SHALAT DHUHA DAN SHALAT ISYRAQ

Breathtaking view of snow-capped mountains through evergreen trees in Malam Jabba.

1. SHALAT DHUHA

a. Definisi Shalat Dhuha

Secara Bahasa: Dhuha artinya adalah terangkatnya matahari dipermulaan siang.

Adapun menurut istilah ulama fiqih: Shalat yang dikerjakan di antara waktu terbitnya hingga tergelincirnya matahari (yaitu antara 15 menit setelah terbit matahari hingga sekitar 10 menit sebelum adzan Zhuhur).

b. Nama-Nama Shalat Dhuha

1) Shalat Dhuha.

Berdasarkan wasiat Nabi kepada Abu Hurairah, ia berkata:

أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ: صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku —yaitu Nabi mewasiatkan tiga hal kepadaku: 1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2) melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat, dan 3) berwitir sebelum tidur.” HR. Bukhari 3/41 no. 1.981

2) Shalat Awwabin.

Berdasarkan hadits:

صَلَاةِ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat awwabin yaitu dilaksanakan ketika anak unta merasakan panasnya terik matahari.” HR. Muslim 1/515 no. 748.

3) Shalat Isyraq menurut istilah sebagian ulama ahlu fiqih.

4) Shalat Abror.

Berdasarkan hadits Anas, bahwasanya Rasulullah bersabda:

صَلِّ صَلَاةَ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةٌ الْأَبْرَارِ، وَسَلِّمْ إِذَا دَخَلْتَ بَيْتَكَ يَكْثُرْ خَيْرُ بَيْتِكَ

“Shalatlah dhuha, sesungguhnya ia adalah shalat abror (orang-orang yang baik), dan ucapkanlah salam jika engkau memasuki rumahmu, maka akan banyak kebaikan rumahmu.”  Hilyatul Awliya 8/38.

c. Keutamaan Shalat Dhuha

Keutamaan shalat Dhuha sangat banyak, di antaranya adalah:

1) Hadits Abu Dzar, Rasulullah bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Pada pagi hari, seluruh persendian kalian ada tanggungan sedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) adalah sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga sedekah. Begitu pula amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada ketaatan dan melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Semua ini bisa tercukupi (diganti) dengan melaksanakan Shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.”  HR. Muslim no. 720.

2) Hadits Abu Buraidah, yang menjelaskan bahwa setiap orang memiliki 360 persendian, Rasulullah bersabda:

فِي الْإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلَاثُ مِائَةِ مَفْصِلٍ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً. قَالُوا: فَمَنِ الَّذِي يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا، أَوِ الشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ، فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ

“Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun bertanya: Lalu siapa yang mampu melakukannya (bersedekah untuk seluruh persendiannya) wahai Rasulullah? Nabi mengatakan: “Dengan menghilangkan bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan Shalat Dhuha dua rakaat.”  HR. Ahmad dalam Musnadnya 38/104 no. 22.998 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Kitab al-irwa’ Al-Ghalil 2/213.

3) Hadits Nu’aim Ibnu Hammar Al-Ghothofany, yaitu hadits qudsi bahwa Allah berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ لَا تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, janganlah engkau malas untuk mengerjakan empat rakaat shalat di awal siang (di waktu Dhuha), karena Aku akan mencukupimu di akhir siang.”  HR. Ahmad 37/137 no. 22.469, dan hadits ini shahih dan dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth.

4) Bahkan ini merupakan salah satu wasiat Rasulullah kepada Abu Hurairah yang sudah disebutkan di atas.

d. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari terbit setinggi tombak (waktu shalat Isyraq) hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat dari puncaknya).

Dalil awal waktunya adalah:

1) Hadits Nuaim Ibn Hammar Al-Ghothofany di atas:

لَا تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Janganlah engkau lemah dari melaksanakan empat rakaat shalat di awal siang, Maka aku akan mencukupimu di akhir siang” HR. Ahmad 37/137 no. 22.469, dan hadits ini dishahinkan oleh Syu’aib al-Arnauth.

