1. Mani
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan sucinya air mani adalah: Hadits yang diriwayatkan oleh Al-qamah dan al-Aswad, bahwasanya seorang laki-laki singgah di tempat Aisyah. Keesokan paginya ia mencuci pakaiannya yang terkena mani.
Maka Aisyah mengatakan:
إِنَّما كان يجزئك إِنْ رأيته أن تغسل مكانه، فإِن لم ترَ؛ نضَحْتَ حوله، ولقد رأيتُني أفركه من ثوب رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فرْكاً فيصلي فيه
“Sesungguhnya, cukup bagimu jika melihatnya (yaitu bekas mani) dengan hanya mencuci pada bagian yang terkena saja. Jika kamu tidak melihatnya, maka cukup dipercikkan saja daerah sekitarnya. Sungguh aku pernah mengerik bercak mani pada pakaian Rasulullah lalu beliau mengerjakan shalat dengan mengenakannya.”
Dalam riwayat yang lain:
لقد رأيتُني وإِنِّي لأحكُّه من ثوب رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يابساً بظُفُري
“Sungguh aku pernah mengerik mani yang mengering pada pakaian Rasulullah dengan kuku tanganku.”
Andaikata mani itu hukumya najis, tentu Rasulullah tidak mengenakan pakaian itu untuk mengerjakan shalat.
Abu Isa at-Tirmidzi berkomentar mengenai pengerikan tersebut: “Pendapat ini telah dikatakan oleh lebih dari seorang Sahabat Nabi, para Tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka dari kalangan fuqaha, seperti Sufyan, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Mereka mengatakan tentang mani yang mengenai pakaian: “Cukup dengan mengeriknya walaupun tidak dicuci.”
Dalam as-Sailul Jarrar dikatakan: “Telah diriwayatkan secara shahih dari Aisyah oleh Muslim dan yang lainnya, bahwasanya dia pernah mengerik bercak mani dari pakaian Rasulullah, kemudian beliau mengerjakan shalat dengan mengenakannya.” Kalau mani itu najis, tentunya akan turun wahyu yang menerangkan tentang hal tersebut, sebagaimana turunnya wahyu kepada beliau yang mengabarkan tentang najisnya sandal yang dipakainya dalam shalat.”
Dari Aisyah, dia mengatakan: “Aku pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah setelah mani itu mengering. Aku pun mengusapnya atau mencucinya, al-Humaidi ragu jika mani itu masih basah.” Keraguan al-Humaidi antara kalimat menghapusnya atau mencuci tidaklah merusak makna karena kedua-duanya adalah shahih.
Dari Aisyah, dia mengatakan: “Rasulullah pernah membersihkan air mani (dari pakaian) dengan tangkai idzkhir, kemudian beliau mengerjakan shalat dengan memakainya, Beliau akan mengeriknya bila mani itu telah mengering, baru kemudian mengerjakan shalat dengan mengenakannya.”
Dari Atha, dari Ibnu Abbas, beliau berkata tentang mani yang mengenai pakaian:
أمِطْه عنك -قال أحدهم- بعودٍ أو إِذخِرة؛ فإِنَّما هو بمنزلة البصاق والمخاط
“Bersihkanlah darimu, salah seorang perawi mengatakan dengan tangkai ‘ud atau idzkhir. Sesungguhnya kedudukan air mani itu seperti dahak atau ingus.”
Dalam al-Muhalla (masalah ke-131), Ibnu Hazm berkata: “Mani itu suci, baik pada air, tubuh, maupun pakaian, sehingga tidak wajib untuk dihilangkan. Dahak juga demikian, tidak ada perbedaan.”
Dalam kitab Subulus Salam disebutkan: “Ulama-ulama Syafi’iyyah mengatakan: “Mani itu suci.” Mereka berdalil tentang kesuciannya dengan hadits-hadits tersebut.”
Mereka menegaskan: “Hadits-hadits tentang mencuci mani dimaksudkan kepada makna anjuran. Mencuci di sini tidak menunjukkan dalil najisnya mani. Boleh jadi, mencuci di sini adalah untuk kebersihan atau untuk menghilangkan bekas-bekas noda dan sejenisnya. Penyamaan mani dengan dahak dan ingus menunjukkan kesuciannya.
