Adapun manhaj Salaf dalam menetapkan aqidah mereka secara ringkas dapat saya jelaskan sebagai berikut:
PERTAMA: Bahwa mereka berpegang sekuat-kuatnya dengan Zhahirnya nash Al Kitab dan As Sunnah.
Mereka mengimaninya secara zhahirnya nash-nash tersebut tanpa ta’wil yang batil atau tahrif (merubah lafazh atau makna atau arti yang haq kepada makna atau arti yang batil). Seperti perbuatan kaum syi’ah raafidhah, khawarij, jahmiyyah, mu’tazilah dan murji’ah bersama orang-orang yang mengikuti manhaj mereka yang sesat dan menyesatkan dari kaum asy’ariyyah dan maturidiyyah dan lain-lain dari firqah-firqah sesat yang bernasab kepada Islam, walaupun sebagiannya telah keluar dari Islam seperti raafidah ( syiah ) dan jahmiyyah dan yang lainnya banyak sekali.
KEDUA: Mereka mendahulukan dalil-dalil naqliyyah (=nash–nash Al Kitab dan As Sunnah) dari dalil-dalil aqliyyah (akal). Atau dengan kata lain mereka telah mendahulukan wahyu Al Kitab dan wahyu As Sunnah dari ra’yu (akal fikiran semata).
Hal ini disebabkan bahwa yang menjadi asas di dalam Agama Islam adalah Wahyu bukan ra’yu. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa manhaj Salaf telah menghilangkan atau merendahkan akal Sama sekali tidak…!
Perinciannya adalah sebagai berikut: Di dalam Islam dikenal dengan adanya dua macam dalil:
1. Dalil naqliyyah atau yang juga disebut dengan dalil sam’iyyah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil naqliyyah atau sam”iyyah adalah dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shah (shahih atau hasan).
2. Dalil ‘aqliyyah nazhariyyah. Sedangkan yang dimaksud adalah dalil yang dihasilkan dari sebuah penelitian, pendapat, renungan dan yang sejenisnya yang semuanya berasal dari hasil fikiran dan akal manusia yang tentunya bisa benar dan bisa juga salah dan seterusnya.
Maka dari keterangan singkat ini tentunya akan timbul sebuah masalah:
Manakah yang harus lebih didahulukan di antara “dalil naqliyyah” dan “dalil ‘aqliyyah”?
jawaban yang haq dan qath’i (pasti) adalah dalil naqliyyahlah yang harus lebih didahulukan. Sebab dalil naqliyyah itulah yang datang terlebih dahulu, baru kemudian dalil ‘aqliyyah datang mengikutinya. Seolah-olah dia hanya sebagai pembantunya yang berkhidmat kepada dalil-dalil naqliyyah.
Oleh sebab itulah maka kaum Salaf lebih mendahulukan dalil-dalil naqliyyah daripada dalil-dalil ‘aqliyyah. Maka cara beragama yang seperti inilah yang mereka pegang dan yakini dengan ilmu yakin secara turun temurun, bersilsilah dari dahulu hingga saat ini dan seterusnya sampai akhir zaman, insyaa Allahu Ta’ala.
1. Keyakinan inilah yang membedakan antara Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah. Karena salah satu keyakinan dan ciri-ciri atau tanda-tanda yang nyata dan terang serta jelas sekali dari ahli bid’ah bersama para pengikutnya dan orang-orang yang terkena syubhat (kerancuan) mereka, adalah mereka selalu mendahulukan akal dari wahyu Al Kitab dan Sunnah (dalil naqliyyah). Sedangkan Ahlus Sunnah sebaliknya, mereka selalu mendahulukan wahyu (dalil naqliyyah) daripada akal karena beberapa sebab, di antaranya:
2. Bahwa yang asal adalah wahyu Al Kitab dan Sunnah bukan akal manusia.
3. Bahwa wahyu itu lebih tinggi dari akal manusia, karena dia datang dari pencipta manusia, yaitu Rabbul ‘alamin.
4. Wahyulah yang menjadi dasar atau asas bukan akal.
5. Bahwa ruang bagi akal sangat sempit dan terbatas. Sedangkan wahyu berasal dari Allah, Rabb semesta alam, dan tidak ada batasannya.
Dan lain-lain yang dapat dipikirkan dan direnungkan oleh setiap orang yang berakal dengan akal yang shahih dan sharih (memiliki ketegasan).
Hal ini sebenarnya tidak tersembunyi bagi orang-orang yang berakal seperti di atas, yaitu yang menggunakan akalnya yang sehat dan memiliki ketegasan. Bukan akal yang sakit dan goncang seperti akalnya jahmiyyah dan mu’tazilah dan kaum filsafat bersama kaum mutakallimin yang mengikuti mereka, apalagi syi’ah raafidhah karena yang terakhir ini syi’ah raafidhah sebagai kaum yang paling jahil dan paling dungu terhadap dalil-dalil naqliyyah dan aqliyyah.
