ADAB-ADAB KETIKA BERJUMPA (BAGIAN 2)

Iconic Leaning Tower of Pisa, bathed in sunlight, surrounded by lush greenery.

­­­­­­­­­­­­­5. Berdiri untuk Mengucapkan Salam Kepada Seseorang yang Datang

Berdiri menyambut seseorang terbagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Berdiri untuk pemimpin yang merupakan perbuatan penguasa yang sombong.

Kedua: Berdiri kepada seseorang di saat ia datang menghampirinya. Dan, hal ini dibolehkan.

Ketiga: Berdiri ketika melihatnya, dan hukumnya masih diperselisihkan.

Adapun dalil bentuk pertama:

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdilla, ia berkata,

اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ (صلى الله عليه وسلم) فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا

“Rasulullah tengah menderita sakit, maka kami mengerjakan shalat di belakang beliau sementara beliau mengerjakannya sambil duduk. Dan, Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada para makrnum. Beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami yang sedang berdiri. Maka, beliau mengisyaratkan agar kami duduk, lalu kami pun duduk.

Maka kami mengerjakan shalat bersama beliau sambil duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda:

إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا؛ ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا

“Hampir saja tadi kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri atas raja-raja mereka, sementara raja-raja tersebut duduk. Maka, janganlah kalian melakukannya. Ikutilah Imam kalian, apabila ia melaksanakan shalat sambil berdiri maka shalatlah kalian sambil berdiri, dan apabila ia melaksanakan shalat sambil duduk, maka Sholatlah kalian sambil duduk.”

Berdiri dengan tujuan seperti ini adalah perbuatan terlarang tanpa diragukan lagi. Dan, hadits di atas dengan sangat jelasnya menunjukkan dilarangnya orang-orang berdiri menghormati para pembesar mereka, atau orang yang mereka agungkan. Dan, ini termasuk perbuatan para penguasa yang sombong.

Kecuali jika memang hal itu diperlukan; misalnya jika khawatir terhadap seseorang yang kemungkinan akan berbuat semena-mena kepadanya, maka ia boleh berdiri menghormatinya. Demikian pula jika seseorang berdiri untuk memuliakan orang lain di saat yang memang ditujukan untuk memuliakan orang tersebut.

Dan, dibolehkan juga jika ditujukan untuk merendahkan musuh, seperti yang terjadi dengan al-Mughirah bin Syu’bah dalam peristiwa perdamaian Hudaibiyah Ketika itu orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mengajak Nabi berunding dengan mereka. Al-Mughirah bin Syu’bah saat itu berdiri di dekat kepala Rasulullah dan di tangannya terhunus sebilah pedang sebagai ungkapan pengagungan terhadap Rasulullah dan penghinaan kepada utusan orang-orang kafir Quraisy tersebut. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.

Dalil bentuk kedua:

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa’nya tentang kisah masuk Islamnya Ikrimah bin Abi Jahl. Dalam hadits itu disebutkan,

فَأَسْلَمَ وَقَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَبَ عَلَيْهِ فَرَحًا، وَمَا عَلَيْهِ رِدَاءٌ حَتَّى بَايَعَهُ

“Lalu ia memeluk Islam dan mengunjungi Rasulullah pada tahun penaklukan kota Makkah. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau melompat ke arahnya karena gembira dan menanggalkan selendang beliau sehingga beliau pun membaiatnya.” (Al-hadits)”.

Telah dikemukakan juga kisah taubatnya Ka’ab yang di dalamnya disebutkan bahwa Thalhah berdiri menyambutnya untuk mengucapkan selamat. Ia mengatakan,

دَخَلْتُ المسْجِدَ، فَإذَا بِرَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم -، فَقَامَ إليَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيدِ الله يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني، وَهَنَّانِي.

“Aku masuk ke dalam masjid, ternyata Rasulullah berada di dalamnya. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berdiri menghampiriku sambil bergegas hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku.”