Adapun perintah untuk menghapusnya dengan kain atau idzkhir adalah untuk menghilangkan noda yang tidak disukai, yang masih melekat di pakaian orang yang mengerjakan shalat. Seandainya mani itu najis, tentunya tidak cukup (disucikan) dengan menggosok atau membasuhnya saja.”
Masalah mencuci mani ini disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya:
Dalam hadits Aisyah, dia mengatakan: “Aku mencuci bekas-bekas mani dari pakaian Rasulullah, lalu beliau keluar untuk mengerjakan shalat sementara bercak airnya masih melekat pada pakaiannya.”
Masih dari Aisyah, dia mengatakan: “Rasulullah pernah mencuci bercak mani pada sebuah pakaian, kemudian beliau keluar menuju tempat shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, sementara aku dapat melihat bekas cucian itu pada pakaian beliau.”
Abu Isa at-Tirmidzi berkata: “Hadits Aisyah yang menyebutkan bahwasanya ia mencuci bekas mani Rasulullah tidak bertentangan dengan hadits-hadits tentang mengerik mani. Sebab, meskipun dengan mengeriknya sudah cukup, mencuci mani tetap dianjurkan bagi kaum laki-laki agar tidak terlihat bekas-bekasnya lagi pada pakaian.”
Di dalam kitab al-Muhalla, Ibnu Hazm berkata: “Mengenai hadits yang disebutkan oleh Sulaiman bin Yasar, sesungguhnya di situ tidak ada perintah dari Rasulullah untuk mencucinya maupun menghilangkannya, serta tidak juga disebutkan bahwasanya mani itu adalah najis. Namun, hanya disebutkan bahwa beliau mencucinya dan Aisyah pun pernah melakukannya. Perbuatan Rasulullah itu tidaklah menunjukkan suatu hal yang wajib.”
Kemudian, Ibnu Hazm menyebutkan hadits dari Anas tentang masalah mengerik dahak yang menempel di dinding masjid dengan tangan beliau. Lafazhnya, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 405), dari Anas:
أنَّ النّبيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رأى نخامة في القِبْلة، فشقَّ ذلك عليه، حتى رُئي في وجهه، فقام، فحكَّه بيده
“Rasulullah melihat dahak pada dinding di arah kiblat dan hal itu memberatkan hati beliau hingga tampak pada wajahnya. Maka, Nabi bangkit dan mengeriknya dengan tangan beliau.”
Ibnu Hazm berkomentar: “Ini tidak menjadi dalil bagi orang-orang yang berseberangan dengan kami dalam hal menetapkan najisnya dahak. Karena, kadang kala seseorang mencuci pakaiannya yang tidak najis.”
Di dalam kitabnya, al-Fatawa (XXI/605), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Kesimpulannya, susu yang keluar di antara kotoran dan darah sangat mirip dengan air mani yang keluar dari tempat buang air seni.”
Beliau juga mengatakan: “Sebagaimana dimaklumi, tidak pernah dinukil dari seorang pun bahwa Rasulullah pernah memerintahkan salah seorang dari Sahabatnya untuk mencuci mani dari pakaian atau badannya. Karena itu, dapat diketahui secara yakin bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang wajib atas mereka. Ini sekaligus merupakan hujjah yang qath’i (kuat) bagi siapa saja yang merenunginya.”
Dalam Fat-hul Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan: “Tidak ada pertentangan antara hadits yang menyebutkan ‘mencuci’ dan hadits yang menyebutkan ‘mengerik’. Sebab, penggabungan keduanya itu amat jelas dan dapat menguatkan pendapat sucinya mani. Yaitu, dengan menafsirkan hadits mencuci mani di sini kepada anjuran untuk kebersihan, bukan sebagai suatu kewajiban.”
Beliau menambahkan: “(Penggabungan) ini adalah metode yang dipilih asy-Syafi’i, Ahmad, dan ahli hadits.”
