ADAB-ADAB KETIKA BERJUMPA (BAGIAN 1)

Open spiral notebook with lined pages, perfect for notes and planning.

Rasulullah bersabda:

تَصَافَحُوا يَذْهَبُ الْغِلُّ وَتَهَادُوا تَحَابُّوا وَتَذْهَبُ الشَّحْنَاءُ

“Hendaklah kalian saling berjabat tangan, dengan begitu akan menghilangkan kebencian, dan hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan perasaan dendam.”

Dan Beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim yang saling berjumpa, kemudian keduanya saling berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.”

Bertemu teman-teman, sahabat tercinta, atau tetangga merupakan hal yang disenangi oleh seorang manusia. Pertemuan tersebut dapat menghadirkan kegembiraan dan suka cita dalam hati. Namun, perlu diperhatikan beberapa adab ketika bertemu orang lain, di antaranya:

1. Disunnahkan Saling Berjabat Tangan

Beberapa atsar telah menyebutkan bahwa dengan berjabat tangan akan menghilangkan kebencian dan menjadi sebab diampuninya dosa. Dan, berjabat tangan adalah amalan yang dianjurkan oleh Nabi serta amalan yang telah dicontohkan oleh para shahabat beliau.

قَالَ قَتَادَةُ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ نَعَمْ

“Qatadah mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Anas, Apakah saling berjabat tangan sudah menjadi amalan di kalangan para shahabat Nabi Beliau menjawab, ‘Ya’.”

دَخَلْتُ المسْجِدَ، فَإذَا بِرَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم -، فَقَامَ إليَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيدِ الله يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني، وَهَنَّانِي.

Disebutkan pula dalam kisah penerimaan taubat dari Allah untuk Ka’ab, bahwa dia berkata, “Aku masuk ke dalam masjid, ternyata Rasulullah berada di dalamnya. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berdiri menghampiriku sambil bergegas hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku.”

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ قَالَ النَّبِيُّ صَلى الله عَلَيهِ وسَلم: قَدْ أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوبًا مِنْكُمْ، فَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ.

Dan, disebutkan dalam hadits Anas, ketika penduduk Yaman datang, Nabi bersabda, “Penduduk Yaman telah datang dan mereka adalah orang-orang yang lebih lembut hatinya dibanding kalian. Dan merekalah yang pertama kali datang dengan menjabat tangan.”

عن البراء بن عازب رضي الله عنه قَالَ: مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ أَخَاكَ.

Juga dari hadits al-Bara’ bin ‘Azib, dia mengatakan, “Di antara kesempurnaan ucapan salam adalah dengan menjabat tangan saudaramu.”

Berjabat tangan disunnahkan ketika bertemu dan menegaskan ucapan salam. Disebutkan dalam al-Adabul Mufrad,

واعلمْ: أنّ التّصافح عند الملاقاة للتّأنيس، وتوكيد للتسليم القولي؛ فإنّ التسليم إيذان بالأمن قولاً، والتصافح نحو بيْعةٍ وتلقينٌ على ذلك، وتوكيد لما تلفّظاه بالتسليم، ليكون كلٌّ من المتلاقِيَيْن على أمْن من صاحبه

“Ketahuilah bahwa berjabat tangan ketika bertemu merupakan pesatuan dan penegas ucapan salam dari lisan. Karena, ucapan salam adalah pemberitahuan keamanan dari ucapan, sementara berjabat tangan laksana penyetujuan, pengulangan dan penegasan salam yang diucapkannya. Dengan demikian, kedua orang yang saling bertemu merasa dalam keadaan aman dari temannya masing-masing.”

Setelah mencantumkan beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya berjabat tangan dan anjuran terhadapnya, maka kita tidak berfikiran ada seorang muslim yang masih bakhil (kikir) terhadap dirinya sendiri untuk mendapatkan kebaikan atau terdorong untuk melakukan amalan Sunnah!

Masalah: Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin untuk menjabat tangan imam shalat mereka atau jama’ah yang berada di samping mereka selepas melaksanakan shalat-shalat wajib. Apakah hal ini disyari’atkan?

Jawab: Berjabat tangan selepas mengerjakan shalat-shalat wajib bukan termasuk amalan yang disyari’atkan dan sama sekali tidak pernah terjadi di zaman Nabi, Khulafa’ur Rasyidin dan tidak juga di zaman para shahabat beliau yang mulia. Dan, mengamalkannya termasuk mengada-ada dalam islam yang tidak dibolehkan oleh Allah.

Fadhlullah al-Jailani mengatakan, Ibnu ‘Abidin berkata,

إن المواظبة عليها بعد الصلوات الخمس خاصة قد تؤدي بالجهلة إلى اعتقاد سنيتها في خصوص هذا المواضع، وأن لها خصوصية زائدة على غيرها، مع أن ظاهر كلامه أنه لم يفعلها أحد من السلف في هذه المواضع

“Seringnya melakukan perbuatan tersebut (berjabat tangan) secara khusus setelah melaksanakan shalat-shalat wajib akan menyampaikan seseorang kepada keyakinan bahwa perbuatan tersebut disunnahkan (disebabkan karena kebodohannya terhadap agama), padahal amalan tersebut adalah tambahan yang khusus atas selainnya. Dari perkataannya nampak jelas bahwa hal itu tidak dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf.