Dalil bentuk ketiga yang diperselisihkan oleh ulama, yaitu berdiri ketika melihat seseorang:

Disebutkan dalam hadits Abu Mijlaz, ia mengatakan bahwa suatu saat Mu’awiyah keluar sementara ‘Abdullah bin Amir dan ‘Abdullah bin az-Zubair sedang duduk. Lalu lbnu Amir berdiri sementara Ibnuz Zubair tetap duduk-dan ia termasuk orang yang paling tenang di antara keduanya-. Mu’awiyah berkata, Nabi bersabda:

من سره أن يمثل له عباد الله قياما فليتبوأ بيتا في النار

“Barangsiapa yang menyukai hamba-hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaklah ia menyiapkan rumahnya dari api neraka.”

Dan, dalam lafazh Abu Dawud disebutkan: Maka Mu’awiyah berkata kepada Amir, “Duduklah, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda:

من أحب أن يمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.”

Pemahaman para ulama terhadap hadits ini tebagi menjadi tiga pendapat: 

Pertama: Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan makruhnya berdiri kepada para penguasa sebagaimana yang dilakukan terhadap para penguasa Persia dan Romawi. Dan, mereka menyertakan hadits ini dan hadits riwayat Muslim yang menyebutkan makruhnya berdiri di atas kepala seseorang yang duduk sebagaimana yang dilakukan orang-orang ‘ajam kepada para pemimpin mereka.

Kedua: Ulama yang berdalil dengan hadits ini atas makruhnya seseorang berdiri untuk seorang yang datang. Dan, mereka berpendapat bahwa hadits ini adalah nash yang sangat jelas tentangnya. Mu’awiyah menyebutkan hadits ini ketika lbnu Amir berdiri untuk melihatnya.

Penyebutan hadits ini dalam kejadian tersebut merupakan indikasi kuat yang menjelaskan maksud hadits. Ditambah lagi, tidak adanya Pengingkaran lbnuz Zubair terhadap Mu’awiyah adalah bukti bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang juga beliau fahami.

Para ulama yang berpendapat seperti ini menyanggah ulama yang memahami hadits Mu’awiyah-bahwa maksud hadits tersebut adalah berdiri di atas seseorang yang sedang duduk-dengan beberapa sanggahan:

a. Karena, orang-orang Arab tidaklah mengenal hal ini (berdiri di atas seseorang yang sedang duduk) melainkan amalan tersebut adalah amalan orang-orang Persia dan Romawi.

b. Hal ini tidaklah dikategorikan berdiri untuk menyambutnya, melainkan berdiri untuk menghormatinya. Dan, jelas perbedaan antara berdiri menyambut seseorang yang terlarang dan berdiri menghormatinya yang merupakan bentuk tasyabbuh -penyerupaan- dengan perbuatan kaum Persia dan Romawi. Sedangkan berdiri menyambut kedatangan seseorang merupakan kebiasaan kaum Arab. Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim.

Ketiga: Ulama yang merincinya.

Mereka berpendapat, apabila berdiri tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengagungkan maka perbuatan tersebut adalah sesuatu yang makruh, namun jika dilakukan sebagai bentuk pemuliaan maka ia tidak dimakruhkan. Pendapat ini disebutkan oleh al-Ghazali dan dianggap sebagai pendapat yang bagus oleh lbnu Hajar.

Kesimpulan tentang masalah ini, lbnu Taimiyyah telah meringkasnya, beliau mengatakan,

لَمْ تَكُنْ عَادَةُ السَّلَفِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ: أَنْ يَعْتَادُوا الْقِيَامَ كُلَّمَا يَرَوْنَهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَمَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ

“Dan berdiri setiap kali melihat Nabi, seperti yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin (untuk pemimpin atau tokoh mereka) bukan merupakan kebiasaan ulama Salaf di zaman Nabi dan para Khulafa’ur Rasyidin.

بَلْ قَدْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لَهُ لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهَتِهِ

Bahkan, Anas bin Malik mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para shahabat selain Nabi. Dan, apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka tahu bahwa Nabi membencinya.”

Akan tetapi mereka terkadang berdiri menyambut seseorang yang datang setelah lama tidak berjumpa untuk menunjukkan sambutan kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berdiri untuk menyambut “Ikrimah. Dan, beliau bersabda kepada kaum Anshar ketika Sa’ad bin Mu’adz datang:

قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ

Berdirilah kalian untuk menyambut pemimpin kalian.