Dari sini dapatlah kita ketahui dengan ilmu yakin, bahwa merupakan suatu sikap yang sangat bodoh sekali apabila kita lebih mendahulukan akal dari wahyu. Oleh karena itu tidak ada seorang pun juga yang mendahulukan akalnya dari wahyu Al- Kitab dan As-Sunnah kecuali orang yang paling rusak akalnya dan paling jahil terhadap dalil-dalil Al- Kitab dan As- Sunnah serta dalil-dalil aqliyyah itu sendiri.
SOAL:
Mungkinkah terjadi pertentangan antara dalil-dalil naqliyyah dan dalil-dalil ‘aqliyyah?
Jawabannya kita serahkan saja kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau telah berkata di kitabnya Ar Raddu ‘Alal Manthiqiyyiin (hal: 260):
بل كل ما علم بالعقل الصريح فلا يوجد عن الرسول صلى الله عليه وسلم إلا ما يوافقه ويصدقه
“Bahkan segala sesuatu yang telah diketahui dengan akal yang sharih (tegas), maka tidak didapati dari Rasulullah melainkan akal itu menyetujuinya dan membenarkannya.”
Oleh sebab itulah maka kaum Salaf lebih berakal daripada kaum khalaf. Maka sangat tidak tepat apabila dikatakan bahwa kaum Salaf itu hanya “aslam”saja (=sifatnya hanya taslim atau menyerah saja kepada keputusan dalil tetapi tidak tahu apa-apa alias jahil atau bodoh!?), sedangkan kaum khalaf itu “ahkam wa a’lam” (=lebih tepat hukumnya dan lebih mengetahui dari kaum Salaf)!?
Bahkan perkataan ini kebatilan dan kemungkarannya sangat besar sekali. Sampai-sampai sebagian Ulama dengan tegas mengatakan bahwa perkataan tersebut kufur atau menjurus kepada kekufuran.
Iika saudara bertanya: Mengapakah demikian berat keputusan hukumnya? Maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Karena kalau kaum Salaf yang terdiri dari Rasulullah bersama para Shahabat kemudian para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dikatakan (=dituduh) hanya aslam (menyerah) saja (=tidak ahkam dan tidak a’lam), maka dengan sendirinya mereka telah menuduh Rasulullah bersama para Shahabat beliau dan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in sebagai orang-orang yang jahil (=tidak mengerti apa-apa) terhadap Al Kitab dan Sunnah kecuali sekedar membaca…!!!
Satu lagi…
Mungkinkah seorang yang aslam tidak ahkam dan tidak a’lam
Ketahuilah…!
Sesungguhnya sebagian dari ketinggian pemahaman kaum Salaf dinisbahkan dengan kaum khalaf, mereka tidak pernah mengatakan bahwa dalil-dalil naqliyyah yang berasal dari Al Quran dan Sunnah yang benar itu bertentangan dengan akal. Bahkan mereka dengan tegas menyatakan, bahwa dalil-dalil ‘aqliyyah selamanya akan selalu bersesuaian dan menyetujui dalil-dalil naqliyyah.
Akan tetapi yang selalu menjadi pertanyaan adalah:
Apakah akal dapat mencerna dan mengetahui makna dan hikmah semua yang datang dari dalil-dalil naqliyyah tersebut?
jawaban yang shahih dan pasti adalah: Ya…!!!
Tetapi hal ini tidak berarti ketika akal sanggup mencerna sesuatu yang datang dari dalil-dalil naqliyyah bahwa akal kemudian mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu…!?.
Sama sekali tidak…!
Karena yang dimaksud bahwa akal itu selalu membenarkan keputusan dalil-dalil naqliyyah dengan tidak menentangnya atau menolaknya.
Adapun perkataan yang sering diucapkan oleh kaum khalaf, bahwa ada beberapa dalil naqliyyah yang tidak masuk di akal atau bertentangan dengan akal hingga dalil naqliyyah itu sebagiannya perlu ditolak atau di ta’wil dan seterusnya dari kerancuan pemahaman mereka. Sebetulnya hal ini tidak lain melainkan disebabkan telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada akal mereka, dan juga disebabkan kebatilan dasar-dasar yang mereka buat antara akal dengan wahyu sebagaimana akan datang penjelasannya, insyaa Allahu Ta’ala.
Demikian juga yang telah dilakukan oleh mereka yang seringkali menolak Sunnah yang shah dengan dalih bahwa isi kandungannya tidak masuk di akal!? Maka sesungguhnya hal itu disebabkan oleh sikap mereka yang lebih mendahulukan akal dari wahyu (dalil-dalil naqliyyah ). Atau sebenarnya yang mereka katakan sebagai dalil naqlilyyah telah datang dari riwayat-riwayat yang tidak shah, seperti dari hadits-hadits dha’if, sangat dha’if, maudhu atau palsu atau hadits-hadits yang tidak ada asal-usulnya yang sama sekali tidak menjadi hujjah (alasan) di dalam agama. Yang akibatnya akal mereka pun menjadi sakit dan goncang, maka dengan sendirinya hilanglah dari mereka kekuatan akal yang shahih (sehat) dan sharih (tegas). Karena memang hanya akal yang seperti itu, yakni akal yang shahih (sehat) dan sharih (tegas) sajalah yang tidak akan pernah bertentangan dengan wahyu Al Kitab dan As Sunnah.
Kemudian di sini ada beberapa permasalahan:
- Bahwa dalil-dalil ‘aqliyyah memiliki batasan-batasan tertentu.
- Adanya perbedaan antara akal seseorang dengan yang lainnya.
- Hasil dari akal manusia itu bukanlah suatu kebenaran mutlak.
Sebagai contoh, seorang mujtahid yang berijtihad tentang suatu masalah, tentunya bisa salah dan bisa juga benar. Padahal sudah dapat dipastikan bahwa para mujtahid itu memutuskan ijtihadnya dengan akal mereka, dan para mujtahid itu adalah orang yang berakal dan cerdas sekali, dan mereka paham dalil-dalil ‘aqliyyah setelah mereka paham dalil-dalil naqliyyah. Mereka bukan orang yang bodoh. Karena orang yang jahil tidak dinamakan sebagai orang yang alim. Mereka (=para ulama) mengatakan, bahwa muqallid (=orang yang taqlid) bukanlah seorang yang alim.
Kemudian, wahai saudaraku para pembaca yang terhormat, dari apa yang telah saya terangkan ada satu hal lagi yang sangat mendasar dan sangat penting sekali diketahui, yaitu sebuah pertanyaan besar:
“Apakah di dalam dalil-dalil naqliyyah (= Al Kitab Al Qur’an dan Sunnah) tidak terdapat dalil-dalil aqliyyah? Atau dengan kata lain apakah dalil-dalil naqliyyah tidak menjelaskan dalil-dalil aqliyyah?”
Kita serahkan saja jawabannya kepada orang yang sangat alim dalam masalah ini, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di kitabnya yang sangat bagus sekali di dalam bab ini, yaitu kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aqli Wan Naqli (juz 1 hal: 199 yang ditahqiq oleh DR. Muhammad Rasyad Salim), beliau mengatakan:
”Kebanyakan dari ahli ilmu kalam telah menyangka bahwa dalil-dalil syar’iyyah hanya terbatas pada kabar yang benar saja, sedangkan Al Kitab dan Sunnah tidak menunjuki kecuali dari jalan ini saja. Oleh karena itu mereka telah menjadikan ushuluddin menjadi dua macam: Aqliyyaat dan sam’iyyaat.
Kemudian mereka menetapkan bahwa yang pertama (yaitu dalil-dalil ‘aqliyyah) tidak dapat diketahui oleh Al Kitab dan Sunnah!?
Hal ini merupakan kesalahan dari mereka, bahkan Al Qur’an telah menunjuki akan adanya dalil-dalil ‘aqliyyah, menjelaskannya dan memberitahukannya…”. Sekian dari Syaikhul Islam dengan ringkas.
Yakni menurut mereka (kaum mutakallimin), bahwa Al Kitab dan Sunnah sama sekali tidak menjelaskan atau menerangkan dan tidak memberitahukan akan adanya dalil-dalil aqliyyah. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam, bahwa mereka telah membagi ushuluddin (dasar-dasar agama) menjadi dua bagian atau dua macam:
Pertama, adalah dalil-dalil aqliyyah, yang tidak dapat diketahui oleh Al Kitab dan Sunnah kecuali oleh akal (=akal-akal mereka yang sakit dan goncang). Yakni Al Kitab dan Sunnah tidak dapat menjelaskan dalil-dalil aqliyyah. Dalil-dalil aqliyyah hanya dapat diketahui dan dijelaskan oleh akal!?
Kedua, adalah dalil-dalil sam’iyyah yang hanya terbatas pada nash Al Kitab dan Sunnah saja, yang keduanya tidak menunjuki dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan dalil-dalil aqliyyah!
Kemudian Syaikhul Islam membantah mereka dengan mengatakan, bahwa inilah kesalahan mereka, bahkan Al Quran telah menunjuki dan menjelaskan serta memberitahukan akan adanya dalil-dalil aqliyyah.
Saya mengatakan:
Barangsiapa yang mentadabburkan Al Qur’an dengan pemahaman yang benar yang berjalan di atas manhaj ilmiyyahnya kaum Salaf, niscaya dia akan mendapati di dalam Al Quran banyak sekali diterangkan dalil-dalil aqliyyah seperti yang sering saya katakan di majelis ilmu khususnya di majelis hadits shahih Bukhari setiap hari sabtu pagi, apalagi ketika memasuki bagian kitab tafsir dari kitab shahih Bukhari.
KETIGA: Ketahuilah wahai saudaraku, sikap mereka (=kaum Salaf) terhadap Sunnah secara umum dan secara khusus di dalam menetapkan aqidah mereka adalah sebagai berikut:
1. Mereka sangat berpegang dengan Sunnah Rasulullah di dalam memuliakan dan membesarkannya. Mereka mengetahui dengan ilmu yakin yang merupakan sebuah kepastian, bahwa Sunnah adalah wahyu dari Rabbul ‘alamin sebagaimana akan datang penjelasannya secara terperinci di kitab ini, insyaa Allahu Ta’ala.
2. Mereka pun mengatahui dengan ilmu yakin, bahwa Sunnah adalah sebagai penjelas dan penafsir Al Qur’an. Maka sangat mustahil memahami Al Qur’an dan mengamalkannya serta menda’wahkannya tanpa petunjuk dari Sunnah beliau.
3. Mereka sama sekali tidak pernah menolak Sunnah Rasulullah sedikit pun juga apabila Sunnah itu telah shah datangnya dari Nabi , baik datangnya secara berita mutawaatir maupun tidak.
Misalnya hadits tersebut telah shah, tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang Shahabat, mereka menerimanya dengan tidak mengatakan -sebagaimana perkataan ahli bid’ah bersama mereka yang mengikutinya-, bahwa hadits ini adalah hadits ahad yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk masalahmasalah aqidah!?
Ini adalah madzhab yang batil serta sesat dan menyesatkan dari madzhabnya ahli bidlah. Oleh karena itu tidak sedikit Sunnah atau Hadits yang mereka tolak dengan berbagai macam alasan yang berjalan di atas kezhaliman dan hawa nafsu serta kejahilan mereka.
Adapun madzhab yang haq, yaitu madzhabnya kaum Salaf, mereka menerima dan mengambil seluruh hadits yang datang atau telah sampai kepada mereka apabila hadits itu telah shah menurut pemeriksaan ahlinya yang berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits, kecuali hadits itu dha’if -dengan segala cabangnya atau hadits itu telah dimansukh (dihapus) hukumnya.
4. Mereka tidak menta’wil hadits dengan ta’wil yang batil atau tegasnya melakukan tahrif (merubah dari makna yang haq kepada makna yang batil).
KEEMPAT: Mereka berpegang dengan manhaj para Shahabat secara ilmu, amal dan da’wah sebagaimana akan datang keluasannya di kitab ini, insyaa Allahu Ta’ala.
KELIMA: Mereka sangat menjauhi bid”ah dan ahlinya sebagaimana akan datang penjelasannya di kitab ini, insyaa Allahu Ta’ala.
Walhasil, manhaj atau sifat dan sikap para Shahabat dalam beragama ialah: Mereka mengambil agama mereka:
Pertama: Dari Al Kitab Al Qur’an.
Kedua: Dari Sunnah Rasulullah.
Ketiga: Yang berjalan sesuai dengan fithrah yang Allah telah fithrahkan manusia berdasarkan agama-Nya yang hanif yaitu Al Islam.
Keempat: Yang berjalan sesuai dengan akal mereka yang bersih lagi shahih dan sharih (memilik ketegasan).
Kelima: Yang berjalan sesuai dengan bahasa mereka -bahasa Arab yang mereka ahlinya.
Keenam: Mereka memahami agama mereka dengan pemahaman yang benar yang berjalan berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan tadi.
Karena itu dengan izin dan hidayah serta taufiq dari Allah, tidak keluar dari mereka kesesatan dalam beragama. Demikian juga dengan orang-orang yang mengikuti cara beragama mereka dari para Tabi’in, kemudian Tabi’ut Tabi’in dan seterusnya dari Para Imam kaum muslimin dan orang-orang awam mereka dari zaman ke zaman di timur dan di barat bumi, semoga rahmat Allah tercurah kepada mereka. Sebaliknya telah tersesat begitu banyak manusia yang menasabkan diri mereka kepada islam dan Nabi Islam yang telah menyelisihi dan berlawanan dengan manhaj para sahabat.