A. Air dan Pembagiannya
1. Air yang suci dan menyucikan atau air mutlak
Maksudnya yaitu air yang suci pada dzatnya dan dapat menyucikan benda lainnya, serta dapat digunakan untuk menghilangkan hadats dan najis.
Jenis-jenis air yang suci dan menyucikan ini meliputi:
a. Air hujan
Allah berfirman:
{وأَنْزَلْنَا مِنَ السَّماء ماءً طَهُوراً}
“Dan Kami tarunkan dari langit air yang dapat menyucikan.” (QS. Al-Furqan [25]: 48)
Allah juga berfirman:
{ويُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّماءِ مَاءً ليُطَهّرَكمْ به}
“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu.” (QS. Al-Anfal [8]: 11)
b. Benda yang asalnya air, seperti salju dan embun
Dari Abu Hurairah, dia menuturkan: “Rasulullah berdiam sejenak antara takbiratul ihram dan bacaan (surah Al-Fatihah).”—Abu Hurairah mengatakan: Beliau diam sesaat—Aku berkata: “Ayah dan ibuku menjadi tebusannya, wahai Rasulullah! Ketika berdiam sejenak antara takbir dan bacaan Al-Fatihah, apakah yang tadi engkau baca?” Nabi menjawab: “Aku membaca:
اللهم باعد بيني وبين خطايايَ كما باعَدتَ بين المشرق والمغرب، اللهمَّ نقِّني من الخطايا كما يُنقَّى الثوب الأبيض من الدنس، اللهمَّ اغْسِلْ خطاياي بالماء والثلج والبرد
“Ya Allah, jauhkan antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara bagian timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari berbagai dosa sebagaimana pakaian yang putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkanlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan embun.”
c. Air dari mata air dan air sumur
Allah berfirman:
{أَلمْ تَرَ أَنَّ الله أَنْزَلَ منَ السَّماء مَاءً فَسَلَكهُ يَنابيعَ في الأرْضِ}
“Apakak kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi.” (QS. Az-Zumar [39]: 21)
d. Air laut
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah, dia berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, kami pernah mengarungi lautan dengan hanya membawa sedikit air. Jika kami menggunakannya untuk berwudhu, niscaya kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Nabi menjawab:
هو الطَّهورُ ماؤه، الحِلُّ مَيتته
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
e. Air zamzam
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah meminta segayung air Zamzam kemudian beliau minum darinya dan berwudhu.
f. Air ajin (Yang berubah sifatnya) dikarenakan lama tergenang, atau karena telah tercampurkan dengan dzat yang suci yang tidak mungkin dihindari, seperti daun-daun pohon, sabun, tepung dan sejenisnya.
Demikian pula, air yang berubah statusnya karena beradadi dalam bejana, dalam kantung yang terbuat dari kulit atau dari tembaga, dan di dalam benda lain sejenisnya. Semua itu sudah dimaklumi sehingga tidak sampai mengeluarkan air tersebut dari hukum mutlaknya.
Begitu juga air yang berubah karena hewan-hewan laut, seperti ikan atau sejenisnya, karena memang tidak mungkin untuk menghindarinya. Air-air di atas masih bersifat suci menyucikan selama statusnya sebagai air mutlak masih melekat padanya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Ummu Athiyyah, dia menceritakan: “Kami masuk menemui Rasulullah ketika putri beliau wafat. Beliau mengatakan:
اغْسِلْنَها ثلاثاً أو خمساً أو أكثر من ذلك -إِنْ رأيتنَّ- بماءٍ وسِدْر، واجعَلْنَ في الآخرةِ كافوراً، فإذا فرغْتُنَّ؛ فآذِنَّني
“Siramlah tiga kali, atau lima kali atau lebih banyak dari itu menurut hemat kalian—dengan air dan perasan daun bidara. Kemudian, jadikan siraman terakhir dengan air kapur barus. Jika kalian sudah selesai, beritahulah aku!
Ketika sudah selesai, kami memberitahu Nabi. Beliau pun memberikan kepada kami sarung beliau, seraya mengatakan: “Tutupilah dia dengan kain itu.” Yaitu, kain beliau.”
Dalam hadits Ummu Hani disebutkan: “Rasulullah mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang terdapat sisa-sisa tepung padanya.”
