HUKUM BERDIRI DALAM SHOLAT

swing, playground, outdoors, childhood, play, seat, swing, swing, swing, playground, playground, playground, playground, playground, childhood

A. PENJELASAN

Tidak ada perbedaan diantara ulama tentang wajibnya berdiri pada sholat fardhu bagi yang mampu.

Berdasarkan firman Allah:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar). Dan Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (Al-Baqarah: 238)

“Berdirilah” pada ayat merupakan fi’il amr (kata kerja perintah) yang dalam ilmu usul fikih dipergunakan untuk hal yang wajib, kecuali ada indikasi lain yang memalingkan perintah tersebut dari wajib menjadi sunnah atau mubah.

Dan juga hadits Abu Hurairah yang mengisahkan seorang sahabat yang belum memahami tata cara shalat yang baik, lalu Rasulullah pun bersabda sambil mengajarinya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ

“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka sempurnakanlah wudhu …” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits ini disebutkan: “jika engkau hendak berdiri untuk shalat…”, menunjukkan bahwasanya shalat itu ketika hendak dikerjakan yaitu dengan posisi berdiri. Maka barangsiapa yang mampu berdiri namun mengerjakan shalat tanpa berdiri maka shalatnya tidak sah.

Jika seseorang tidak mampu, maka diperbolehkan untuk tidak berdiri berdasarkan hadits Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka (shalatlah dengan) duduk, jika tidak mampu maka (shalatlah dengan) berbaring.” (HR. Bukhori)

Hal ini juga dikarenakan Allah tidak akan membebani hambanya di luar batas kemampuannya.

Sebagaimana firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا

“Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Allah juga memerintahkan kaum Muslimin untuk bertakwa sesuai kemampuan mereka. Allah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semampumu.” (QS. At-Taghabun: 16)

Dan apabila shalat dengan posisi duduk, maka disunnahkan untuk shalat dengan posisi tarabbu’ (duduk bersila); yaitu posisi duduk dengan memposisikan kedua telapak kaki di bawah paha sehingga betis dan paha menjadi tampak.

Hal ini berdasarkan hadits:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا

“Dari Aisyah, ia berkata: “Saya pernah melihat Nabi melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’ (bersila)” (Shohih HR. An-Nasa’i)

An-Nawawi berkata, “Shalat dengan duduk, disyaratkan harus benar-benar tidak mampu berdiri, juga tidak cukup hanya dengan merasa kesulitan pada tingkatan yang paling rendah, akan tetapi yang menjadi patokan adalah kesulitan yang nampak jelas, jika dia merasa hawatir akan mengalami kesulitan yang parah atau akan bertambah sakit, atau yang serupa dengannya atau bagi yang bepergian dengan kapal laut karena khawatir tenggelam atau pusing (mabuk laut) maka dia boleh melaksanakan shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulanginya lagi”.

B. Hukum-Hukum

1. Tidak wajib berdiri dalam shalat sunnah

Adapun pada shalat sunnah maka diperbolehkan untuk shalat sambil duduk walaupun dia mampu untuk melaksanakannya dengan berdiri. Ini merupakan ijmak ulama.

Telah diriwayatkan dalam hadits Ibnu ‘Umar:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ

“Nabi shalat ketika safar di atas kendaraan, mengikuti arah kendaraannya. Beliau mengisyaratkan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya dalam shalat malam.” (HR. Bukhori)

Hadits Jabir bin Abdullah,

عن جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، أَخْبَرَهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي التَّطَوُّعَ وَهُوَ رَاكِبٌ

“Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi melaksanakan shalat di atas kendaraan.” (HR. Bukhori)

Begitu juga saat qiyamullail, dibolehkan mengerjakannya dengan duduk, sebagaimana hadits Aisyah:

كَانَ يُصَلِّي لَيْلًا طَوِيلًا قَائِمًا، وَلَيْلًا طَوِيلًا قَاعِدًا، فَإِذَا قَرَأَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا، وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah mendirikan shalat malam yang panjang dalam keadaan berdiri dan terkadang dalam keadaan duduk. Apabila beliau membaca surat dengan shalat berdiri maka beliau ruku’ dengan (ruku’nya orang yang shalat) berdiri, dan apabila beliau membaca surat dalam keadaan shalat duduk maka beliau ruku’ dengan (ruku’nya orang yang shalat) duduk.” (HR. MUslim)

Shalat sunnah orang yang berdiri lebih utama daripada orang yang shalat sunnah dengan duduk. Akan tetapi pahala shalat dengan duduk menjadi setengah dari pahala shalat dengan berdiri.