2) Hadits Amr bin Abasah, Nabi bersabda:

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

“Kerjakan shalat shubuh, kemudian tinggalkan shalat hingga matahari terbit dan sampai matahari meninggi. Karena ketika matahari terbit, ia terbit di antara dua tanduk setan, saat itu orang-orang kafir sedang bersujud.”  HR. Muslim 1/569 no. 832.

Imam An-Nawawi menerangkan: “Dan waktu shalat Dhuha apabila matahari terbit sampai tergelincir.” 

Syaikh Utsaimin menjelaskan: “Waktu shalat Dhuha yaitu dari terangkatnya matahari setinggi tombak, yaitu sekitar ¼ atau 1/3 jam setelah terbitnya matahari, sampai mendekati zawal (tergelincirnya matahari), dan ukuran sebelum zawal adalah sekitar 10 sampai 5 menit saja.”

Waktu yang paling utama untuk melaksanakannya adalah ketika kerikil mulai panas, yaitu untuk wilayah standar di Indonesia sekitar jam 10.

Dalilnya adalah:

صَلَاةِ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat awwabin yaitu ketika anak unta merasakan terik matahari.” HR. Muslim 1/515 no. 748.

Ibnul Jauzi, menjelaskan arti hadits ini: “Al-Awwab adalah yang kembali, seakan-akan ia berdosa kemudian bertaubat. Fishol atau fushlan adalah unta-unta yang kecil, dan bentuk mufrod-nya disebut fashiil. Arti dari tarmadhu adalah anak-anak unta tersebut terkena panasnya kerikil. Yaitu kerikil yang panas karena terik matahari, kemudian unta menderum disebabkan panas yang mengenai sepatu kakinya. Dan maknanya secara keseluruhan: shalat awwabiin adalah ketika mulai teriknya matahari, ini mengisyaratkan kepada shalat Dhuha dan itu adalah waktu yang paling utama.”

e. Jumlah rakaat

Para ulama sepakat bahwa minimal rakaat shalat Dhuha adalah dua rakaat.

Adapun batasan maksimalnya: ada perbedaan di antara ulama.

1) Ada yang mengatakan paling banyak adalah 8 rakaat (pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah)

2) Ada yang mengatakan yang paling banyak 12 rakaat (pendapat Hanafiyah).

Namun yang lebih kuat adalah bahwa shalat Dhuha tidak ada batasan tertentu, hal ini berdasarkan riwayat dari Mu’adzah ketika bertanya kepada ‘Aisyah:

كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Berapa rakaat shalat Dhuha yang Rasulullah kerjakan? Beliaupun menjawab: 4 rakaat, dan menambah sesuai apa yang Allah kehendaki.” HR. Ahmad no. 24.638, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhori dan Muslim.

f. Permasalahan seputar shalat Dhuha

1) Hukum merutinkan shalat Dhuha secara terus menerus

Apabila kita melihat keutamaannya yang sangat banyak, maka sangat dianjurkan untuk melakukannya setiap hari, terutama Nabi mewasiatkan kepada Abu Hurairah dengannya.

2) Hukum shalat Dhuha berjamaah

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah shalat sunnah yang disyariatkan untuk dikerjakan secara sendiri-sendiri, boleh dikerjakan atau dilakukan secara berjamaah?

Shalat sunnah yang disyariatkan untuk dikerjakan sendiri boleh dikerjakan secara berjamaah jika tidak dilakukan secara terus menerus, karena ini yang pernah dilakukan Nabi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى، فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ

“Sesungguhnya Rasullulah shalat Dhuha di rumahnya, maka para sahabat pun berdiri di belakang beliau, mereka pun shalat bermakmum dengan beliau.”

3) Apakah shalat 2 hari raya atau shalat istisqa bisa menggantikan shalat Dhuha?

