BANTAHAN KEPADA ORANG YANG MENGINGKARI HADITS AHAD DAN PENETAPAN SEBAGIANNYA DALAM MASALAH AQIDAH

water, landscape, travel, scenic, mountain, outdoors, rock, beautiful, nature, river, scenery, valley, yosemite national park, phone wallpaper, iphone wallpaper, phone wallpaper, phone wallpaper, phone wallpaper, phone wallpaper, phone wallpaper, iphone wallpaper

1.  Bantahan Kepada Orang Yang Mengingkari Hadits Ahad

Para ulama membantah pendapat orang-orang yang tidak mau berpegang pada hadits ahad dalam masalah aqidah dari beberapa sisi.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwasanya hadits ahad tidak bisa digunakan untuk mengukuhkan masalah aqidah, maka hal ini termasuk ucapan bid’ah yang baru muncul dan tidak ada dasarnya dalam syariat. Padahal segala sesuatu yang kriterianya seperti itu (bid’ah), maka ia harus ditolak.

Kedua, perkataan mereka sendiri (bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah) ialah aqidah. Menurut mereka, aqidah membutuhkan dalil qath’i (pasti) sehingga terlarang berpegang pada hadits ahad di dalam masalah ini. Namun, perkataan para pengingkar itu tidak ada dalilnya.

Ketiga, seandainya ada dalil qath’i yang menunjukkan hadits-hadits ahad tidak bisa dipakai untuk mengukuhkan masalah aqidah, sudah pasti para Sahabat mengetahui dan sudah menjelaskannya kepada kita. Begitu juga para ulama Salafush Shalih yang hidup setelah masa mereka.

Keempat, pendapat ini bertentangan dengan metode ilmiah yang dipegang oleh para Sahabat. Sebab setiap orang di antara mereka menerima hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat lainnya dari Rasulullah. Mereka pun memastikan kebenarannya, serta tidak menolak perkataan Sahabat tadi dengan alasan hadits yang diriwayatkannya ahad.

Kelima, dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya bagi kita berpegang kepada apa-apa yang berasal dari al-Qur-an dan as-Sunnah mencakup masalah aqidah dan hukum fiqih. Maka, menjadikan dalil-dalil inj untuk masalah hukum tanpa mencakup masalah Aqidah -jika tergolong hadits ahad- merupakan suatu pengkhususan tanpa ada mukhashshish (penyebab syar’i).

Keenam, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan dengan jelas. Seperti yang diketahui bersama, maksud menyampaikan dengan jelas ini ialah ditegakkannya hujjah kepada target dakwah dan tercapainya ilmu agama. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai pengetahuan (ilmu) tentang sesuatu, itu artinya penyampaian juga belum terlaksana. Karena hujjah hanya bisa tegak apabila pengetahuan tentangnya telah tercapai.

Ketujuh, pendapat tersebut mengandung konsekuensi bahwa berpegang kepada hadits ahad dalam masalah aqidah tidak dibenarkan secara mutlak bagi generasi muslim setelah generasi para Sahabat. Hal ini karena hanya para Sahabat yang mendengar permasalahan aqidah secara langsung dari lisan Rasulullah. Sebelum masa pengkodifikasian, hadits-hadits sampai kepada kaum muslimin melalui jalur periwayatan orang per orang (sanad atau hadits ahad).

Sedangkan saat itu hadits-hadits yang sampai kepada mereka melalui jalur yang mutawatir jumlahnya sedikit. Bahkan sangat sedikit sekali. Lagi pula, informasi yang disampaikan para perawi hadits kepada orang lain bahwa riwayat si Fulan adalah mutawatir tidak serta-merta dapat dikatakan menginformasikan ilmu (sesuatu yang yakin) bagi si penerima riwayat, karena yang disampaikan olehnya pun tergolong hadits ahad.

Kedelapan, pendapat yang seperti itu juga berkonsekuensi pada meninggalkan atau mengabaikan pengamalan seluruh hadits ahad yang isinya menyangkut masalah aqidah dan masalah amal. Karena, tidak berpegang kepada hadits-hadits ahad tersebut dalam masalah aqidah secara hakikat berarti menolaknya. Lantas, jika demikian, bagaimana mungkin ia bisa dijadikan pegangan dalam masalah hukum?

