, 160A, 1603, 161A, 161C, 163, 200, 270, 304, 310-312, 326, 327, 334, 336, 337, 350, 353, 422, 430, 436, 162, 470, 478, 481, 483, 491, 495, 542, 572, 575, 631, 904A.
Catatan:
Sebelum menjelaskan hukum gelatin dari babi, harus dijelaskan terlebih dahulu hukum istihalah (perubahan suatu wujud menjadi wujud lain), seperti: wujud babi berubah menjadi garam apakah garam tersebut hukumnya halal atau tidak?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama mazhab.
Pendapat pertama: Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila seekor babi jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan berubah menjadi garam, maka garam tersebut hukummnya halal, karena zat babi telah berubah menjadi garam dan garam hukumnya adalah halal.
Al Hashkafi (ulama mazhab Hanafi, wafat: 1088 H) berkata, “Tidak termasuk najis abu bekas pembakaran najis, juga garam yang berasal dari bangkai keledai ataupun babi karena wujudnya telah berubah. Ini yang difatwakan dalam mazhab”.
Pendapat kedua: Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa garam yang berasal dari perubahan wujud babi hukumnya tetap haram, karena zat babi adalah najis sekalipun najis tersebut berubah bentuk menjadi zat lain hukumnya tetap najis.
Ar Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat: 1004 H) berkata, “Zat yang najis tidak berubah hukumnya secara mutlak dengan cara wujud najis berubah menjadi wujud lain, seperti; bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam, kemudian berubah menjadi garam”.
Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat: 620 H) berkata, “Pendapat yang terkuat dalam mazhab bahwa najis tidak menjadi suci dengan cara perubahan wujud, kecuali khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, adapun selain itu tidak menjadi suci, seperti najis yang dibakar sehingga menjadi abu, begitu juga bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam sehingga berubah wujud menjadl garam”.
Dari dua pendapat ulama tentang hukum garam yang berasal dari babi dapat ditakhrij hukum gelatin yang berasal dari kulit dan tulang babi.
Para ulama yang bermazhab Syafi’i dan Hanbali tentu mengharamkan gelatin yang diperoleh dari babi sekalipun zat gelatin tersebut berbeda bentuk fisik dan sifat kimianya dengan kolagen babi yang merupakan asal dari gelatin.
Adapun para ulama yang bermazhab Hanafi dan Maliki atau yang mendukung pendapat bahwa perubahan wujud dari suatu zat menjadi zat lain hukumnya juga berubah, mereka juga berbeda pendapat tentang kehalalan gelatin yang diperoleh dari babi.
Pendapat pertama: gelatin yang berasal dari babi hukumnya halal, pendapat ini merupakan basil seminar Forum fikih dan medis di Kuwait pada tanggal 25-5-1995, dan didukung oleh Dr. Nazih Hamad, Dr. Muhammad Al Harawy dan Basim Al Qarafy.
Penganut pendapat ini beralasan bahwa gelatin adalah zat baru yang tidak ada persamaan fisik dan sifat kimianya dengan kolagen yang berasal dari babi, sekalipun gelatin berasal dari kolagen babi. Dan dalam kaidah fikih bahwa zat baru hukumnya berbeda dengan hukum zat asalnya, bilamana hukum kolagen adalah haram maka hukum gelatin adalah halal.
Bukti bahwa gelatin berbeda dengan kolagen adalah gelatin berwarna bening, mudah Iarut di air dan mudah membeku, dan tidak demikian halnya kolagen. Kemudian gelatin yang diperoleh dari babi samasekali tidak dapat dibedakan dengan gelatin dari hewan lainnya, berbeda dengan kolagen, sangat mudah dibedakan antara kolagen babi dan kolagen hewan lainnya.
Tanggapan: Argumen pendapat ini tidak kuat, karena ternyata Gelatin yang berasal dari babi sangat mudah untuk diketahui melalui tes kimia sederhana. ini menunjukkan bahwa proses perubahan wujud yang terjadi tidaklah sempurna.