2. Khamer (Arak)
Pada prinsipnya, semua benda itu hukumnya adalah suci, selama tidak ada dalil yang menjelaskan tentang kenajisannya. Adapun firman Allah:
{إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah (perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma-idah: 90)
Maksud kata رجس di sini adalah najasah hukmiyah (secara hukum) bukan najasah hissiyyah (secara fisik). Sebab, jika tidak demikian berarti kita juga harus menghukumi patung dan berhala sebagai benda najis.
Pengharaman sesuatu tidak selalu berarti bahwa ia najis. Karena, ini artinya kita harus menghukumi ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan bibi-bibi dengan hukum najis, berdasarkan firman-Nya:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ … }
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; sandara-saudaramu yang perempuan; saudara-sandara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan ….” (QS. An-Nisa’ [4]: 23)
Makanan yang dicuri haram dimakan, namun ia tidak dikatakan najis.
Di dalam kitab Subulus Salam (I/52) disebutkan: “Yang benar adalah hukum asal pada semua benda adalah suci, sedangkan pengharaman itu tidaklah selalu berkonsekuensi kepada hukum najis. Sebab daun ganja yang diharamkan mengkonsumsinya hukumnya suci, demikian pula narkoba dan racun yang mematikan, tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Adapun najis maka hukumnya pasti haram. Sehingga, setiap benda yang najis diharamkan, namun tidak demikian sebaliknya.
Pada prinsipnya, dilarang menggunakan benda-benda najis, bagaimana pun kondisinya. Jika kita menghukumi suatu benda itu najis, berart kita menghukumi benda itu haram. Maka berbeda halnya dengan menghukumi sesuatu itu haram, misalnya sutera dan emas; keduanya haram digunakan, tetapi keduanya suci berdasarkan ketentuan syariat dan ijma’.
Jika Anda mengatakan: “Jika penyebutan hukum najis secara jelas atas sesuatu, atau kekotorannya, menunjukkan bahwasanya ia najis, sebagaimana najisnya kotoran hewan dan daging babi, maka mengapa engkau tidak menghukumi najisnya khamer berdasarkan ayat: “Sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berbala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji.” (QS. Al-Ma-idah [5]: 90)
Karena, penyebutan khamer dalam ayat ini disertai dengan penyebutan al-anshab dan al-azlam, yang mengindikasikan adanya pengalihan dari makna najis kepada makna selain najis secara syar’i.
Demikian juga dengan firman Allah:
{إِنَّما المُشْركونَ نَجَسٌ}
“… Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis ….” (QS. At-Taubah [9]: 28)
Terdapat dalil-dalil shahih yang menunjukkan tidak najisnya tubuh orang musyrik, sebagaimana dibolehkannya memakan makanan orang-orang musyrik. Bahkan dibolehkan berwudhu menggunakan bejana-bejana mereka dan makan dengannya, maka semua itu merupakan dalil bahwasanya yang dimaksudkan dengan najis dalam ayat tersebut adalah bukan najis syar’i.” (demikian yang dinukil dari kitab tersebut)
Dalam as-Sailul Jarrar (I/35) disebutkan: “Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan pegangan, yang menunjukkan najisnya minuman-minuman yang memabukkan.”
Imam asy-Syaukani juga menyebutkan bahwa najis yang disebutkan dalam surah Al-Ma-idah bermakna haram, bukan majis berdasarkan redaksi ayat tersebut.
3. Kotoran dan air kencing hewan yang halal dimakan dagingnya
Dari Anas, dia menuturkan: “Beberapa orang yang berasal dari suku “Ukal atau “Urainah datang ke kota Madinah. Tidak lama kemudian, mereka jatuh sakit. Rasulullah memerintahkan mereka itu untuk mendatangi unta-unta, lalu menyuruh mereka meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat ke sana. Setelah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi dan membawa lari unta-untanya.
Pada pagi harinya, berita itu sampai kepada Rasulullah, lantas beliau segera mengirim satu pasukan untuk mengejar mereka. Pada tengah harinya, mereka pun kemudian berhasil dibawa kembali.
