Dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا
Rasulullah bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja. Hendaknya dia memakai kedua-dua sandalnya atau dia melepaskan kedua-duanya.” HR. Bukhari no. 5856 dan Muslim no. 2097.
Hadits ini menjelaskan kepada kita larangan memakai sandal hanya sebelah (kanan saja atau kiri saja). Hendaknya kita memakai kedua sandal (sepasang) atau melepaskannya sama sekali.
Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah kadang-kadang berjalan tanpa memakai alas kaki. Bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk terkadang berjalan tanpa sandal. Hal ini menunjukkan bahwa sesekali kita disunahkan berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama sekali.
Adapun tentang ilat atau sebab dilarangnya memakai satu sandal saja, terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama sebagai berikut:
Pendapat pertama menyatakan bahwa kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal, termasuk berbuat adil terhadap anggota tubuh kita. Maka tidak boleh bagi kita memakai sandal hanya pada satu kaki, karena itu berarti bahwa kita tidak adil pada satu kaki yang lainnya.
Pendapat kedua mengatakan jika kita hanya memakai satu sandal saja, dikhawatirkan kaki yang satunya akan terkena gangguan, seperti tertusuk paku atau duri. Oleh karena itu, diperintahkan untuk memakai sandal pada kedua kaki. Namun pendapat kedua ini kurang kuat karena Rasulullah membolehkan berjalan bahkan dengan melepas kedua sendal sekaligus.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ilatnya karena berjalan dengan satu sandal saja akan menarik perhatian, sedangkan kita diperintahkan untuk menjauhi syuhrah, yaitu melakukan sesuatu perbuatan yang akan menarik perhatian dan menimbulkan ketenaran, apalagi ketenaran dalam hal yang aneh-aneh seperti memakai sebelah sandal ini.
Ketenaran yang disebabkan karena memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan orang lain sehingga menarik perhatian orang banyak (libasusy-syuhrah) saja adalah sesuatu yang dilarang, apalagi ketenaran yang disebabkan oleh perilaku aneh dengan berjalan hanya memakai sandal sebelah seperti ini. Bisa jadi kita malah akan dikenakan tuduhan yang tidak-tidak, seperti dituduh gila atau stres. Karenanya, hal ini dilarang oleh Rasulullah. Demikianlah Islam menjaga adab dan kemuliaan seorang manusia.
Syekh al-Utsaimin berkata, “Sebagian ulama menempuh jalan yang baik, yaitu…bahwasanya perintah-perintah terbagi menjadi dua macam: أوامر تعبّدية perintah-perintah yang merupakan ibadah dan أوامر تأديبية perintah-perintah yang berkaitan dengan adab, yaitu termasuk bab adab dan akhlak mulia. Jika yang dimaksudkan adalah peribadatan maka perintah tersebut wajib karena Allah memerintahkan kita untuk mengerjakannya dan Allah suka kita bertaqarrub kepada-Nya dengan perintah tersebut, maka wajib bagi kita untuk mengerjakannya. Adapun jika suatu perintah berkaitan dengan adab dan akhlak yang mulia dan tidak ada hubungan antara perintah tersebut dengan taqarrub kepada Allah, perintah tersebut adalah sunnah dan larangannya adalah makruh bukan haram.” (Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, hal 121)
Di antara para ulama tersebut adalah al-Imam Asy-Syafi’i. Beliau berkata:
أَصْلُ النَّهْيِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ كُلَّ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَهُوَ مُحَرَّمٌ حَتَّى تَأْتِيَ عَلَيْهِ دَلَالَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ نُهِيَ عَنْهُ لِغَيْرِ مَعْنَى التَّحْرِيمِ , إِمَّا أَرَادَ بِهِ نَهْيًا عَنْ بَعْضِ الْأُمُورِ دُونَ بَعْضٍ , وَإِمَّا أَرَادَ بِهِ النَّهْيَ لِلتَّنْزِيهِ لِلْمَنْهِيِّ وَالْأَدَبِ وَالِاخْتِيَارِ
“Asal dari larangan yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah bahwa semua yang beliau larang bersifat haram hingga didapatkan dalil yang menunjukan bahwa Rasulullah melarang untuk tujuan lain selain pengharaman. Misalnya Beliau ingin melarang sebagian perkara saja dan tidak sebagian lainnya, atau maksud Beliau adalah larangan tanzih (makruh) dari yang dilarang dan berupa adab serta pilihan.” (Al-Umm, 7/305).
