ADAB-ADAB KETIKA BERJUMPA (BAGIAN 3)

Iconic Leaning Tower of Pisa under a blue sky, a symbol of Italian architecture and history.

7. Apakah Seseorang Dibolehkan Mencium Seorang Lainnya Ketika Bertemu?

Bukan merupakan kebiasaan para salaf, baik para shahabat atau generasi setelah mereka, apabila sebagian di antara mereka bertemu dengan sebagian lainnya mereka saling berciuman sebagaimana yang terjadi di hari ini. Atsar-atsar yang menyebutkan tentang berciuman ketika bertemu tidak cukup kuat untuk membantah hadits yang sangat, jelas menerangkan larangan mencium ketika bertemu.

Syaikh al-Albani telah membantah hadits-hadits yang tidak kuat tersebut dari dua sisi, dan yang paling berfaidah dari keduanya bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang ma’IuI (memiliki cacat) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Yang kedua, sekiranyapun shahih, hadits-hadits tersebut tidak bisa dipertentangkan dengan hadits yang shahih.

Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata,

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا» . قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: «لَا» . قَالَ: فَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ إِنْ شَاءَ»

“Seseorang berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami bertemu dengan teman (sahabat)nya, apakah boleh ia mentahni’nya (yaitu memeluknya kanan dan kiri bergantian)?” Maka Rasulullah menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya, “Merangkul dan menciumnya?” Beliau menjawab, ‘Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Bolehkan ia menjabat tangannya?” Maka Rasulullah bersabda, “Ya, jika dia mau.”

Hadits di atas sangat jelas menunjukkan larangan tahni’ dan mencium ketika bertemu dalam pertemuan biasa. Akan tetapi, tidak berarti dilarang berdekapan kanan dan kiri ketika bertemu seseorang yang datang dari perjalanan atau lama tidak bertemu.

Yang kami jadikan dalil adalah perbuatan Jabir bin ‘Abdillah. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadits dari salah seorang shahabat Nabi.

فَابْتَعْتُ بَعِيرًا فَشَدَدْتُ إِلَيْهِ رَحْلِي شَهْرًا، حَتَّى قَدِمْتُ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ، فَبَعَثْتُ إِلَيْهِ أَنَّ جَابِرًا بِالْبَابِ، فَرَجَعَ الرَّسُولُ فَقَالَ: جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَخَرَجَ فَاعْتَنَقَنِي

Ia mengatakan: Maka aku segera membeli satu ekor unta, lalu aku melakukan perjalanan selama satu bulan hingga tiba di Syam, ternyata shahabat yang meriwayatkan tersebut adalah ‘Abdullah bin Unais. Lalu aku (Jabir) menyuruh seseorang menyampaikan bahwa Jabir berada di depan pintu. Lalu utusan tersebut kembali dan mengatakan, “Jabir bin Abdillah?” Aku berkata, “Benar.” Maka ia pun keluar lalu mendekapku kanan dan kiri.

قُلْتُ: حَدِيثٌ بَلَغَنِي لَمْ أَسْمَعْهُ، خَشِيتُ أَنْ أَمُوتَ أَوْ تَمُوتَ،

Aku berkata, “Karena sebuah hadits telah sampai kepadaku yang belum pernah aku dengar. Aku khawatir meninggal atau engkau yang meninggal.”

قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «يَحْشُرُ اللَّهُ الْعِبَادَ – أَوِ النَّاسَ – عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا» ، قُلْتُ: مَا بُهْمًا؟ قَالَ: ” لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ،

Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda, ”Seluruh hamba Allah akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan dan buhman. ‘Kami bertanya, ‘Apa itu buhman?’ Beliau bersabda, ‘Tidak memiliki sesuatu’.

فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ – أَحْسَبُهُ قَالَ: كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ -: أَنَا الْمَلِكُ، لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَأَحَدٌ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلَمَةٍ،

Lalu satu suara menyeru mereka suara yang bisa didengar oleh orang yang berada jauh -aku mengira beliau bersabda sebagaimana terdengar oleh orang yang dekat-, “Aku-lah al-Malik. Tidak sepatutnya seorang penghuni surga masuk ke dalam surga sementara seseorang dari penghuni neraka menuntut pembalasan kezhalimannya.

وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَدْخُلُ النَّارَ وَأَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلَمَةٍ

Dan, tidak sepatutnya seorang penghunii neraka masuk ke dalam neraka sementara seseorang dari penghuni surga menuntut pembalasan kezhalimannya.”

قُلْتُ: وَكَيْفَ؟ وَإِنَّمَا نَأْتِي اللَّهَ عُرَاةً بُهْمًا؟ قَالَ: «بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ»

Aku bertanya, “Lalu bagaimana? Dan sesungguhnya kita akan menjumpai Allah dalam keadaan telanjang dan tidak memiliki sesuatu pun? Beliau menjawab, “Dengan amal-amal kebaikan dan amaLamal keburukan.” Berkata syaikh Al-Albani: Hadits Hasan.

Faidah:

Ciuman seorang ayah terhadap anaknya merupakan bentuk kesempurnaan kasih sayang dan kecintaannya. Nabi pernah mencium anak-anak beliau, mencium al-Hasan dan al-Husain, dan Abu Bakar mencium anak perempuannya, ‘Aisyah, dan ini adalah kabar-kabar yang masyhur. Kemasyhurannya telah mencukupi bagi kita tentang takhrij silsilahnya hingga pada sumbernya.

Faidah lain:

Adapun mencium tangan, sebagian ulama membolehkannya, sesuai tatacara beragama.

وَقَالَ الْمَرُّوذِيُّ سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ قُبْلَةِ الْيَدِ فَقَالَ: إنْ كَانَ عَلَى طَرِيقِ التَّدَيُّنِ فَلَا بَأْسَ قَدْ قَبَّلَ أَبُو عُبَيْدَةَ يَدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – وَإِنْ كَانَ عَلَى طَرِيقِ الدُّنْيَا فَلَا، إلَّا رَجُلًا يُخَافُ سَيْفُهُ أَوْ سَوْطُهُ.

Al-Marruudzii berkata, “Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang mencium tangan, beliau menjawab, ‘Jika sesuai dengan tatacara beragama maka tidak mengapa. Abu Ubaidah pun pernah mencium ‘Umar bin al-Khaththab. Jika disesuaikan dengan tata cara keduniaan, maka ia tidak dibolehkan, kecuali seseorang yang takut akan pedang atau cambuknya.”

وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ رَأَيْت كَثِيرًا مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ وَالْمُحَدِّثِينَ وَبَنِي هَاشِمٍ وَقُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارَ يُقَبِّلُونَهُ يَعْنِي أَبَاهُ بَعْضُهُمْ يَدَيْهِ وَبَعْضُهُمْ رَأْسَهُ

Abdullah bin Ahmad berkata, “Aku melihat banyak dari kalangan ulama, ahli fiqih, ahli hadits, Bani Hasyim, Quraisy dan kaum Anshar, mereka menciumnya -yakni ayahnya- sebagian mencium tangannya dan sebagian lagi mencium kepalanya.”

Dan, sebagian ulama lain memakruhkan mencium tangan dan mereka menyebutnya as-Sajdah ash-Shughra (sujud kecil). Sulaiman bin Harb berkata, “Dia adalah as-Sajdah ash-Shughra. Adapun kebid’ahan yang masyarakat lakukan dengan mengulurkan tangannya kepada orang lain agar ia menciumnya dan meniatkan untuk hal seperti itu, maka perbuatan ini dilarang bagaimanapun kondisinya. Lain halnya jika yang mencium itu adalah orang yang baru pemula mengada-adakan hal tersebut.”

8. Haramnya Membungkuk dan Sujud di Saat Memberi Salam

Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata,

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا» . قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: «لَا» . قَالَ: فَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ إِنْ شَاءَ»

“Seseorang berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami bertemu dengan teman (sahabat)nya, apakah boleh ia mentahni’nya (yaitu memeluknya kanan dan kiri bergantian)?” Maka Rasulullah menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya, “Merangkul dan menciumnya?” Beliau menjawab, ‘Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Bolehkan ia menjabat tangannya?” Maka Rasulullah bersabda, “Ya, jika dia mau.”

