1. HUKUM MEMBACA TA’AWWUDZ
A. Penjelasan
Setelah membaca doa istiftaah maka disunnahkan membaca tadwwudz untuk berlindung kepada Allah sebelum membaca surat al-Fatihah.
Pertama:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
Kandungannya:
Bacaan ini oleh sebagian ulama dijadikan bacaan isti’adzah yang paling utama, mereka berdalil dengan firman Allah:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Dan juga terdapat atsar dari Umar bin Khaththab bahwa beliau biasa membaca lafadz ini.
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، قَالَ: افْتَتَحَ عُمَرُ الصَّلَاةَ، ثُمَّ كَبَّرَ، ثُمَّ قَالَ: «سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ , وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ، أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
“Hafsh menuturkan kepadaku, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, ia berkata: Umar memulai shalatnya, kemudian bertakbir, lalu ia mengucapkan subhaanakallahumma wabihamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aala jadduka wa laa laaha ghairuka, lalu a’uudzubillaahi minasy syaithaanir rajiim, lalu alhamdulillahi rabbil’alamin”. (Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 1/214 no. 2.455)
Lalu apa kaitan antara isti’adzah dengan shalat kita? Istia’adzah adalah permohonan perlindungan kepada Allah dari segala godaan syaithon, dan ini adalah perkara yang sangat dibutuhkan seorang hamba ketika memulai shalatnya, karena shalat adalah suatu ketaatan, dan syaithan sangat tidak suka ada seorang hamba melakukan ketaatan, dan mereka sangat bersemangat mengganggu manusia agar tidak bisa khusyu’ didalam shalatnya.
Maka dari itu Rasulullah mengajarkan ummatnya untuk membaca isti’adzah ketika memulai shalatnya
عَنْ أَبِي سَعِيد الْخُدْرِيّ قَالَ : كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْل فَاسْتَفْتَحَ صَلَاته وَكَبَّرَ قَالَ ” سُبْحَانك اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِك وَتَبَارَكَ اِسْمك وَتَعَالَى جَدّك وَلَا إِلَه غَيْرك – ثُمَّ يَقُول – لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ثَلَاثًا ثُمَّ يَقُول أَعُوذ بِاَللَّهِ السَّمِيع الْعَلِيم مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم
“Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata: Bahwasanya Rasulullah apabila melakukan shalat malam memulai shalatnya dengan bertakbir dan membaca doa istiftah kemudian membaca tahlil 3x, lalu membaca ta’awwudz.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 18/51 no. 11.473)
Kedua:
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Kandungannya:
Doa ini hampir sama dengan bacaan sebelumnya, hanya disini ada tambahan 2 kata yaitu “as-sami” dan “al-‘alim” dimana kedua lafaz ini adalah termasuk dari nama-nama Allah yang maha sempurna yang kita memohon perlindungan dengan nama-nama Allah tersebut yaitu yang maha mendengar dan lagi maha mengetahui, tidak seperti orang-orang jahiliyyah yang meminta perlindungan kepada berhala, patung, batu, pohon dimana semuanya tidak bisa mendengar, tidak mengetahui dan tidak akan pernah bisa mengetahui kebutuhan kita, bahkan jangankan untuk menolong kita, untuk menolong diri mereka sendiri pun tentunya mereka sangat tidak bisa.
Ketiga:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ.
“Aku memohon perlindungan kepada Allah, dari setan yang terkutuk yaitu dari gangguannya, kesombongannya dan sya’irnya.”
Kandungannya:
Dalam bacaan ta’awwudz ini terdapat tambahan (مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ) yang ditafsirkan oleh Amr bin Murroh: naftsihi yaitu sya’ir, nafkhihi yaitu kesombongan, dan hamzihi yaitu kegilaan (tertutupnya akal). Dan itu semua adalah hal-hal yang dapat memalingkan hamba dari melaksanakan ketaatan kepada Allah, kesombongan menyebabkan seseorang merasa tinggi sehingga dia enggan tunduk dan patuh kepada penciptanya sebagaimana yang dialami Iblis Laknatullah ‘alaih,
Kegilaan atau tertutupnya akal juga menyebabkan seseorang tidak bisa melaksakan kewajiban yang Allah wajibkan, sehingga kita dapati orang yang gila gugur darinya kewajiban-kewajiban dan juga kita dapati bahwasanya syari’at melarang dari kita mengkonsumsi sesuatu yang bisa menyebabkan akal kita tertutup seperti khamer, dan juga syair-syair yang bisa membuat kita terlalaikan dari yang Allah wajibkan. Maka dari itu wajib kita untuk meminta perlindungan kepada Allah dari hal-hal tersebut (lihat: Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari 22/182)
Keempat:
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ.
“Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari setan yang terkutuk yaitu dari gangguannya, kesombongannya dan sya’irnya.”
Kandungannya:
Hampir sama dengan doa sebelumnya akan tetapi dengan tambahan:
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Adalah yang ditambahkan sebagian salaf, mereka berdalil dengan firman Allah:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) yang membaca lafadz ini diantaranya Sufyan Ats Tsauri rahimahullah dan juga salah satu bacaan Imam Ahmad bin Hambal. (Sifatu Shalatin Nabi Litharifi, hal 78)
Kelima:
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari setan yang terkutuk, karena Dia-lah Maha Mendengar dan Maha mengetahui.”
