HADITS KE-2
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya.”
Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.
Derajat hadits: Hadits ini shahih.
HADITS KE-3
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.”
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.”
Derajat Hadits: Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah (hadits 2).
ما يؤخذ من الحديثين:
Faedah Hadits (2 dan 3):
1 – يدل الحديثان على أنَّ الأصل في الماء الطهارة.
1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya.
2 – يُقَيَّد هذا الإطلاق بما إذا لاقته النجاسة، فظهر ريحها أو طعمها أو لونها فيه؛ فإنَّها تنجسه، قلَّ الماء أو كثر.
2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
3 – الذي يقيد هذا الإطلاق هو إجماع الأمَّة على أنَّ الماء المتغيِّر بالنجاسة نجسٌ، سواءٌ كان قليلاً أو كثيرًا.
3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma’ umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
أمَّا الزيادة التي جاءت في حديث أبي أُمامة، فهي ضعيفة لا تقوم بها حجَّة،
Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho’if, tidak tegak hujjah dengannya,
لكن قال النووي: أجمع العلماء على القول بحكم هذه الزيادة.
akan tetapi Imam An-Nawawi berkata, “para ulama telah ijma’ terhadap hukum dari lafadz tambahan ini”.
وقال ابن المنذر: أجمع العلماء على أنَّ الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة، فغيَّرت له طعمًا، أو لونًا، أو ريحًا، فهو نجس.
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama ijma’ bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis).”
قال ابن الملقِّن: فتلخَّص أنَّ الاستثناء المذكور ضعيف؛ فتعيَّن الاحتجاج بالإجماع؛ كما قال الشافعي والبيهقي وغيرهما.
Ibnul Mulaqqin berkata, “terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi’i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya.”
قال شيخ الإِسلام: ما أجمع عليه المسلمون فإنَّه يكون منصوصًا عليه؛ ولا نعلم مسألة واحدة أجمع عليها المسلمون ولا نصَّ فيها.
Syaikhul Islam berkata, “Apa yang telah menjadi ijma’ oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma’ kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash.”