Dalam kitab al-Muhalla (masalah no. 147), Ibnu Hazm berkata: “Setiap air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan mubah sehingga air tersebut berubah warna, bau dan rasanya, selama hal itu tak sampai menghilangkan statusnya sebagai air mutlak, maka menggunakannya untuk berwudhu adalah dibolehkan. Mandi junub dengan menggunakannya juga boleh.
g. Air yang telah bercampur dengan benda yang najis, namun tidak berubah rasa, warna, dan baunya
Dar Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah pernah ditanya: “(Bagaimana jika) dibawakan untukmu air yang diambil dari dalam sumur Budha’ah, yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya daging anjing, sisa kotoran haidh, dan kotoran manusia. Maka Rasulullah mengatakan:
إِنَّ الماء طهور،لا ينجِّسه شيء
“Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan. Tidak ada satu pun yang bisa membuatnya najis.”
Dalam hadits lain disebutkan:
إِذا بَلَغَ الماء قُلَّتين؛ لم يَحملِ الخَبَث
“Jika air sudah mencapai dua qullah, tidak akan terkandung di dalamnya najis.”
Asy-Syaukani berkata: “Adapun hadits qullatain, maksudnya, apabila air sudah mencapai ukuran dua qullah, maka tidak akan mengandung najis. Dengan kata lain, air seukuran tersebut tidak akan dipengaruhi oleh najis yang masuk ke dalamnya pada kondisi-kondisi normal. Namun, jika berubah sebagian dari sifat-sifatnya, maka air itu telah menjadi najis berdasarkan ijma’ yang shahih dari beberapa sumber. Sementara, syariat tidak menyatakan bahwa air yang kapasitasnya kurang dari dua qullah pasti mengandung najis, bahkan pengertian hadits qullatain menunjukkan bahwa air yang kapasitasnya di bawah itu bisa jadi mengandung najis dan bisa juga tidak. Jika mengandung najis, maka itu terjadi (dapat diketahui) dengan berubahnya salah satu sifatnya.”
Az-Zuhri berkata: “Tidak masalah memakai air (yang terkena najis) selama tak berubah rasa, bau, dan warnanya.”
h. Air musta’mal (yang telah dipergunakan)
Air Musta’mal itu suci, baik yang telah digunakan untuk berwudhu, mandi dan kegiatan lainnya selama air tersebut sebelumnya tak dipakai untuk menghilangkan najis. Dalam hal ini banyak sekali dalil-dalilnya, di antaranya:
Apa yang dikatakan oleh Urwah dari al-Miswar dan juga yang lainnya—mereka saling membenarkan satu sama lain. Apabila Rasulullah berwudhu, maka hampir-hampir saja mereka (para Sahabat) berkelahi untuk memperebutkan sisa air wudhu beliau.
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Salah seorang istri Nabi mandi (dengan air) di jafnah (bejana). Lalu, Rasulullah datang untuk berwudhu dengan air itu—atau mandi—Istri beliau itu pun lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi sedang junub.” Maka Nabi bersabda:
إِنَّ الماء لا يُجْنِب
“Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia pernah menuturkan: “Aku mendengar Rasulullah, ketika beliau ditanyakan: “(Bagaimana jika), air yang diambilkan untukmu berasal dari sumur Budha’ah, yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya daging anjing, sisa kotoran haidh, dan kotoran manusia, maka Rasulullah berkata:
إِنَّ الماء طهور، لا ينجِّسه شيء
“Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan. Tak ada satu pun yang bisa membuatnya najis.”
Dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Pada suatu siang, Rasulullah keluar menemui kami. Beliau pun dibawakan segayung air, dan beliau berwudhu. Setelah itu, orang-orang mengambil sisa air wudhu beliau, setelah itu mengusapkan tubuh mereka dengan sisa air wudhu tersebut.”
Ibnu Hajar berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas menunjukkan sucinya air musta’mal.”
Dari Anas, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah meminta satu bejana air, kemudian dibawakan kepada beliau sebuah rahrah yang di dalamnya ada sedikit air. Beliau pun meletakkan jarinya ke dalam wadah itu. Anas berkata: “Aku melihat air memancar dari sela-sela jari beliau. Aku juga menghitung jumlah orang-orang yang berwudhu dengan rahrah itu, yakni berkisar antara 70 sampai 80 orang.”
Dalam al-Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah disebutkan bahwa tatkala ditanya tentang boleh tidaknya menggunakan air yang telah dicelupkan tangan seseorang, beliau menjawab: “Air itu tidaklah menjadi najis karena hal tersebut bahkan ia boleh digunakan menurut jumhur, seperti Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Ada riwayat lain dari Ahmad: air itu menjadi air musta’mal, wallahu a’lam.