Shalat 2 hari raya atau shalat istisqa tidak bisa menggantikan shalat Dhuha.

Apakah dua rakaat dalam hadis ini termasuk shalat Dhuha?

مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ»

“Siapa yang shalat shubuh berjamaah kemudian duduk berzikir hingga terbitnya matahari kemudian shalat dua rakaat maka ia mendapati pahala seperti pahala haji dan umroh secara sempurna, secara sempurna, secara sempurna.” HR. Tirmidzi no. 586, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shohihah no. 3.403.

Jawabannya adalah termasuk shalat Dhuha, tetapi memiliki keutamaan khusus.

4) Shalat Dhuha bagi musafir

Tetap dianjurkan.

5) Membaca dengan sirr atau jahr ketika shalat Dhuha

Disunnahkan membaca dengan sirr. 

6) Qadha shalat Dhuha ketika telah lewat waktunya

Syaikh Utsaimin menjawab masalah ini: “Shalat Dhuha jika telah berlalu waktunya maka telah luput, karena sunnah-nya shalat Dhuha adalah berkaitan dengan waktunya.”

2. SHALAT ISYRAQ

a. Definisi Shalat Isyraq

Secara bahasa adalah: Syaroqot asy-syamsu syuruuqon termasuk bab qo’ada (yang mashdarnya qu’uudan sehingga syaroqo mashdarnya syuruuqon) dan juga (mashdarnya bisa) syarqon yang artinya terbit.

Asyroqot dengan tambahan alif artinya menerangi, diantara mereka ada yang menjadikan keduanya (syaroqot dan asyroqot) satu makna. Dan Asyroqo artinya masuk ke waktu syuruk (terbitnya matahari).

Adapun secara istilah: Shalat Isyraaq adalah shalat yang dilakukan Setelah matahari terbit setinggi tombak. Asal penamaannya berdasarkan penafsiran Ibnu ‘Abbas: Aku telah membaca antara mushaf, aku tidak mengenal shalat lsyraq kecuali sekarang ini.

…يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyraq (waktu pagi).” QS. Shad: 18

Ibnu Abbas pun menyebut shalat ini dengan shalat lsyraq.

b. Hukum shalat Isyraq

Hukumnya sunnah sama seperti shalat Dhuha, karena shalat lsyraq adalah shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu.

c. Keutaman shalat Isyraq

Adapun keutamaannya pahalanya seperti pahala orang yang berhaji atau umroh sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Umamah:

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjamaah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8/154 no. 7.663.

Sebagian ulama memandang tidak disyariatkannya shalat isyraq karena hadits-haditsnya dinilai oleh mereka sebagai hadits-hadits yang lemah.

Meskipun para ulama berselisih tentang disyariatkannya shalat Isyraq, akan tetapi mereka sepakat tentang dua hal:

Pertama: Keutamaan duduk di masjid setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Dan ini merupakan Sunnah Nabi dan kebiasaan para salaf.

Imam Muslim, dari jalur Simak bin Harb yang bertanya kepada salah seorang sahabat Nabi bernama Jabir bin Samurah,

أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ كَثِيرًا، كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ، أَوِ الْغَدَاةَ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ، وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ

“Apakah engkau sering bermajelis dengan Rasulullah? Ya, sering. Beliau biasanya tidak meninggalkan tempat shalatnya dimana beliau melakukan shalat shubuh sampai terbit matahari. Bila matahari telah terbit, beliau bangkit. Mereka (para sahabat) biasa berbincang-bincang dan membahas pengalaman mereka di masa jahiliyyah, hingga mereka tertawa dan beliau tersenyum.” (HR Muslim no. 670)

Kedua: Tentang keutamaan shalat Dhuha

Dan diantara shalat Dhuha adalah shalat syuruq, yaitu shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu Dhuha, yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit.