Kesembilan, para ulama ushul fiqih tidak menyepakati pendapat tersebut -tidak seperti yang disangka Syaikh Syaltut-. Padahal Imam Malik, asy-Syafi’i, juga murid-murid Abu Hanifah, dan Dawud bin Ali serta murid-muridnya, seperti Ibnu Hazm, menyatakan bahwa hadits ahad dapat menginformasikan ilmu. Hal yang sama dinyatakan pula oleh Imam al-Husain bin Ali al-Karabisi, al-Harits bin Asad al-Muhasibi, dan al-Qadhi Abu Ya’la dari kalangan ulama mazhab Hanbali.

2. Penetapan Sebagiannya dalam Masalah Aqidah

Sebelum kita menutup bahasan masalah ini, maka ada baiknya kami menuturkan beberapa permasalahan aqidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad.

1) Pendapat tentang kenabian Adam dan Para Nabi lainnya yang tidak dinyatakan secara tegas dalam al-Qur-an.

2) Keutamaan Nabi kita, Muhammad, dibanding seluruh Nabi dan Rasul.

3) Syafaat Nabi Muhammad yang paling agung ketika berada di Padang Mahsyar.

4) Syafaat Nabi Muhammad untuk para pelaku dosa besar di tengah umatnya.

5) Semua mukjizat Nabi Muhammad di samping al-Qur-an, antara lain terbelahnya bulan. Meskipun mukjizat ini disebutkan dalam al-Qur-an, para penolak hadits ahad tetap saja menafsirkan hal itu dengan pernyataan yang menafikan hadits ahad.

6) Hadits-hadits yang berbicara seputar permulaan ciptaan, sifat Malaikat, sifat jin, juga sifat Surga dan Neraka -sekaligus bahwa keduanya sudah diciptakan Allah- serta hadits yang menegaskan Hajar Aswad berasal dari Surga.

7) Berbagai kekhususan Nabi Muhammad, sebagaimana yang dikumpulkan Imam as-Suyuti, dalam kitabnya, al-Khasha-ish al-Kubra. Misalnya beliau bisa masuk Surga, melihat penduduk Surga, dan apa-apa yang Allah siapkan bagi orang-orang yang bertakwa dalam tempat abadi itu, juga perihal masuk Islamnya qarin beliau  (Yaitu jin yang selalu menyertai seseorang. Bahwa setiap orang disertai qarin sejak lahir, termasuk Rasulullah)

8) Kepastian mengenai sepuluh Sahabat yang mendapatkan kabar gembira berupa jaminan masuk Surga.

9) Mengimani adanya pertanyaan Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir di alam kubur.

10) Mengimani adanya adzab kubur.

11) Mengimani bahwasanya kuburan anak Adam pasti menyempit.

12) Mengimani keberadaan al-Mizan (timbangan amal) yang memiliki dua daun timbangan pada hari Kiamat.

13) Mengimani keberadaan ash-Shirath (yakni satu jembatan yang membentang di atas Neraka).

14) Mengimani keberadaan Haudh (telaga Nabi), dan bahwa orang yang meminum satu teguk saja dari air telaga tersebut tidak akan merasa haus lagi selama-lamanya.

15) Masuknya tujuh puluh ribu orang di antara umat Nabi Muhammad ke dalam Surga tanpa hisab.

16) Mengimani segala sesuatu yang diriwayatkan dalam hadits shahih tentang sifat-sifat hari Kiamat, juga Hasyr (hari dibangkitkannya manusia), serta Nasyr (pembagian buku-buku catatan amal) yang tidak disebutkan secara gamblang dalam al-Qur-an.

17) Mengimani qadha’ dan qadar (takdir), yang baik maupun buruk. Allah pun menuliskan segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia, bahagia atau celakanya, juga rezeki dan ajalnya.

18) Mengimani adanya Pena yang menulis segala sesuatu (sesuai yang Allah perintahkan untuk dituliskan).

19) Mengimani bahwa para pelaku dosa besar dari kaum muslimin tidak kekal di dalam Neraka.

20) Mengimani bahwasanya roh para syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) ada dalam tembolok burung-burung hijau di Surga.

21) Mengimani bahwa Allah mengharamkan bumi memakan (menghancurkan) jasad Para Nabi.

22) Mengimani bahwa Allah memiliki para Malaikat yang ditugaskan menyebar ke seluruh penjuru bumi untuk menyampaikan salam umat Islam kepada Nabi Muhammad.

23) Mengimani semua tanda yang mengiringi hari Kiamat, seperti munculnya al-Mahdi, turunnya Nabi Isa, munculnya Dajjal, juga tanda yang lain.

Tidak semua masalah tersebut didukung dalil yang berupa hadits ahad, akan tetapi ada pula dalil yang diriwayatkan secara mutawatir. Ketidaktahuan orang-orang terhadap hakikat hadits mutawatir atau hadits ahad menyebabkan penolakan semuanya, atau sebagian besarnya. Apalagi jika bukan itu alasannya. sebab sebenarnya hadits-hadits tentang kehadiran Dajjal, munculnya al-Mahdi, dan ihwal turunnya Nabi Isa bin Maryam adalah hadits-hadits yang mutawatir sebagaimana dinyatakan secara jelas oleh para ulama.

Lebih dari itu, tidak hanya permasalahan aqidah yang disebutkan dalam hadits-hadits mutawatir yang ditolak, bahkan masalah aqidah yang disebutkan dalam al-Qur-an pun mereka tolak dengan keyakinan bathwa petunjuk nash tersebut tidak qath’i (pasti) -sebagaimana telah lalu penjelasannya- demikian juga pendapat Syaikh Syaltut mengenai hal itu. Dengan kata lain, mereka tidak meyakini bahwa orang-orang beriman kelak bisa melihat Allah pada hari Kiamat, meskipun al-Qur-an menetapkannya.

Allah berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)

“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Rabbnya.” (QS. Al-Qiyamah (75): 22-23)

Belum lagi hadits-hadits yang menetapkan masalah tersebut yang mencapai derajat mutawatir.

Imam Abul Hasan al-Asyari (wafat th. 324 H) mengecam kaum Mu’tazilah yang menolak nash al-Qur-an dan as-Sunnah serta bertaklid kepada pimpinan dan Ahlul Ra’yi mereka.

Beliau menuturkan: “Amma badu. Sesungguhnya orang-orang menjadi tersesat dikarenakan tidak mengikuti kebenaran, seperti kaum Mu’tazilah dan kaum Qadariyah. Hawa nafsu dua kaum ini condong untuk bertaklid kepada pimpinan-pimpinan serta generasi-generasi pendahulunya. Mereka menafsirkan al-Qur-an berdasarkan pendapat akal, dengan menafsirkan apa yang tidak Allah turunkan keterangannya, tidak menjelaskannya dengan dalil, dan tidak meriwayatkannya dari Rasulullah, atau tidak menukilnya dari Salafush Shalih.

Mereka menyelisihi riwayat-riwayat para Sahabat dari Nabi tentang melihat Allah dengan mata. Padahal, masalah itu diterangkan di dalam banyak hadits dari berbagai jalur periwayatan, atsar-atsar yang meriwayatkan perihalnya pun mutawatir, dan berita mengenainya masyhur (berkesinambungan).

Mereka pun mengingkari pemberian syafaat oleh Rasulullah kepada para pelaku dosa, menolak riwayat-riwayat terkait masalah ini dari generasi-generasi terdahulu, juga mengingkari adzab kubur serta diadzabnya orang-orang kafir di alam kubur. Imam Abul Hasan al-Asy’ari menyebutkan pada bahasan lainnya: “Kaum Mu’tazilah mengingkari adanya Haudh (telaga Nabi) dan adzab kubur.”

Imam Abul Hasan al-Asy’ari menyebutkan dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin: “Mereka berbeda pendapat tentang adzab kubur. Ada yang meniadakannya dan ada yang menetapkannya, yaitu kaum Mu’tazilah dan kaum Khawarij.”

Abul Hasan mengungkapkan: “Mereka berbeda pendapat tentang syafaat Rasulullah yang diberikan kepada para pelaku dosa besar. Kaum Mu’tazilah mengingkari hal tersebut, bahkan mereka menyatakannya sebagai pendapat yang bathil.”

Imam Abul Hasan al-Asy’ari pun menjelaskan, bahwasanya kaum Mutazilah secara tegas mengingkari kepemilikan mata dan tangan bagi Allah. Hal ini sama seperti pengingkaran mereka atas umat manusia yang kelak benar-benar melihat Allah dengan mata kepala, juga bahwa Allah datang pada hari Kiamat, dan bahwa Allah turun ke langit dunia.

Selain itu, mereka juga menegaskan perihal kekalnya orang-orang fasik dalam Neraka. Semua itu belum termasuk pendapat lainnya yang jelas bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang dinilai mutawatir, bahkan bertentangan dengan nash-nash al-Qur-an.

Jadi, siapa saja yang menolak aqidah-aqidah tersebut, padahal hadits-hadits yang dinukilkan tentangnya adalah shahih, maka dia telah menempuh jalan kaum Mur’tazilah, bukan jalan Ahlus Sunnah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top