Di dalam al-Muhalla (masalah ke-141) Ibnu Hazm berkata: “Berwudhu dengan air musta’mal hukumnya boleh, demikian juga mandi junub dengan menggunakannya, baik seseorang memiliki air selain itu ataupun tidak. Air itu bisa digunakan sebagai air wudhu untuk shalat fardhu maupun shalat sunnah atau digunakan untuk mandi junub maupun mandi yang lainnya, baik yang berwudhu itu laki-laki atau perempuan.
Dalilnya, firman Allah:
{وإنْ كُنْتُمْ مَرْضَىِ أو عَلى سَفَرٍ أو جَاءَ أحدٌ مِنْكُم مِنَ الغَائِطِ أو لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدوا مَاءَ فَتَيَمَّموا}
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 43)
Pada ayat di atas, Allah menyebutkan secara umum semua air, tanpa mengkhususkannya. Maka dari itu, tidak halal bagi seseorang meninggalkan air untuk berwudhu atau mandi yang wajib apabila memilikinya, kecuali air tersebut dilarang oleh nash yang shahih atau ijma yang jelas dan telah dipastikan keshahihannya.”
i. Air yang dihangatkan atau dipanaskan
Diriwayatkan secara shahih dari Umar; Bahwa pernah dipanaskan air untuknya di dalam qumqum, kemudian beliau mandi dengannya.
Shahih juga darinya (Umar) bahwasanya beliau mandi dengan menggunakan al-hamim (air panas).
Adapun hadits: “Janganlah kalian mandi dengan air yang dipanasi oleh cahaya matahari karena itu dapat menyebabkan penyakit kusta, sesungguhnya hadits ini tidak shahih.”
2. Air yang suci, tetapi tidak menyucikan atau air muqayyad
Yaitu air yang telah bercampur dengan benda lainnya yang suci, lalu benda itu mengubah status air tadi menjadi yang lain (contohnya) pewarna, cuka, atau air kembang; ataupun mendominasi bagian-bagiannya hingga menjadi tinta; ataupun dimasak dengannya hingga menjadi kuah.
Jenis air ini tak boleh digunakan untuk mandi dan wudhu karena bersuci hanya dibolehkan dengan air mutlak.
Dasarnya adalah firman Allah:
فَلَمْ تَجِدوا مَاءَ فَتَيَمَّموا
“sedangkan kamu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah.”
Adapun jenis-jenis air tersebut di atas tidaklah dapat disebut sebagai air.
Dari Atha, bahwasanya ia membenci berwudhu dengan susu atau dengan air perasan kurma, bahkan ia mengatakan: “Sesungguhnya, bertayamum itu lebih aku sukai daripada menggunakan keduanya untuk berwudhu.”
Dari Abu Khaldah, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abul Aliyah tentang laki-laki junub yang tidak memiliki air, kecuali air perasan kurma. Apakah orang itu boleh mandi dengannya?” la menjawab: “Tidak.”
Al-Bukhari berkata dalam Shahih-nya: “Bab: Tidak boleh berwudhu menggunakan air perasan kurma maupun minuman yang memabukkan. Hal itu dimakruhkan oleh al-Hasan dan Abul Aliyah.”
Abu Isa at-Tirmidzi berkata: “Orang yang berpendapat bahwa tidak boleh berwudhu dengan air perasan kurma lebih dekat dan lebih mirip dengan keterangan al-Qur-an, sebagaimana Allah berfirman:
{فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً}
“.. sedangkan kamu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang suci …” (QS. An-Nisa [4]: 43)
3. Air yang najis
Air yang najis adalah air yang sifatnya berubah karena bercampur dengan sesuatu yang najis, atau benda najis itu menyebabkan rasa, warna dan baunya berubah. Air ini tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Dalam Majmu’ul Fatawa (XXI/30), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Apabila air berubah karena tercampur benda najis, maka air itu menjadi najis berdasarkan kesepakatan.”
Dalam Subulus Salam (hlm. 21) disebutkan perkataan Ibnul Mundzir: “Para ulama sepakat bahwa air, baik sedikit maupun banyak, akan menjadi najis jika suatu najis jatuh ke dalamnya dan mengubah rasa, warna, dan baunya.”