وفي الملتقط: تكره المصافحة بعد أداء الصلاة بكل حال، لأن الصحابة -رضي الله عنهم- لم يفعلوا ذلك، ولأنها من سنن الروافض ا. هـ

Dan, dalam kitab al-Multaqath disebutkan: Dimakruhkan berjabat tangan setelah mengerjakan shalat dalam setiap keadaan, karena para shahabat tidak melakukannya, bahkan hal itu merupakan perbuatan orang-orang Rafidhah.

عن الشافعية أنها بدعة: لا أصل لها في الشرع، وأنه ينهى فاعلها أولاً ويعزر ثانياً.

Dan, para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa berjabat tangan setelah mengerjakan shalat adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at dan pelakunya pertama kali dilarang lalu setelah itu ia ditegur dengan keras.

وفي المدخل: أنها من البدع، وموضع المصافحة في الشرع هو إنما عند لقاء المسلم لأخيه، لا في أدبار الصلوات، فحيث يضعها الشرع يضعها. فينهى عن ذلك ويزجر فاعله لما أتى به من خلاف السنة ا. هـ

Di dalam kitab aI-Madkhal disebutkan bahwa berjabat tangan setelah shalat adalah perbuatan bid’ah. Dan, tempat yang dibenarkan oleh syari’at untuk berjabat tangan adalah ketika seorang muslim bertemu dengan saudaranya, bukan setiap kali seusai mengerjakan shalat. Maka, di mana syari’at menempatkan amalan berjabat tangan, di situlah seharusnya ditempatkan. Perbuatan itu seharusnya dilarang dan pelakunya mendapat teguran karena telah melakukan amalan yang menyelisihi Sunnah.”

Lajnah Da’imah didalam salah satu tawanya menyatakan: Apabila seseorang tidak memiliki kesempatan berjabat tangan dengan orang lain sebelum mengerjakan shalat, lalu ia ingin menjabat tangannya setelah salam, baik setelah shalat wajib atau sunnah, baik berada di kanan atau kirinya akan tetapi jika dilakukan setelah mengerjakan shalat wajib, maka hendaklah ia melakukannya setelah membaca dzikir-dzikir yang disyari’atkan setelah shalat. Adapun salam makmum kepada imam setelah shalat, kami tidak mengetahui adanya nash (dalil) khusus yang menerangkannya.”

Faidah:

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad dari Salamah bin Wardan, dia mengatakan,

رأيت أنس ابن مالك -رضي الله عنه- يسلم على الناس، فسألني من أنت؟ فقلت: مولى لبني ليث، فمسح على رأسي ثلاثاً وقال: (بارك الله فيه)

“Aku telah melihat Anas bin Malik mengucapkan salam kepada kaum muslimin, lalu ia bertanya kepadaku, Siapa engkau?” Aku menjawab, “Maula Bani Laits.” Lalu ia mengusap kepalaku seraya mengatakan, Baarakallaahu fiik (mudah mudahan Allah memberkahimu).”

Beberapa atsar di atas menunjukkan disunnahkannya mengucapkan salam kepada anak-anak dan menjabat tangan mereka di mana hal tersebut menunjukkan kasih sayang dan perhatian terhadap mereka, serta membiasakan mereka dengan perbuatan baik. Dan, mengusap kepala anak kecil seperti yang dilakukan oleh Anas menunjukkan kecintaan dan kasih sayangnya terhadap anak-anak.

2. Diharamkan Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram

Diharamkannya hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih beliau, dari ‘Aisyah-Ummul Mukminin dan dari ayahnya-tentang pembaiatan wanita-wanita Muhajirin, ia berkata,

فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ: «انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ» وَلَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ، غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالْكَلَامِ؛

“Dan Rasulullah, di saat mereka-wanita-wanita tersebut-membenarkan hal itu dengan perkataan mereka, Rasulullah bersabda kepada mereka, “Kembalilah kalian semua, sesungguhnya aku telah membaiat kalian”. Dan demi Allah, sekali-kali tidaklah tangan Rasulullah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat mereka dengan Ucapan.

قَالَتْ عَائِشَةُ: وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ، إِلَّا بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ «قَدْ بَايَعْتُكُنَّ كَلَامًا»

Aisyah berkata: “Demi Allah, Rasulullah tidak berbuat terhadap para wanita kecuali apa yang Allah perintahkan. Di saat membaiat mereka beliau hanya mengucapkan, Aku telah membaiat kalian, dengan sekali ucapan.”

Perkataan beliau, “Aku telah membaiat kalian,” dengan sekali ucapan,” yaitu beliau mengucapkan kalimat itu sekali, tidak dengan menjabat tangan, sebagaimana kebiasaan beliau ketika membaiat kaum laki-laki sambil menjabat tangan mereka. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.

Dan, hadits Umaimah binti Raqiqah menguatkan hal tersebut. Di dalamnya disebutkan dengan jelas bahwa beliau menolak untuk menjabat tangan wanita. Yaitu ketika beliau membaiat kaum wanita, kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kita dibanding dirikita sendiri. Mari, kami hendak membaiatmu wahai Rasulullah.”

Maka Rasulullah bersabda:

إني لا أصافح النساء إنما قولي لمائة امرأة كقولي لامرأة واحدة أو مثل قولي لامرأة واحدة

“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya perkataanku kepada seratus wanita sama dengan perkataanku kepada seorang wanita, atau seperti ucapanku kepada salah seorang wanita.”

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sabda beliau, ‘Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita menunjukkan bahwa beliau tidak membolehkan seorang laki-laki menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya, tidak menyentuh wanita tersebut dengan tangannya dan tidak pula menjabat tangannya.

Faidah:

Sebagian kaum muslimin meyakini tentang dibolehkannya menjabat tangan wanita yang bukan mahram dari balik penghalang atau semisalnya. ini adalah keyakinan yang keliru. Menjabat tangan wanita yang bukan mahram tidak dibolehkan secara mutlak.

Memang benar, ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari Nabi: bahwa beliau telah membaiat kaum wanita dari balik pakaian beliau. Akan tetapi, semua riwayat tersebut adalah mursal yang sebagiannya tidak bisa menguatkan sebagian lainnya untuk menolak hadits-hadits shahih yang dengan jelas menerangkan penolakan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.

Syaikh al-Albani mengatakan, “Dan hal itu telah disebutkan dalam beberapa riwayat lainnya, akan tetapi semuanya mursal. Al-Hafizh telah menyebutkanya dalam al-Fat-h (VIII/488). Dan, tidak satu pun dari riwayat tersebut yang bisa dijadikan sandaran, terlebih setelah menyelisihi riwayat yang lebih shahih ….”

3. Disunnahkan Tidak Melepas Tangan Ketika Berjabat Tangan Hingga Orang yang Dijabattangani Melepas Tangannya Telebih Dahulu

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَقْبَلَهُ الرَّجُلُ فَصَافَحَهُ لَا يَنْزِعُ يَدَهُ مِنْ يَدِهِ حَتَّى يَكُونَ الرَّجُلُ يَنْزِعُ…(الحديث)

“Apabila Nabi bertemu dengan seseorang, beliau akan menjabat tangannya dan tidak melepas tangan beliau hingga orang tersebut yang pertama kali melepas tangannya …” (Al-hadits).

Hadits tersebut menunjukkan disukainya berjabat tangan dan melamakannya dalam menggenggam tangan orang yang dijabati, namun tidak sampai memberatkan.

Masalah: Seandainya dua orang saling berjabat tangan dan keduanya melamakannya, maka siapa yang lebih dahulu melepaskan tangannya?

Jawab: Syaikh Taqiyyuddin mengatakan, “Jika ia telah memperkirakan bahwa yang lainnya akan melepas genggamannya maka ia tetap menggenggam. Dan, jika tidak maka sekiranya masing-masing dari keduanya lebih menyenangi untuk saling menggenggam tangan, maka mereka bisa terus bergenggaman tangan. Akan tetapi, ulasan ‘Abdul Qadir adalah ulasan yang baik,” bahwa yang lebih dahulu melepas genggaman adalah yang memulai pertama kali.”

4. Tersenyum dan Menunjukkan Wajah Ceria Ketika Bertemu

Barang siapa bertemu dengan saudaranya seagama, atau kerabatnya, atau tetangganya di suatu tempat, hendaklah ia menemuinya dengan wajah tersenyum dan berseri-seri, hal ini untuk memberikan pengaruh ke lubuk hati sehingga dapat menumbuhkan rasa cinta, mempererat Ikatan, dan memperdalam kasih sayang.

Dengan demikian, perbuatan ini dapat mempererat hubungan persaudaraan antar individu di tengah masyarakat. Ini merupakan perkara yang sangat diperintahkan oleh agama Islam. Jadi, tersenyum dan menunjukkan wajah yang berseri-seri tidak boleh dianggap remeh karena yang demikian termasuk sedekah dan amal baik seseorang.

Oleh karena itu, Rasulullah memberikan petunjuk dan bersabda:

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyum yang engkau berikan di hadapan saudaramu adalah sedekah darimu.”

Beliau juga bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah engkau menganggap remeh suatu kebaikan sekecil apa pun walaupun dengan hanya sekadar bermanis muka ketika engkau bertemu saudaramu.”

Adapun bertemu dengan wajah yang masam atau merengut akan menimbulkan efek negatif yang menghilangkan perasaan suka dan membuka peluang bagi syaitan untuk merusak hubungan antar sesama Muslim. Berwajah masam dapat membuat hubungan persaudaraan sesama Muslim terputus. Bahkan, tanpa diragukan lagi perkara negatif tersebut akan timbul dan demikianlah realitanya. Allahul musta’an.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top