Setelah itu, Rasulullah memerintahkan kepada beberapa orang untuk memotong tangan dan kaki mereka, kemudian mencongkel mata mereka, lalu membuang mereka ke daerah al-Harrah. Mereka meminta minum, tetapi tidak ada yang memberinya minum.
Abu Qilabah mengatakan: “Mereka telah mencuri, membunuh dan kembali pada kekafiran setelah beriman; bahkan mereka berani memerangi Allah dan Rasul-Nya.”
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan: “Dihalalkannya berobat dengan air kencing unta merupakan dalil kesucian air kencing tersebut. Air kencing unta atau yang semisalnya hukumnya suci.”
Hadits ini menjadi dalil bagi orang yang mengatakan sucinya air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya. Mereka juga berdalil dengan ucapan Ibnu Mas’ud:
إِنَّ الله لم يجعل شفاءكم فيما حرَّم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi kalian obat dari hal-hal yang Allah haramkan.”
Itu dikarenakan penghalalan suatu benda berkonsekuensi kepada sucinya benda yang dihalalkan tersebut.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
صلّوا في مرابض الغنم، ولا تصلُّوا في أعطان الإِبل
“Shalatlah kamu di kandang kambing dan janganlah kamu shalat di kandang unta.”
Dari Jabir bin Samurah: Bahwasanya seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah: “Apakah kami harus berwudhu karena memakan daging kambing?” Beliau menjawab: “Jika kamu mau berwudhu, maka lakukanlah! Dan jika kamu tidak mau berwudhu, maka tinggalkanlah.” Laki-laki itu bertanya lagi: “Apakah kami harus berwudhu setelah memakan daging unta?” Nabi menjawab: “Ya, berwudhulah karena memakan daging unta.” Laki-laki itu melanjutkan pertanyaannya: “Apakah aku boleh mengerjakan shalat di kandang kambing?” Beliau menjawab: “Ya, boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi: “Apakah aku boleh mengerjakan shalat di kandang unta?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.”
Dalam al-Fatawa disebutkan: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya, apakah ia najis.
Ibnu Taimiyyah menjawab: “Mengenai air kencing dan kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, mayoritas ulama Salaf tidak menajiskannya. Ini adalah madzhab Malik, Ahmad dan selain keduanya. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun Sahabat yang berpendapat benda tersebut najis. Bahkan, pendapat yang mengatakan benda tersebut najis adalah pendapat yang baru, tidak ada pendapat sebelumnya dari kalangan Sahabat. Kami telah menyebutkan banyak pendapat mengenai masalah ini pada buku (tulisan) tersendiri, bahkan dijelaskan sekitar belasan dalil syar’i yang menegaskan bahwa benda itu tidak najis. Tidak ada dalil syar’i yang mendukung pendapat yang mengatakan benda itu najis.”
Dan disebutkan juga: “Sungguh, telah diriwayatkan secara shahih dan mutawatir dari Nabi, bahwa beliau thawaf dengan menggunakan kendaraan dan beliau memasukkannya ke dalam Masjidil Haram, tempat yang Allah utamakan dibandingkan dengan semua tempat yang ada di muka bumi.
Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Aku mengadukan kepada Nabi bahwa aku sakit. Lalu, beliau berkata:
طوفي من وراء الناس وأنت راكبة، فطفتُ، ورسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حينئذ يصلّي إِلى جنب البيت، وهو يقرأ: {والطُّور وكِتابٍ مَسْطورٍ}
“Thawaflah kamu di belakang manusia dengan mengendarai kendaraan.” Maka aku pun thawaf (dengan berkendaraan). Ketika itu, Rasulullah tengah mengerjakan shalat di sisi Ka’bah, lantas beliau membaca: “Demi bukit, dan kitab yang ditulis.” (QS. Ath-Thur [52]: 1-2)
Ibnu Baththal mengatakan: “Hal ini merupakan dalil tentang bolehnya memasukkan hewan yang boleh dimakan dagingnya ke dalam masjid. Sebab, air kencingnya tidak najis, berbeda dengan hewan-hewan yang lainnya.”