Berdasarkan hadits Abdullah bin Amr,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: حُدِّثْتُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ»، قَالَ: فَأَتَيْتُهُ، فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ: «مَا لَكَ؟ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو» ‍قُلْتُ: حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَّكَ قُلْتَ: «صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ»، وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا، قَالَ: «أَجَلْ، وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ».

“Dari Abdullah bin Amr berkata: “Saya telah dikabari bahwa Rasulullah bersabda: “Shalatnya seseorang dengan duduk mendapatkan setengah shalat”, Abdullah bin Amr berkata: “Maka saya melaksanakannya, saya mendapatinya shalat dengan duduk, saya meletakkan tangan saya di kepala beliau”, maka beliau bersabda: “Ada apa wahai Abdullah?”, Saya menjawab: “Telah dikabarkan kepada saya bahwa anda bersabda wahai Rasulullah: “Shalatnya seseorang dengan duduk mendapatkan setengah shalat, dan anda melaksanakan shalat dengan duduk”. Maka beliau bersabda: “Ya benar, akan tetapi saya tidaklah seperti salah satu dari kalian.”

Faedah:

1. Orang yang shalat dalam keadaan berdiri lebih utama dari orang yang shalat dalam keadaan duduk.

Dibolehkan shalat dalam keadaan duduk, namun mendapatkan separuh pahala orang yang shalat berdiri. Kekhususan bagai Nabi bahwa meskipun beliau shalat dalam keadaan duduk, namun mendapatkan pahala sebagaimana orang yang shalat dalam keadaan berdiri.

Hal ini juga disebutkan dalam hadits Imron bin Hushain, bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ

“Orang yang shalat sambil berdiri lebih utama. Orang yang shalat sambil duduk mendapat pahala setengah dari pahala orang yang shalat berdiri. Orang yang shalat sambil berbaring mendapat pahala setengah dari pahala orang shalat yang duduk.” (HR. Bukhori)

2. Shalat orang yang duduk karena udzur mendapat pahala penuh sama dengan orang yang shalat berdiri.

Shalat orang yang duduk karena udzur maka tidak menguranai pahalanya, sebagaimana dia shalat dalam keadaan berdiri. Karena dari kebiasaannya mendirikan shalat dalam keadaaan berdiri, hingga terhalang dengan sebab yang berakibat dia mendirikan shalat dengan duduk.

Sebagaimana hadits riwayat Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah bersabda:

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sedang sakit atau bepergian maka tetap dituliskan (pahala) baginya seperti halnya yang ia lakukan ketika dalam keadaan sehat dan bermukim.” (HR. Bukhori)

2. Batasan Berdiri

Batasan berdiri di dalam shalat adalah dengan menegakkan badan dan lurus. Tidak menjadi masalah jika dia sedikit membungkuk dengan syarat tidak sampai membungkuk seperti orang yang ruku’, hal ini menurut kesepakatan ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid As-Sa’idiy berkata:

أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالُوا: فَاعْرِضْ، فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا، وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَرَكَعَ، ثُمَّ اعْتَدَلَ، فَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْ، وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ، قالوا صدقت هكذا كان يصلي صلى الله عليه وسلم

“Aku ajarkan kepada kalian cara shalat Nabi]. Mereka berkata: Perlihatkanlah kepada kami. Lantas dia berkata: Rasulullah jika berdiri untuk shalat, maka beliau bediri dengan tegak dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya. Lalu jika hendak ruku’ maka beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, kemudian mengucapkan: Allahu Akbar. Lalu ruku’, kemudian meluruskan ruku’nya, tidak mengangkat kepalanya dan tidak juga merunduk. Beliau meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya. Maka para sahabat berkata: kamu benar, seperti itulah shalat Rasulullah.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi dalam shalat maka beliau berdiri dengan tegak. Dan beliau juga bersabda:

صلوا كما رأيتموني أصلي

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku (Nabi) shalat.”

3. Permasalahan berdiri

a. Hukum berdiri dengan bersandar

Dalam shalat diwajibkan bagi seseorang untuk berdiri sesuai dengan kemampuannya. Apabila dia berdiri dengan bersandar pada sesuatu, seperti tembok, tongkat dan lain-lain, sekiranya diambil kemudian dia jatuh, maka shalatnya tidak sah.

Hal ini berdasarkan keumuman hadits lmran bin Hushain, bahwa Rasulullah bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping.”

b. Kapan Gugur Wajibnya Berdiri dalam shalat?

Tidak diwajibkan berdiri ketika melaksanakan shalat-shalat wajib dengan sebab-sebab berikut:

Pertama: Sakit atau lemah.