Hadits ini sangat jelas menunjukkan pelarangan, dan tidak satu pun dalil yang memalingkannya. Dengan demikian hadits ini menunjukkan keharamannya. Tidak dibolehkan membungkuk kepada seorang makhluk pun selamanya, karena perbuatan tersebut tidak layak dilakukan kecuali kepada al-Khaliq, terlebih lagi dengan sujud.

lbnu Taimiyyah mengatakan, “Adapun membungkuk ketika memberi salam adalah perbuatan yang dilarang. Sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Nabi, bahwa mereka -para shahabat- bertanya kepada beliau tentang seseorang yang bertemu dengan saudaranya lalu ia membungkuk kepadanya. Beliau bersabda, “Tidak boleh.” Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah.

Adapun sujud, seorang yang berakal tidak boleh merasa ragu untuk menunjukkannya hanya kepada Mahdi, tidak kepada selain-Nya. Dan, dalam perbuatan ini terkandung makna ubudiyah (penghambaan), tidak seperti ketika membungkukkan badan. Karena, ketika membungkukkan badan, di dalamnya tidak terkandung posisi yang mencakup seluruh makna penghinaan diri, kerendahan, ketundukan dan ubudiyah sebagaimana yang terkandung dalam sujud.

Oleh karena itu diriwayatkan dalam hadits dari lbnu ‘Abbas, dari Rasulullah, Beliau bersabda:

وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فقمن أن يستجاب لكم

“Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa tersebut pantas (layak) dikabulkan untuk kalian.”

Sabda beliau, “Pantas (layak),” artinya sesuatu yang hakiki dan layak untuk mendapatkan pengabulan do’a. Karena, dalam sujud terkandung makna pengagungan yang apabila dipalingkan kepada selain Allah, maka ia merupakan perbuatan yang diharamkan.

Dan, dalil yang menunjukkannya, bahwa ketika Mu’adz tiba dari Syam, ia lantas melakukan sujud kepada Nabi. Maka, beliau bersabda, “Ada apa ini wahai Mu’adz?” Ia berkata, “Aku baru saja tiba dari Syam dan melihat mereka sujud kepada para uskup dan orang-orang terkemuka di antara mereka. Maka aku ingin melakukannya kepadamu.”

Maka Rasulullah bersabda:

فلا تفعلوا فإني لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لفير الله لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها ولذي نفس محمد بيده لا تؤدي المرأة حق ربها حتى تؤدي حق زوجها ولو سألها نفسها وهي على قتب لم تمنعه

“Janganlah kalian melakukannya. Sesungguhnya jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada selain Allah, niscaya aku akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita dapat menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Sekiranya suaminya meminta istrinya untuk melakukan hubungan suami istri sementara si istri sedang berada di atas pelana, maka ia tidak boleh menolaknya.”

Faidah yang terkandung dalam sujud:

Seorang muslim meletakkan wajahnya yang merupakan anggota badan yang paling mulia dan paling terpandang di atas tanah yang merupakan tempat kaki-kaki berlalu-lalang sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan kepada Allah dan bentuk ubudiyah kepada-Nya. Dan, seorang mukmin akan merasakan kelezatan di saat ia menundukkan hatinya kepada Allah ketika sujud, yang tidak akan ia rasakan di tempat lain. Maka, Mahasuci Allah yang orang-orang mengerjakan shalat bersujud kepada-Nya di atas tanah dan mensucikan-Nya dari kerendahan dengan ucapan mereka, “Subhaana Rabbiyal a’laa (Maha suci Rabb-ku Yang Mahatinggi).”

9. Berpelukan Ketika Menyambut Seseorang dari Safar (Bepergian)

Apabila salah seorang dari saudaranya baru pulang dari safar, maka dianjurkan bagi setiap Muslim untuk berpelukan ketika menyambutnya. Ini menunjukkan kuatnya perasaan cinta dan persahabatan di antara mereka. Demikianlah sunnah yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang mulia.

Ketika pergi ke Syam untuk mendengar hadits dari Abdulloh bin Unais, Jabir berkata: “…Lalu dia keluar menyambutku dan memelukku.”

Di dalam atsar disebutkan bahwasanya: “Apabila para Sahah Nabi bertemu, maka mereka saling berjabat tangan dan apabila mereka pulang dari safar, maka mereka saling berpelukan.”

Sikap seperti ini menunjukkan bagaimana ketulusan cinta dan kasip sayang mereka dengan sesama teman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top