Pendapat kedua: Gelatin yang berasal dari babi hukumnya haram dan najis, pendapat ini merupakan keputusan berbagai lembaga fikih internasional, di antaranya:
1. Majma’ AI Fiqh Al Islamy (divisi fikih 0K1) keputusan No. 23(11/3) tahun 1986 sebagai jawaban atas pertanyaan dari Al ma’had Al Alami lil Fikri Islami di Washington yang berbunyi,
Soal ke-Xlll: Di sini (Amerika) terdapat ragi dan gelatin diekstrak dari babi dalam persentase yang sangat kecil, apakah boleh menggunakan ragi dan gelatin tersebut?
Jawab: Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan ragi dan gelatin yang berasal dari babi, karena ragi dan gelatin (halal) yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang disembelih sesuai syariat mencukupi kebutuhan mereka.
2. Keputusan AI Majma’ AI Fiqhiy AI Islamy (divisi fikih Rabithah Alam Islami) yang berpusat di Mekkah, no: 3, daurah: ke-15, tahun 1998, yang berbunyi,
“Himpunan Fikih Islami yang bernaung di bawah Rabithah Alam Islami dalam rapat tahunan ke-15 setelah mendiskusikan dan mengkaji bahwa: “Gelatin adalah sebuah zat yang banyak digunakan untuk pembuatan makanan dan obat-obatan, berasal dari kulit dan tulang hewan; maka diputuskan: BoIeh menggunakan gelatin yang berasal dari sesuatu yang mubah, dari hewan yang disembelih dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dan tidak dibolehkan menggunakan gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram, seperti: gelatin dari kulit dan tulang babi serta dari benda haram Iainnya. Himpunan Fikih Islami menghimbau Negara-negara Islam untuk memproduksi gelatin halal”.
3. Fatwa Dewan Ulama besar Kerajaan Arab Saudi, no fatwa: 3039 yang berbunyi,
“Gelatin yang dlperoleh dart sesuatu yang haram seperti babi, hukumnya haram”.
Dan pendapat ini didukung oleh sebagian besar para ulama fikih kontemporer.
Para ulama ini beralasan bahwa gelatin bukanlah zat baru, merupakan perubahan wujud dari kolagen, akan tetapi gelatin telah ada pada kolagen babi sebelum dipisahkan, ini menunjukkan bahwa proses yang terjadi hanyalah pemisahan dan sekedar pergantian nama dan bukan perubahan wujud secara mutlak.
Dari dua pendapat di atas, hendaklah seorang muslim bersikap memilih yang lebih baik untuk diri dan agamanya, yaitu menghindari segala produk yang menggunakan gelatin babi sebagai salah satu bahan bakunya, karena bagaimanapun juga, asal gelatin ini adalah babi dan babi telah diharamkan Allah di dalam Al-quran.
Adapun proses perubahan wujud menjadi zat lain masih diragukan maka hukumnya kembali kepada hukum asal babi yaitu haram, sesuai dengan kaidah hadits Nabi shallallahu ‘alaihl wa sallam,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkanlah hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan”. (HR. Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata, “Sanad hadis ini hasan shahih).
Dengan demikian, menjual segala barang/produk yang salah satu bahan dasarnya adalah gelatin babi hukumnya haram, dan hasil keuntungannya merupakan harta haram, demikian juga diharamkan seorang dokter untuk memberikan resep obat-obatan yang mengandung gelatin babi. Sekalipun keberadaan gelatin hanya sebagai bahan campuran, hukumnya juga tetap haram.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:
إذا وقعت الفأرة في السمن فإن كان جامدا فألقوها وما حولها وإن كان مائعا فلا تقربوه
“Apabila seekor tikus (mati) jatuh ke minyak samin, jika minyak samin itu beku maka buang bangkai tikus dan bagian minyak samin beku yang terkena (najisnya), dan jika minyak samin itu cair maka jangan engkau dekati! (HR. Abu Daud dan Nasa’i, derajat hadits ini hasan).