Akan tetapi para ulama berselisih tentang pahala yang merangkai dua ibadah di atas, yaitu jika seseorang setelah shalat shubuh duduk hingga matahari terbit lalu menunggu waktu syuruq lantas shalat 2 rakaat, apakah ia mendapatkan pahala umroh yang sempurna?

Khilaf ini dibangun di atas khilaf para ulama tentang derajat hadits tentang keutamaan shalat syuruq. Hal ini karena hadits tentang keutamaan shalat syuruq mendapatkan pahala umroh diriwayatkan dari banyak sahabat (yaitu Anas bin Malik, Abu Umaamah al-Bahili, Utbah bin Abd, Aisyah, dan Ibnu Umar). Akan tetapi semua jalurnya bermasalah dan lemah. Sebagian ulama memandang bahwa setiap jalur periwayatannya sangat lemah sehingga tidak bisa saling menguatkan untuk naik menjadi derajat hadits hasan. Diantaranya adalah At-Tirmidzi yang menyatakan hadits ini adalah hadits ghoriib (yaitu dhaif), Ibnu Hazm (Al-Muhalla bil Atsar 5/7), lbnu Hajar (Nataaijul Afkaar 2/318, beliau menyatakan haditsnya ghoriib) dan didukung oleh ahli hadits kontemporer seperti Mushthofa a-Adawi, At-Thuraifi, al-Ulwan, Abdullah as-Saad, serta didukung oleh Sa’ad al-Khotslaan.

Dan sebagian ulama yang lainnya memandang bahwa jalur-jalur periwayatannya sebagiannya lemah meskipun sebagiannya yang lain sangat lemah, namun meski demikian masih bisa saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hadits hasan. Diantara para ulama yang menilainya sebagai hadits yang hasan adalah al-Mundziri (At-Targhiib wa at-Tarhiib 1/220), al-Haitsami (Majma’ Az-Zawaaid 10/104 no. 16.938, dan al-Mubaarokfuuri (Tuhfatul Ahwadzi 2/505), dan didukung oleh ulama kontemporer seperti Al-Albani ($hahih al-Jaami no. 6.346, As-Shahihah no. 3.403), lbnu Baaz (Majmuu’ Fataawa Ibn Baaz 25/171), dan al-Utsaimin (Majmuu’ Fataawa al-Utsaimiin 14/299).

d. Jumlah rakaat

Adapun jumlah rakaatnya sebagaimana yang dijelaskan pada hadits Anas yaitu dua rakaat:

مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ»

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjmaah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.”

e. Permasalahan

1) Bolehkah dikerjakan di rumah?

Keutamaan shalat Isyraq yang disebutkan dalam hadits yang telah lalu adalah bagi siapa saja yang berzikir kepada Allah di masjid tempat ia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir. Kecuali jika wudhunya batal, maka dia boleh keluar dari masjid untuk berwudhu dan segera kembali ke masjid, karena ini termasuk udzur syar’i baginya.

2) Shalat Dhuha setelah shalat Isyraq

Perlu diketahui ketika seseorang sudah melakukan shalat Isyraq maka hakikatnya ia telah melakukan shalat Dhuha.

Namun jika ingin menambah shalat Dhuhanya maka boleh, karena seperti yang dijelaskan dalam pembahasan shalat Dhuha, bahwa shalat Dhuha tidak ada batasan maksimalnya, namun keutamaan shalat Isyraqnya hanya ia dapatkan di dua rakaat pertama saja.

3) Perbedaan antara shalat Isyraq dan shalat Dhuha

Walaupun shalat Isyraq adalah shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu, namun antara keduanya ada beberapa perbedaan:

PerbedaanSholat IsyraqSholat Dhuha
Waktu pelaksanaanHanya di awal waktu dhuhaDari awal waktunya hingga akhir
Jumlah rakaatHanya 2 rokaatTanpa batas
TempatHanya di masjidBoleh selain masjid
SebabSholat shubuh berjamaah dan berdzikir didalamnya hingga matahari terbit 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top