عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. “Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.”
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi’i dan Ahmad juga meriwayatkannya.
Derajat Hadits: Hadits ini shahih
ما يُؤخَذُ مِنَ الحديث:
Faedah Hadits:
1 – قال الشّافعي: هذا الحديث نصف علم الطهارة. وقال ابن الملقِّن: هذا الحديث حديثٌ عظيمٌ، وأصلٌ من أصول الطهارة، مشتملٌ على أحكامٍ كثيرة، وقواعدَ مهمَّة.
1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.
2 – أنَّ ماء البحر يرفع الحدث أكبر والأصغر، ويزيل النجاسة الطارئة على محلٍّ طاهر، من بدنٍ، أو ثوب، أو بقعة، أو غير ذلك.
2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat, badan, pakaian, tanah, atau selainnya.
3 – أنَّ الماء إذا تغيَّر طعمه أو لونه أو ريحه بشيءٍ طاهرٍ، فهو باقٍ على طهوريته، ما دام ماءً باقيًا على حقيقته، ولو اشتدت ملوحته أو حرارته أو برودته ونحوها.
3. Air jika berubah rasanya atau warnanya atau baunya dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.
4 – أنَّ ميتة حيوان البحر حلالٌ، والمراد بميتته: ما مات فيه من دوابه ممَّا لا يعيش إلاَّ فيه.
4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.
5 – يدل الحديث على أنَّه لا يجب حمل الماء الكافي للطهارة مع القدرة على حمله؛ لأنَّهم أخبروا أنَّهم يحملون القليل من الماء.
5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.
6 – قوله: “الطهور ماؤه” تعريفه بالألف والَّلام المفيد للحصر لا ينفي طهورية غيره؛ لوقوعِهِ جوابَ سؤال عن “ماء البحر”؛ فهو مخصَّصٌ بنصوصٍ أُخرى.
6. Sabdanya (suci dan mensucikan airnya), bentuk ma’rifat dengan alif lam yang memberi arti pembatasan. Namun tidak menafikan sucinya selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.
7 – فضيلة الزيادة في الفتوى على السؤال؛ وذلك إذا ظن المفتي أن السائل قد يجهل هذا الحكم، أو أنه قد يُبْتَلَى به؛ كما في ميتة حيوان البحر لراكبه.
7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).
قال ابن العربي: وذلك من محاسن الفتوى؛ أن يُجَاء في الجواب بأكثر مما سُئِلَ عنه؛ تتميمًا للفائدة، وإفادة لعلم غير المسؤول عنه، ويتأكد ذلك عند ظهور الحاجة إلى الحكم -كما هنا- ولا يعد ذلك تكلُّفًا مما لا يعنيه.
8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah “dan halal bangkainya“), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.
9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
خلاف العلماء:
ذهب الإمام أبو حنيفة: إلى إباحة السمك بجميع أنواعه، وحرَّم ما عداه؛ مثل كلب الماء، وخنزيره، وثعبانه، وغيره ممَّا هو على صورة حيوان البر، فإنَّهُ لا يحل عنده.
a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut halal dengan seluruh jenisnya, dan haram selainnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.
وذهب الإمام أحمد في المشهور من مذهبه: إلى إباحة حيوان البحر كله، عدا الضفدع والحية والتمساح؛ فالضفدع والحية من المستخبثات، وأمَّا التمساح فذو نابٍ يفترس به.
b. Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa
وذهب الإمامان مالك والشَّافعي: إلى إباحة جميع حيوان البحر بلا استثناء؛ واستدلا بقوله تعالى: {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ}، والصيد هنا يُراد به المصيد، وبقوله -صلى الله عليه وسلم-: “أُحِلَّت لنا ميتتان: الجراد والحوت” [رواه أحمد (5690) وابن ماجه (3218)]،
c. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
قال في القاموس: الحوت هو السمك.
Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.
ولما جاء في حديث الباب “الحل ميتته”، وهذا هو الأرجح.
Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat.