A. Pembatal-pembatal puasa
Pertama: Makan dan Minum
Allah ta’ala berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kedua: Berhubungan Suami Istri
Allah ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Sahabat yang Mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata,
“Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bersabda: Ada apa denganmu? Dia berkata: Aku menggauli istriku padahal aku sedang berpuasa (Ramadhan).
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak untuk dibebaskan? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan makanan untuk 60 orang miskin? Dia berkata: Tidak. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diam beberapa saat,
فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالعَرَقُ المِكْتَلُ – قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ»
dalam keadaan demikian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diberikan satu bejana kurma –satu miktal; yang dapat menampung 15 sho’- lalu beliau bersabda: Mana orang yang bertanya? Dia berkata: Aku. Beliau bersabda: Ambillah kurma ini dan sedekahkan.
فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
Dia berkata: Apakah diberikan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada satu keluarga di daerah antara dua batu hitam tersebut yang lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi beliau, kemudian beliau bersabda: Beri makanlah kurma itu kepada keluargamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
ولم يختلف أهل العلم أنّ الله عزّ وجلّ حرّم على الصائم في نهار الصوم الرفث: وهو الجماع والأكل والشرب
“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan melakukan ar-rafats, yaitu berjima’, demikian pula Allah mengharamkan makan dan minum.” [Al-Ijma’, hal. 59]
Ketiga: Berniat Membatalkan Puasa
Barangsiapa berniat berbuka puasa atau menghentikan puasanya di siang hari maka puasanya batal, walau ia tidak makan dan minum atau berhubungan suami istri, karena ibadah bergantung kepada niat, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ، وَإِلَى رَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ، وَإِلَى رَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Keempat: Haid dan Nifas
Ulama sepakat bahwa keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa, sama saja apakah di awal hari atau pertengahan, walau hanya beberapa detik sebelum masuk waktu Maghrib. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أليس إذا حاضت لم تصلّ ولم تصم
“Bukankah wanita apabila haid tidak boleh puasa dan sholat.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]
Apabila seorang wanita merasa sakit perut pertanda akan keluar darah haid namun darahnya tidak keluar kecuali setelah tenggelam matahari maka puasanya di hari itu sah. (Lihat Majaalis Syahri Ramadhan, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 164 dan Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/192, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 199)
Kelima: Murtad
Ulama seluruhnya sepakat bahwa murtad dari Islam membatalkan puasa bahkan menghapus seluruh amalan dan menghalangi diterimanya amalan yang akan dikerjakan –kita berlindung kepada Allah dari kemurtadan (kekafiran dan kesyirikan)-. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]
Dan wajib mendakwahi orang yang murtad untuk kembali masuk Islam, apabila tidak mau maka wajib bagi negara untuk memberi hukuman, dan ini tugas khusus negara, tidak boleh dilakukan masyarakat. Apabila ia kembali masuk Islam di siang hari maka hendaklah ia memulai puasa pada saat itu juga sampai terbenam matahari, puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho’, ini pendapat yang terkuat insya Allah dari dua pendapat ulama. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/76, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 83)
Lihat keterangan lebih detail dalam pembahasan Syarat-syarat Wajibnya Puasa yang telah berlalu.
B. Syarat-syarat Batalnya Puasa
Semua pembatal puasa di atas selain haid dan nifas tidaklah membatalkan puasa seseorang kecuali dengan tiga syarat:
Syarat Pertama: Memiliki Ilmu tentang Dua Perkara
Pertama: Ilmu tentang hukumnya, yaitu mengetahui bahwa makan, minum dan berjima’ misalkan membatalkan puasa, siapa yang belum mengetahuinya maka tidak batal puasanya apabila ia makan, minum dan berjima’.
Dan apabila ia sudah mengetahui bahwa berjima’ membatalkan puasa walau ia belum mengetahui kaffaroh-nya maka puasanya batal, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim tentang kisah orang yang berhubungan suami istri ketika sedang berpuasa Ramadhan.
Kedua: Ilmu tentang waktu berbuka puasa, apabila seseorang meyakini bahwa waktu berbuka telah masuk kemudian menjadi jelas baginya setelah itu ternyata belum masuk waktu berbuka maka puasanya tidak batal, hendaklah ia meneruskan puasanya.
Tetapi apabila ia masih ragu akan masuknya waktu berbuka, kemudian ia berbuka maka batal puasanya, karena hukum asalnya adalah tetapnya siang, tidak boleh dihukumi malam sampai yakin atau dengan persangkaan yang kuat.
Orang yang tidak tahu ilmunya adalah orang yang tersalah tanpa sengaja, maka ia dimaafkan.