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram mendekati minyak cair yang bercampur najis, dan menjual minyak yang bercampur najis berarti mendekatinya yang hukumnya jelas haram.
Begitu juga haram hukumnya menjual makanan olahan dan obat-obatan yang bercampur babi, karena tidak dapat dipisahkan lagi antara najis (babi) dan bahan baku lainnya yang halal.
4. Vaksin yang Mengandung Gelatin Babi
Sebagaimana telah diketahui bahwa gelatin babi hukumnya adalah najis, lalu bagaimanakah hukum melakukan vaksinasi untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu, seperti vaksin meningitis yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan visa haji dan umrah?
Laporan dari berbagai sumber, memang dinyatakan bahwa vaksin meningitis mengandung gelatin babi. Gelatin babi hukumnya najis dan haram hukumnya dimasukkan ke dalam tubuh. Maka hukum melakukan vaksin ini adalah haram.
Akan tetapi, hukum haram ini bisa berubah dalam kondisi tertentu, yaitu: bila tidak terdapat alternatif lain pengganti vaksin yang mengandung gelatin babi dan berat dugaan bahwa orang yang tidak mendapat vaksin ini akan terserang penyakit berbahaya yang berakibat kepada cacat permanen atau bahkan kematian. Maka kasus ini dapat digolongkan ke dalam kondisi darurat.
وقد فصّل لكم ما حرّم عليكم إلا مااضطرتم إليه
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al An’aam: 119).
Ini berarti, Allah menghalalkan bagi hamba-Nya sesuatu yang Dia haramkan dalam kondisi darurat.
Akan tetapi, jika terdapat alternatif lain pengganti gelatin babi seperti gelatin sapi maka seyogyanyalah pihak yang berwenang di sebuah negara berpenduduk Islam untuk memberikan pelayanan yang paripurna terhadap rakyatnya.
5. Hukum Lemak Babi
Di negara-negara minoritas Islam, lemak babi digunakan secara luas dalam produk pangan. Lemak babi yang diolah melalui proses kimia merupakan salah satu bahan campuran pembuatan margarin, juga digunakan untuk campuran adonan roti, biskuit, cokelat, dan es krim.
Padahal mereka sadar akan bahaya lemak babi terhadap kesehatan. Ditengarai bahwa lemak babi dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit kanker: kanker usus besar, kanker prostat, kanker payudara, kanker pankreas, kanker leher rahim dan kanker empedu. Oleh karena itu, berbagai pihak di negara-negara tersebut menuntut agar lemak babi tidak digunakan dalam produk makanan olahan”.
Para ulama Islam telah sepakat bahwa seluruh bagian tubuh babi adalah najis termasuk lemaknya.
Maka hukum lemak babi adalah najis dan tidak boleh diperjualbelikan, termasuk makanan yang telah dicampur lemak babi sebagai salah satu bahan bakunya, makanan tersebut menjadi najis yang haram untuk dikonsumsi dan diperjual-belikan.
Adapun lemak babi yang dianggap telah terjadi perubahan wujud, maka hukumnya samadengan hukum gelatin babi, yaitu mayoritas para ulama Islam internasional tetap mengharamkannya.
Forum ulama fikih dan medis dalam sidangnya ke VIII di Kuwait menyatakan lemak babi dan makanan olahan yang dicampur lemak babi adalah haram, bunyi pernyataannya sebagai berikut, “Makanan olahan yang mengandung lemak babi (yang belum berubah wujud) sebagai salah satu bahan bakunya, seperti; beberapa jenis keju, beberapa jenis minyak goreng, minyak samin, minyak mentega, dan beberapa jenis biskuit, cokelat, es krim hukumnya haram, dan tidak halal dimakan, berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa lemak babi adalah najis dan tidak halal dimakan”.