Berdasarkan keumuman hadits Imran bin Hushain yang telah disebutkan sebelumnya. Disebutkan pula dalam hadits Anas berkata:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَقَطَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فَرَسٍ فَخُدِشَ – أَوْ فَجُحِشَ – شِقُّهُ الأَيْمَنُ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ، فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَصَلَّى قَاعِدًا، فَصَلَّيْنَا قُعُودًا.

“Dari Anas berkata: “Rasulullah pernah terjatuh dari kuda sampai lecet kulitnya atau terluka sisi kanan tubuhnya, maka kami menjenguknya, pada saat tiba waktu shalat beliau mendirikannya dengan duduk, maka kami juga shalat dengan duduk di belakang beliau”.

Jika orang yang sakit mampu mengerjakan shalat dengan berdiri meskipun hanya sekedar membaca ayat, maka hendaknya dia kerjakan dengan berdiri.

Kedua: Keadaan takut.

Berdasarkan firman Allah:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”.

c. Arah Pandangan Mata ketika Shalat

Tidak ada dalil yang tegas dan shahih yang menentukan ke arah mana pandangan seseorang ditujukan tatkala shalat. Karenanya seseorang yang sedang shalat boleh memandang ke arah yang dapat membantunya untuk lebih khusyu’ di dalam shalatnya. la boleh melihat ke arah imam atau pun ke arah bawah (ke arah tempat sujud), namun ia tidak diperbolehkan melihat ke atas.

Dan umumnya seseorang akan lebih khusyu’ dengan menghadap ke tempat sujud, dan hal itu lebih terlihat mengagungkan Allah, serta lebih menjauhkan kita dari melihat hal-hal yang tidak perlu yang bisa mengganggu konsentrasi hati. Kecuali memang ada kebutuhan untuk melihat ke depan atau yang semisalnya.

Ibnu Abdil Barr dari mazhab Maliki berkata:

وَمَنْ نَظَرَ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ كَانَ أَسْلَمَ لَهُ وَأَبْعَدَ مِنَ الِاشْتِغَالِ بِغَيْرِ صَلَاتِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dan barang siapa yang melihat ketempat sujudnya, maka hal yang demikian itu lebih selamat baginya dan lebih jauh dari tersibukkannya ia dari hal-hal selain shalat in sya Allah.”

Imam Ahmad berkata:

الْخُشُوعُ فِي الصَّلَاةِ: أَنْ يَجْعَلَ نَظَرَهُ إلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ.

“Khusyuk dalam shalat yaitu dengan menjadikan pandangan ke tempat sujudnya.”

Ibnu Hajar dari Mazhab Syafi’I berkata:

وَيُمْكِنُ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ النَّظَرُ إِلَى مَوْضِعِ السُّجُودِ وَكَذَا لِلْمَأْمُومِ إِلَّا حَيْثُ يَحْتَاجُ إِلَى مُرَاقَبَةِ إِمَامِهِ وَأَمَّا الْمُنْفَرِدُ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْإِمَامِ

“Dan mungkin bisa dibedakan antara imam dengan makmum. Dianjurkan bagi imam untuk melihat ke tempat sujud. Demikian pula bagi makmum, kecuali ketika ia butuh untuk memperhatikan (gerakan) imam. Adapun yang shalat sendiri (munfarid) maka hukumnya seperti imam.

Detailnya:

Karena tidak adanya dalil yang tegas dan shahih yang menunjukkan akan hal ini maka para ulama berselisih pendapat perihal mana yang lebih afdhal bagi seorang yang sedang shalat, apakah melihat ke arah imam, ataukah melihat ke arah tempat sujud.

Ada dua pendapat dalam persoalan ini:

Pendapat pertama: Hendaknya seseorang ketika shalat matanya tertuju pada tempat sujudnya, dan tidak menoleh kemana-mana. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, yang terdiri dari ulama Mazhab Syaf’ii, Mazhab Hambali, Ashhabur ro’yi (Mazhab Hanafi), dan ini merupakan pendapat yang dinukil dari Muslim bin Yasar, Ishaq bin Rohawaih, Muhammad bin Sirin, dan Afs-Tsauri.

Ibnul Mundzir berkata:

وهذا قول عوام أهل العلم غير مالك

“Dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama kecuali Imam Malik.”

Pendapat kedua:  Hendaknya mengarahkan matanya kedepan ke arah imam ketika sholat. Ini adalah pendapat Imam Malik, dan zahirnya pendapat Bukhori.

Kesimpulan: Pandangan mata, mengikuti keadaan orang yang sholat:

1. Jika di depan ka’bah, maka melihat ka’bah.

2. Jika berdiri melihat ke tempat sujudnya.

3. Jika sedang ruku’ melihat ke arah kaki.

4. Jika berada di belakang imam, maka melihat kepada imam.

5. Jika sedang tahiyyat melihat ke jari telunjuknya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top