Syarat Kedua: Melakukannya dalam Keadaan Ingat Sedang Puasa
Adapun orang yang lupa maka puasanya tidak batal. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa lupa ketika berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya (sebab puasanya tidak batal), karena hakikatnya Allah yang memberi makan dan minum kepadanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Demikian pula orang yang melakukannya tanpa sengaja, seperti orang yang berkumur-kumur atau menghirup air ke hidung ketika berwudhu dan tanpa sengaja tertelan, atau kemasukan debu dan lalat di mulut dan masuk ke kerongkongan, maka puasanya tidak batal.
Termasuk orang yang berhubungan suami istri karena lupa sedang puasa juga tidak batal menurut pedapat terkuat insya Allah.
Akan tetapi apabila ia ingat atau diingatkan maka wajib baginya segera berhenti melakukannya, apabila misalkan masih ada makanan atau minuman di mulutnya wajib segera dikeluarkan, tidak boleh ditelan, demikian pula ketika sedang berhubungan suami istri maka wajib segera dihentikan.
Syarat Ketiga: Tidak Dipaksa Melakukannya
Orang yang dipaksa melakukan pembatal puasa maka puasanya tidak batal, bahkan melakukan kekafiran sekali pun, apabila karena dipaksa, maka tidak batal Islamnya dan tidak pula berdosa.
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” [An-Nahl: 106]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إنّ الله تجاوز لي عن أمّتي الخطأ والنسيان وماستكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa umatku yang dilakukan karena tersalah, lupa dan terpaksa.” [HR. Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1731]
Apabila misalkan seorang istri dipaksa suaminya untuk berhubungan badan maka puasanya tidak batal, namun apabila ia melakukannya tanpa dipaksa maka puasanya batal dan wajib atasnya kaffaroh.
Ringkasan Pembahasan
Pembatal puasa makan dan minum, dan beberapa pembatal puasa kontemporer terbagi menjadi tiga permasalahan:
Pertama: Pembatal Puasa Makan dan Minum yang Disepakati Ulama
1) Makan makanan yang menguatkan tubuh.
2) Minum minuman yang menguatkan tubuh.
Kedua: Pembatal Puasa Makan dan Minum yang Diperselisihkan Ulama dan Terdapat Dalil Tegas yang Memutuskan
1) Makan makanan atau minum minuman yang tidak menguatkan tubuh, sama saja apakah bermanfaat atau membahayakan tubuh, ataupun tidak bermanfaat dan tidak pula berbahaya, maka pendapat yang benar insya Allah adalah membatalkan puasa karena keumuman dalil, tidak memberikan pengecualiaan.
2) Memasukkan makanan dan minuman dengan sengaja melalui hidung (termasuk obat tetes hidung) yang sampai ke perut, pendapat yang benar insya Allah adalah membatalkan puasa berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah radhiyallahu’anhu di atas.
Ketiga: Pembatal Puasa Makan dan Minum, dan Beberapa Pembatal Puasa Kontemporer yang Diperselisihkan Ulama dan Tidak Terdapat Dalil Tegas yang Memutuskan
1) Memakai celak mata.
2) Tetes mata.
3) Tetes telinga.
4) Menggunakan inhaler, menghirup aroma terapi, menghirup gas obat bius, mencium bau dan yang semisalnya.
5) Menggosok gigi dengan pasta gigi (odol), obat kumur, obat yang diletakkan di mulut namun tidak ditelan dan yang semisalnya.
6) Memakai minyak gosok atau koyo yang menyerap ke dalam tubuh.
7) Infus yang menguatkan tubuh.
8) Infus yang tidak menguatkan tubuh.
9) Suntikan yang menguatkan tubuh.
10) Suntikan yang tidak menguatkan tubuh.
11) Memasukkan sesuatu melalui saluran kencing.
12) Memasukkan sesuatu ke perut melalui kemaluan depan.
13) Memasukkan sesuatu ke perut melalui anus, seperti obat untuk menurunkan panas, obat untuk melancarkan BAB dan yang semisalnya.
14) Memasukkan alat melalui mulut untuk meneropong isi perut atau menarik sesuatu dari perut.
15) Memasukkan sesuatu ke perut melalui luka robek di perut.
Ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam masalah-masalah di atas, apakah membatalkan puasa atau tidak, pendapat yang kuat insya Allah adalah semuanya tidak membatalkan puasa, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas) yang menunjukkan hal tersebut, dan hukum asalnya segala sesuatu tidak membatalkan puasa sampai ada dalil yang menunjukkannya.
Pengecualian
1) Memasukkan alat untuk meneropong isi perut atau menarik sesuatu dari perut tidak membatalkan puasa kecuali jika di alat tersebut terdapat minyak atau cairan yang kemudian masuk ke perut maka puasanya batal. [Asy-Syarhul Mumti’, 6/371]
2) Memasukkan sesuatu ke perut melalui luka robek di perut tidak membatalkan puasa kecuali apabila fungsi luka robek itu telah menggantikan mulut untuk memasukkan makanan dan minuman maka puasanya batal. [Asy-Syarhul Mumti’, 6/371]