Demikian juga Ibnu Hajar, beliau berkata:
الْقَرِينَةَ الصَّارِفَةَ لِلنَّهْيِ عَنِ التَّحْرِيمِ لَمْ تَظْهَرْ لَهُ وَهِيَ أَنَّ ذَلِكَ أدب من الْآدَاب
“Bahwasanya indikator yang memalingkan dari larangan pengharaman (menjadi makruh) adalah bahwasanya perkara yang dilarang tersebut merupakan salah satu perkara adab.” (Fathul Bari 1/253)
Pendapat keempat, mengatakan bahwa di antara ilat larangan ini adalah karena perbuatan seperti ini termasuk meniru setan. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah berkata,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي بِالنَّعْلِ الْوَاحِدَةِ
“Sesungguhnya setan berjalan hanya mengenakan satu sandal saja.
Terhadap kabar gaib seperti ini kita harus menerima dan mengimani sepenuhnya. Kita beriman kepada kabar yang disampaikan oleh Rasulullah bahwa setan memakai sandal hanya sebelah ketika berjalan, sebagaimana kita juga beriman kepada hadits-hadits yang menyebutkan bahwa setan makan dan minum dengan tangan kiri, serta setan memberi dan mengambil juga dengan tangan kiri. Dalam hadits lbnu Umar, Rasulullah bersabda:
لَا يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلَا يَشْرَبَنَّ بِهَا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِهَا، قَالَ: وَكَانَ نَافِعٌ يَزِيدُ فِيهَا: وَلَا يَأْخُذُ بِهَا، وَلَا يُعْطِي بِهَا
“Janganlah seorang dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya”. Nafi’ (perawi dari Ibnu Umar) memberi tambahan, “Dan janganlah ia mengambil (sesuatu) dengan tangan kirinya dan janganlah memberi dengan tangan kirinya.” HR. Muslim no. 2020.
Dalam hadits Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
لِيَأْكُلْ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ، وَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ، وَلْيَأْخُذْ بِيَمِينِهِ، وَلْيُعْطِ بِيَمِينِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ، وَيُعْطِي بِشِمَالِهِ، وَيَأْخُذُ بِشِمَالِهِ
“Hendaknya seorang dari kalian makan dengan tangan kanannya dan minum dengan tangan kanannya, mengambil dengan tangan kanannya dan memberi dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya, minum dengan tangan kirinya, memberi dengan tangan kirinya dan mengambil dengan tangan kirinya.”
Karena memakai sandal sebelah termasuk perbuatan setan, maka kita harus menyelisihnya. Sebabnya adalah lantaran kita diperintahkan untuk menyelisihi setan. Kalau kita tahu bahwa setan berjalan dengan satu sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal menjadi semakin keras.
Dari keempat pendapat di atas, muncullah ikhtilaf di antara para ulama tentang hukum berjalan dengan satu sandal saja, apakah larangan ini sampai pada tingkatan haram atau hanya sampai pada hukum makruh saja.
Secara eksplisit, hadits ini menunjukkan bahwa memakai satu sandal saja hukumnya haram. Dengan demikian, tidak boleh bagi seorang muslim berjalan dengan satu sandal saja. Dia harus memakai kedua-duanya atau melepaskan kedua-duanya. Akan tetapi, banyak ulama yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak sampai pada derajat haram, tetapi hanya sampai derajat makruh saja.
Sebagian ulama, seperti Imam Nawawi dan beberapa orang ulama lainnya, menyebutkan adanya ijmak seluruh ulama dalam hal ini bahwa hukumnya adalah makruh. Dikatakan makruh dan tidak sampai haram karena menurut mereka hal ini terkait dengan masalah arahan adab saja. Maka segala pelarangan dalam permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan adab dan pengarahan hukumnya tidak sampai haram tapi hanya sampai pada makruh.
Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhaahiri menyatakan bahwasanya berjalan dengan satu sandal hukumnya adalah haram.
Wallahu a’lam bish-shawab. Terlepas dari hukumnya apakah haram atau makruh, yang penting bagi kita adalah berusaha mengamalkan sunnah Rasulullah, yaitu kita tidak berjalan dengan memakai satu sandal, tetapi kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya. Semua penjelasan di atas adalah dalam kondisi sedang berjalan.
Bagaimana jika dalam kondisi tidak berjalan? Bagaimana jika kita sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian yang kiri. Tentunya ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan.
Adapun misalnya kita sedang berdiri di atas satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat kita pakaikan alas kaki, maka ini pun in sya Allah tidak mengapa karena larangan dalam hadits Rasulullah berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan kendati mengamalkan sunnah lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.