Dan, ketika itu ia baru kembali setelah memutuskan hukum bagi Bani Quraizhah yang mereka hanya mau menerima keputusannya.

Yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah berittiba’ (meneladani) para ulama salaf sebagai suatu kebiasaan, meneladani setiap apa yang mereka lakukan di zaman Rasululah, karena sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik masa, dan sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Maka, seseorang tidak boleh berpaling dari petunjuk sebaik-baik manusia dan berpaling dari petunjuk sebaik-baik masa kepada petunjuk selainnya.

Dan, seharusnya juga seseorang yang ditaati tidak membenarkan apa yang dilakukan oleh para pengikutnya. Yaitu ketika mereka melihatnya, hendaklah mereka tidak berdiri menyambutnya kecuali pada pertemuan yang biasa. Adapun berdiri menyambut seseorang yang baru datang dari bepergian dan yang semisal dengannya sebagai ungkapan selamat datang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang baik.

Dan, jika kebiasaan kaum muslimin adalah memuliakan seseorang yang datang dengan berdiri, yang seandainya kebiasaan ini ditinggalkan maka akan diyakini bahwa hal itu meninggalkan haknya atau ingin merendahkannya, dan ia tidak mengetahui kebiasaan yang sesuai dengan Sunnah, maka yang lebih baik adalah ikut berdiri menyambutnya. Dikarenakan dengan hal ini akan terjalin hubungan baik antara keduanya serta menghilangkan kebencian dan ketidak senangan. Adapun jika kebiasaan suatu kaum sesuai dengan Sunnah, maka meninggalkan hal itu bukan merupakan sesuatu yang menyakitinya.”

Ibnu Hajar mengatakan,

وَفِي الْجُمْلَةِ مَتَى صَارَ تَرْكُ الْقِيَامِ يُشْعِرُ بِالِاسْتِهَانَةِ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مَفْسَدَةٌ امْتَنَعَ وَإِلَى ذَلِكَ أَشَارَ بن عبد السَّلَام

“Kesimpulannya, di saat meninggalkan berdiri dianggap sebagai suatu penghinaan atau akan menimbulkan keburukan bagi dirinya maka janganlah ia melakukannya. Dan pendapat inilah yang tersirat dari pernyataan lbnu Abdis Salam.”

6. Menghindari Hal-Hal yang Diharamkan Syariat

Hendaknya menghindari perkara-perkara yang larangannya tercantum dalam hadits, antara lain:

a. Membungkukkan badan

Ketika seseorang bertemu dengan yang lain, tidak diperbolehkan salah seorang dari mereka membungkukkan badan kepada yang lain karena ini merupakan sikap orang-orang non-Muslim. Namun, sangat disayangkan sebagian besar atlet melakukan hal ini walaupun hal itu terlarang menurut syariat.

Seseorang pernah bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami boleh membungkukkan badan apabila bertemu dengan saudara atau temannya?” Beliau menjawab: “Tidak.”

Orang itu bertanya lagi: “Lantas, apakah ia boleh menunduk dan menciumnya?” Beliau menjawab: “Tidak.” Ia pun bertanya lagi: “Lalu, apakah ia boleh menjabat tangannya?” Beliau menjawab: “Ya.”

Dengan adanya hadits ini, maka tidak ada lagi alasan bagi orang yang ingin menyelisihi sunnah ini, walhamdulillah.

b. Mencium

Sebagian orang saling memberikan ciuman tatkala bertemu dengar pudaranya walaupun dia telah bertemu beberapa kali dalam sehari, ini bertentangan dengan sunnah, yakni hadits yang telah kita sebutkan, dan bertentangan dengan perbuatan para Sahabat Nabi.

c. Memulai ucapan salam kepada orang non-Muslim

Seorang Muslim terlarang mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim. Nabi melarang hal ini dalam sabdanya: “Janganlah kalian mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam memberikan salam. Apabila kalian bertemu salah seorang dari mereka, maka desaklah ia ke jalan yang paling sempit.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top