Keenam:
أَسْتَعِيْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
C. Sunnahnya ta’awudz dibaca:
1. Pelan tidak jahr.
2. Setiap membaca surat dari al-Qur’an dari setiap rakaatnya.
2. HUKUM MEMBACA BASMALAH
A. Penjelasan
Setelah membaca doa istiftaah maka disunnahkan membaca tadwwudz, setelahnya membaca basmalah sebelum membaca surat al-Fatihah.
B. Bacaan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang.”
C. Hukum-hukum
1. Sifat bacaan Nabi dan Khulafa’ Rasyidun, bahwa mereka membuka bacaan shalat dengan alhmdu lillaahi rabbil ‘aalamiin.
2. Imam Muslim menegaskan bahwa mereka para sahabat tidak menyebutkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhirnya.
3. Mereka sahabat tidak mengeraskan bacaan basmalah, namun mereka memelankannya.
4. Bismillaahirrahmaanirrahiim mencakup nama keagungan dan kebesaran, sifat kasih sayang, kebaikan dan keberkahan. Ini adalah lafazh-lafazh luhur yang disunnahkan untuk diucapkan dalam setiap urusan yang penting, seperti; makan, minum, bersetubuh, mandi, wudhu, masuk masiid, masuk rumah, masuk kamar mandi, dll. Ini bisa membawa keberkahan dan kebaikan atau mencegah keburukan. Menurut para ahli fikih madzhab Hambali, hukum basmalah ada dua: wajib dan sunnah.
a. Wajib dalam wudhu, mandi, tayammum, sembelihan dan buruan.
b. Sunnah dalam bacaan Al Qur’an, makan, minum, bersetubuh dan ketika masuk kamar mandi (WC).
5. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dari surat al-fatihah, kecuali Imam Malik.
D. Dalil-dalil pensyariatan basmalah
Sabda Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: كَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}».
“Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma biasa memulai shalat dengan membaca Alhamdu Iillaahi rabbil-’alamiin.”
وَفِي رِوَايَةٍ ” صَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ”.
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Aku pernah shalat bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman, tidak kudengar seorang pun di antara mereka membaca, ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’.”
وَلِمُسْلِمٍ «صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا».
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Aku pernah shalat di belakang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum, mereka memulai shalat dengan membaca ‘Alhamdulillahi rabbiI-’alamin’, mereka tidak membaca, ‘BismiIIahir-rahmanir-rahim’, pada awal bacaan dan tidak pula pada akhirnya.”
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, yang sekian lama hidup bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menyertai Al-Khulafa’ Ar Rasyidun, menuturkan bahwa dia tidak pernah mendengar seorang pun di antara mereka membaca ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’ dalam shalat, tidak di awal bacaan dan tidak pula di akhirnya, tapi mereka memulai dengan bacaan ‘Alhamdulillahi rabbil-’alamin’.
E. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Tiga iman, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y dan Ahmad menyatakan sunnahnya basmalah dalam shalat. Sementara imam Malik tidak mensyariatkannya.
Imam Malik berhujjah dengan sebagian riwayat dalam hadits Anas “Mereka tidak membaca ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’ pada awal bacaan dan tidak pula pada akhirnya”. Karena menurut pendapatnya, bismillah bukan termasuk ayat dari Al-Qur’an.
Sedangkan tiga imam yang mensyariatkan bacaan basmalah berhuijah dengan beberapa hadits, di antaranya hadits Abu Hurairah, yang shalat dan membaca “Bismillahir-rahmanir-rahim” hingga “Wa ladhdhaalliin”. Ketika shalatnya selesai, dia berkata, “Sesungguhnya aku ingin memberikan gambaran kepada kalian tentang shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Kemudian para imam ini saling berbeda pendapat tentang hukum menyaringkannya.
Pendapat pertama: Yang mensyariatkan bacaannya secara nyaring ialah Asy-Syafi’y.
Asy-Syafi’y dan para pengikutnya berhujjah dengan hadits Anas, ketika dia ditanya tentang tata cara bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka dia menjawab, “Bacaannya panjang, kemudian membaca ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’, dengan memanjangkan bismillah, memanjangkan Ar-Rahman dan memanjangkan Ar-Rahim.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Dia juga berhujjah dengan hadits Ummu Salamah, juga ketika ditanya bacaan beliau. Maka dia menjawab, “Beliau memotong bacaannya ayat demi ayat, ‘Bismillahir-rahmanir-rahim. Alhamdulillahi rabbil ’alamin. Ar-Rahmanir-rahim. Maliki yaumid-din’. (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
Pendapat kedua: Sedangkan Abu Hanifah dan Al-lmam Ahmad mensyariatkan bacaannya secara pelan tidak jahr.
Asy-Syafi’y mengabaikan dua hadits ini dan juga hadits lain yang semisal, yang keduanya menjelaskan sifat bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tidak menyaringkan bacaan basmalah dalam shalat.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kami meriwayatkan dari Ad-Daruquthny, dia berkata, ‘Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari Nabi ShalIaIIahu Alaihi wa Sallam yang menyaringkan bacaan basmalah’.”
Hujjah Abu Hanifah dan Ahmad ialah dengan dua hadits dalam bab ini. Ibnu Daqiq Al-Id berkata, “Yang dapat diyakini dari hadits ini ialah tidak menyaringkan basmalah. Anas hidup bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun, lalu menyertai Al-Khulafa’ selama dua puluh lima tahun, dan dia senantiasa shalat di belakang mereka.”
Mereka menakwili penafian bacaan dalam sebagian riwayat, yang artinya membacanya dengan suara tersembunyi atau tidak nyaring. Dengan cara ini berbagai dalil dapat dikompromikan, sehingga semua diamalkan.