18. Dimakruhkan Mengucapkan Salam Kepada Orang yang Sedang Berada di Dalam WC
Larangan ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan dari ibnu ‘Umar bahwa seseorang melewati Rasulullah sedangkan beliau sedang buang air kecil, lalu orang tersebut mengucapkan salam kepada beliau dan beliau tidak menjawabnya.
Berdasarkan dalil ini, para ulama telah sepakat atas makruhnya menjawab salam bagi orang yang sedang berada di dalam WC, baik sedang buang air kecil ataupun buang air besar. Dan, disunnahkan bagi orang yang diberi salam sementara ia masih berada di dalam WC untuk terus menyelesaikan hajatnya kemudian menjawab salam tersebut setelah berwudhu sebagai bentuk meneladani Rasulullah.
Al-Muhajir bin Qunfudz meriwayatkan bahwa ia mendatangi Rasulullah sedangkan beliau sedang buang air kecil, kemudian dia mengucapkan salam kepada Rasulullah akan tetapi beliau tidak menjawab salamnya hingga beliau berwudhu, lalu beliau memberikan alasan kepadanya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menyukai berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” Atau beliau bersabda, “Kecuali dengan bersuci.”
19. Disunnahkan Mengucapkan Salam Ketika Masuk ke Dalam Rumah
Sebagian ulama dari generasi shahabat dan selainnya berpendapat bahwa seseorang disunnahkan mengucapkan salam kepada dirinya sendiri jika rumah tersebut dalam keadaan kosong. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar ia berkata, “Apabila seseorang masuk ke rumah yang tidak ditinggali, hendaklah ia mengucapkan, ‘Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin (semoga keselamatan terlimpah atas kami dan atas orang-orang shalih).
Dalil serupa diriwayatkan dari Mujahid dan selain keduanya.
Ibnu Hajar berkata, “Termasuk ke dalam keumuman hadits yang mengajurkan untuk menyebarkan salam adalah mengucapkan salam kepada diri sendiri ketika masuk ke dalam rumah yang tidak ada seorang pun di dalamnya. Berdasarkan firman Allah:
((….فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ… ))
“… Maka, apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri ….” (An-Nur: 61)
Demikian pula jika dia masuk ke dalam rumahnya yang di dalamnya tidak ada orang lain selain keluarganya, maka disunnahkan baginya mengucapkan salam kepada mereka. Diriwayatkan dari Abuz Zubair bahwa dia mendengar Jabir berkata, “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya, hendaklah dia mengucapkan salam kepada keluarganya untuk mengaharap keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah.
Mengucapkan salam ketika masuk rumah ini bukan merupakan kewajiban. Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Wajibkah mengucapkan salam ketika masuk atau keluar rumah?” Beliau menjawab, ‘Tidak’, karena tidak ada atsar dari seorang pun yang menyebutkan diwajibkannya ucapan salam tersebut, akan tetapi aku menyukainya dan tidak meninggalkannya, kecuali karena lupa…
Akan tetapi, untuk mencari keutamaan, selayaknyalah seorang muslim yang telah mengetahui keutamaannya tidak meninggalkannya. Di antara keutamaannya tercantum dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah, dia berkata, Nabi bersabda:
ثَلاَثَة كلُّهُمْ ضَامِن عَلَى الله، إِنْ عَاشَ رُزِقَ وَكُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَسَلَّمَ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ ضَامِن عَلَى اللهِ
“Tiga orang yang masing-masing dari mereka berada dalam jaminan Allah. Dalam hidup, mereka dicukupi, dan jika mati mereka masuk surga, yaitu orang yang masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam, maka ia berada dalam jaminan Allah. Kemudian orang yang keluar untuk pergi ke masjid, maka dia berada dalam jaminan Allah. Dan, orang yang keluar di jalan Allah, maka dia berada dalam jaminan Allah.”
20. Menjawab Salam untuk Orang yang Mengirimkan Salam Kepadanya dan Kepada Orang yang Dititipi Salam
Masalah ini telah dijelaskan dalam Sunnah. Seorang laki-laki mendatangi Nabi dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menitipkan salam untukmu.” Maka Rasulullah bersabda, “‘Alaika wa’alaa Abiikas salaam (semoga keselamatan terlimpah atasmu dan juga ayahmu).
Dan, disebutkan dalam hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin dia berkata, “Sesungguhnya Nabi bersabda kepadaku, Jibril menitipkan salam untukmu. Aku berkata, ‘Wa’alaihis salaam wa rahmatullaah’.”
Dan, dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Jibril menitipkan Salam untuk Khadijah. Al-Hafizh berkata, “Ketika Nabi menyampaikan salam Allah kepadanya melalui Jibril maka Khadijah berkata, ‘lnnallaaha Huwas Salaam wa minhus salaam wa ‘alaikas salam wa ‘alaa Jibril as-salam (sesungguhnya Allah adalah as-Salam, darinya keselamatan, salam atasmu dan juga atas Jibril).”
Walhasil, dari hadits-hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa menjawab salam untuk orang yang dititipinya bukanlah merupakan kewajiban, akan tetapi hanya sebuah perkara yang disukai.
Ibnu Hajar berkata, “Aku tidak melihat dalam hadits ‘Aisyah lafazh yang menyebutkan bahwa dia membalas salam untuk Nabi, maka berarti hal itu bukan perkara yang wajib.”
Faidah: lbnu Abdil Barr berkata, “Seseorang berkata kepada Abu Dzarr, “Fulan menyampaikan salam untukmu.” Maka Abu Dzarr menjawab, “Salam itu adalah sebuah hadiah yang baik dan ringan untuk dipikul?”
21. Mendahulukan Shalat Tahiyyatul Masjid Sebelum Mengucapkan Salam Ketika Seseorang Masuk ke Dalam Masjid
Seseorang yang masuk ke masjid dianjurkan melakukan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam kepada orang-orang yang berada di dalamnya. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang shahabat yang keliru dalam melaksanakan shalatnya, bahwa Nabi masuk ke masjid kemudian ada seseorang yang masuk ke dalam masjid lalu ia mengerjakan shalat. Kemudian dia mendatangi Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu beliau menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah, lalu Sholatlah! Sesungguhnya engkau belum melaksanakan shalat (dengan benar) ….” (Sampai tiga kali). (Al-hadits).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Di antara petunjuk Nabi adalah orang yang masuk ke dalam masjid hendaklah dia langsung melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid dua rakaat, kemudian mendatangi orang-orang yang ada di masjid lalu mengucapkan salam kepada mereka. Dengan demikian shalat Tahiyyatul Masjid didahulukan dari mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada di dalam masjid. Hal ini karena tahiyyalul masjid adalah hak Allah, sedangkan mengucapkan salam kepada orang-orang adalah hak mereka. Hak Allah dalam keadaan seperti ini lebih berhak didahulukan.” Kemudian beliau mengutip hadits shahabat yang keliru dalam shalatnya sebagai dalil atas ulasan beliau.
Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan hadits tentang orang yang keliru dalam shalatnya sebagai dalil atas ucapannya, dan beliau berkata, “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid.…”
Syaikh Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub berkata, “Ini adalah ketentuan bagi orang yang masuk ke masjid dan di dalamnya ada sekelompok orang yang sedang duduk-duduk atau halaqah ilmu atau selainnya. Maka, yang disunnahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat Tahiyyatul Masjid, kemudian seusai shalat barulah ia mendatangi mereka dan mengucapkan salam kepada mereka. Adapun jika dia masuk ke masjid sementara orang-orang tersebut masih mengerjakan shalat, hendaklah ia mengucapkan salam kepada mereka terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid atau melakukan apa yang telah ditetapkan untuknya. Wallahu a’lam.”
22. Dimakruhkan Mengucapkan Salam Ketika Mendengarkan Khutbah Jum’at
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata kepada temanmu pada (saat mendengarkan khutbah) hari Jum’at, ‘Diamlah!’ sementara imam masih menyampaikan khutbahnya maka engkau telah lalai.”
Berdasarkan hal ini maka tidak disyari’atkan mengucapkan salam kepada siapa pun ketika khatib masih menyampaikan khutbah, berdasarkan perintah Nabi agar semua makmum diam ketika sedang mendengarkan khutbah imam pada hari Jum’at.
Jawab: Lajnah Da’imah menyatakan, “Tidak dibolehkan bagi siapa pun ketika masuk ke masjid untuk mengucapkan salam pada hari Jum’at sedangkan imam sedang menyampaikan khutbah. Dan, orang yang berada di dalam masjid tidak dibolehkan menjawab salam ketika imam sedang khutbah. Akan tetapi, jika ia menjawabnya dengan isyarat, maka hal ini dibolehkan.”
Pertanyaan: Apakah yang harus dilakukan seorang makmum jika orang yang ada disampingnya mengucapkan salam kepadanya dan menyalaminya ketika imam sedang khutbah?
Jawab: Lajnah Da’imah menyatakan, “Hendaklah dia berjabatan tangan saja tanpa berbicara. Kemudian menjawab salam ketika imam istirahat (selesai) khutbah pertama. Jika dia mengucapkan salam sementara imam sedang menyampaikan khutbah yang kedua, maka salamnya dijawab setelah khathib menyelesaikan khutbahnya yang kedua.”
23. Mendahulukan Salam Sebelum Berbicara
Jika para Salafush Shalih saling bertemu, mereka mendahulukan salam sebelum berbicara dan saling bertanya tentang keadaan dan kebutuhan mereka.
Imam an-Nawawi berkata, “Yang termasuk Sunnah adalah seorang muslim mengucapkan salam sebelum ia berbicara.”
Hadits-hadits shahih serta amalan ulama shalat dan ulama kontemporer sudah demikian populernya menyepakati hal ini. Dan, inilah pendapat yang dijadikan dasar dalam pembahasan ini. Adapun hadits, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Ucapkanlah salam sebelum berbicara,’ adalah hadits dha’if (lemah). At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini munkar.”
24. Salam Kepada Pelaku Maksiat dan Pelaku Bid’ah
Adapun kepada pelaku maksiat, hendaklah mengucapkan salam kepada mereka dan menjawab salamnya ketika mereka mengucapkan salam kepada kita. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah, bahwa kepada seorang muslim yang tidak terkenal sebagai pelaku kefasikan dan bid’ah, hendaklah mengucapkan salam kepadanya dan kita wajib menjawab salamnya.”
Akan tetapi, jika dia adalah pelaku maksiat yang kefasikan dan kemaksiatannya telah terkenal, apakah kita tidak mengucapkan salam kepadanya?
Maka kita jawab, “Apabila hal itu memberikan maslahat kepada pelaku maksiat tersebut, yaitu dia akan meninggalkan kemaksiatannya jika tidak diberi salam atau tidak menjawab salamnya, maka salam dapat ditinggalkan dan tidak diucapkan kepadanya agar si pelaku maksiat tersebut berhenti dari kemaksiatannya.
Adapun jika yang terjadi sebaliknya, dan besar kemungkinan dalam dugaan kita bahwa kemaksiatannya semakin bertambah, maka tidak mengapa kita mengucapkan salam kepadanya dan juga menjawab salamnya untuk meminimalisir keburukan yang mungkin akan terjadi. Karena, meninggalkan salam atasnya tidak mendatangkan mashalat. Dan dasar masalah ini kembali kepada masalah hajr (pemboikotan) (yaitu terhadap pelaku maksiat dan bid’ah).
Sedangkan kepada ahlul bid’ah; sesungguhnya bid’ah itu sendiri terbagi menjadi dua bagian. Ada bid’ah mukaffirah, yaitu bid’ah yang menyebabkan pelakunya kafir dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Maka kepada pelaku bid’ah mukaffirah tidak dibolehkan mengucapkan salam kepadanya dalam keadaan bagaimanapun. Dan, bagi pelaku bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir, maka hukumnya serupa dengan hukum bagi pelaku maksiat sebagaimana yangtelah dijelaskan di atas.
Kami menyadur perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin tentang masalah pemboikotan terhadap pelaku bid’ah. Penjelasan beliau ditujukan kepada masalah yang berkaitan dengan mengucapkan salam kepada pelaku bid’ah. Tidak ada perbedaan, karena meninggalkan ucapan salam dan menjawabnya termasuk boikot.
Syaikh berkata, “Adapun memboikot mereka (ahlul bid’ah), maka hal itu tergantung kebid’ahannya. Jika bid’ahnya itu mukaffirah, maka mereka wajib diboikot. Akan tetapi, jika bid’ahnya itu bukan bid’ah mukaffirah, maka pemboikotan terhadapnya tergantung maslahat. Jika ada maka kita melakukannya dan jika tidak maka kita harus meninggalkannya. Karena, pada dasarnya memboikot seorang mukmin itu diharamkan, berdasarkan sabda Nabi:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُؤْمِنٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ
“Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tidak menegur (memboikat) saudaranya lebih dari tiga hari.”
Dan, dalil seluruh masalah ini adalah hadits tentang kisah Ka’ab bin Malik yang sangat panjang ketika dia tidak ikut serta berjihad bersama Rasulullah dan kisah taubat dirinya kepada Allah. Dalam hadits tersebut dikisahkan bahwa Ka’ab berkata, “Nabi telah melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah menyelisihi beliau. Maka, orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap kepada kami, sehingga bumi ini terasa sempit bagiku, tidak sebagaimana yang telah aku ketahui.
Kami pun berada dalam keadaan demikian selama limapuluh malam. Adapun kedua temanku, keduanya berdiam diri dan duduk di rumah mereka sambil terus menangis. Sedangkan aku adalah orang yang paling muda dan paling gigih di antara mereka. Aku keluar menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berkeliling di pasar, pasar, namun tidak seorang pun menyapaku. Aku pun mendatangi Rasulullah dan mengucapkan salam kepada beliau, sementara beliau masih berada di tempat duduk beliau selepas mengerjakan shalat. Maka, aku bertanya dalam hati, “Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
25. Disunnahkan mengucapkan salam ketika berpisah dari majelis.
Sebagaimana disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majelis maka begitu pula disunnahkan mengucapkan salam ketika hendak meninggalkan majelis. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Jika seseorang mendatangi majelis maka hendaklah dia mengucapkan salam. Dan ketika ingin berdiri maka hendaklah dia pun mengucapkan salam. Dan salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang terakhir.