Setelah dilahirkan oleh Ibunya, Aminah, dia menyusuinya selama tiga atau tujuh hari. Pernah diasuh oleh Ummu Aiman, Barakah AlKhabsyiyyah, “kemudian setelah itu disusui oleh Tsuwaibah mantan budak Abi Lahab selama beberapa hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Saya dan Abu Salamah telah disusui oleh Tsuwaibah.” Urwah bin Az-Zubair Radhiyallahu Anhuma berkata, “Tsuwaibah adalah budak yang telah dimerdekakan oleh Abu Lahab, ia menyusui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah Abu Lahab meninggal beberapa keluarganya melihat Abu Lahab dalam mimpi, sewaktu dia ditanya, “Apa yang telah kamu temukan?” Dia menjawab, “Saya tidak menemukan sesuatu pun setelah kamu, hanya saja saya telah mendapatkan minuman sebagai balasan dari memerdekakan Tsuwaibah.
Kemudian datanglah setelah itu, rombongan wanita mencari bayi yang mau disusui, di antara mereka adalah Halimah As-Sa’diyah Radhiyallahu Anha, kemudian ditawarkanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada para wanita itu. Mereka semuanya menolak tatkala dikatakan bahwa dia adalah anak yatim. Namun, setelah semua wanita telah mendapatkan anak susuan, sementara Halimah Radhiyallahu Anha belum mendapatkan anak susuan, maka dia kembali menemui beliau dan membawanya pulang, dalam Shahih Muslim telah dijelaskan tentang penyusuan ini.
Setelah dua tahun berlalu, Halimah datang bersama beliau kepada ibunya dengan keinginan agar beliau tetap bersamanya, karena berkah yang mengiringinya selama Rasulullah tinggal bersama mereka. Akhirnya, beliau tetap bersama Halimah hingga batas waktu yang dia sepakati untuk mengembalikan beliau kepada ibunya.
Kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyusui pada selain ibunya sangat terkenal dalam kitab-kitab Sirah yang dikisahkan langsung oleh Halimah As-Sa’diyah Radhiyallahu Anha, dia menceritakan peristiwa kedatangannya ke Mekah, kemudian akhirnya memilih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena tidak lagi mendapatkan yang lain, dan apa yang terjadi setelah itu, di rumah keluarga Halimah mendapat berkah yang banyak.
Hikmah (Pelajaran) yang bisa dipetik;
Hikmah di balik keberangkatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ke daerah pedalaman yang jauh dari kota untuk disusui sebagaimana yang menjadi kebiasaan tokoh-tokoh arab pada waktu itu, di antaranya:
1. Masa menyusui di pedalaman yang jauh dari kota untuk menghindari polusi pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan, apalagi kota Mekah pada waktu itu didatangi oleh banyak pengunjung yang berasal dari penjuru dunia dengan beragam jenis manusianya. Mereka datang untuk menunaikan haji, kunjungan, untuk melakukan perdagangan, dan lain-lainnya. Kondisi tersebut berpotensi mengotori pergaulan dan moral.
Oleh karena itu, pendidik hendaknya menjaga kesehatan anak dan membiasakan mereka keluar untuk menghirup udara yang segar, karena hal tersebut berpengaruh baik dari sisi kesehatan dan kejiwaan anak ke depan.
Banyak penyakit-penyakit kejiwaan yang diderita oleh sang anak ternyata penyebabnya adalah kehidupan kota yang ruang bermain untuk anak-anak terlalu sempit. Penyebab tersebut tidak disadari oleh para orang tua, mereka tidak mengajak anak-anak ke tempat yang lapang, yaitu udara segar diharapkan memperbarui kondisi kehidupan mereka. Konsep pendidikan modern mengingatkan tentang pentingnya melakukan rekreasi ke kampung, gunung, pinggir pantai, atau ke lembah, karena pemandangan seperti itu membuka cakrawala berpikir dan berpotensi mencerdaskan anak.
Abdul Malik bin Marwan pernah berkata, “Kecintaan kami kepada AL-Walid membuat fitnah atas kami, karena Al-Walid suka melakukan kesalahan dalam berbahasa, sementara Sulaiman bahasanya fasih, itu disebabkan karena Al-Walid tinggal bersama ibunya, sementara Sulaiman dan saudara-saudaranya tinggal di pedalaman yang menyebabkan mereka fasih berbahasa Arab, dan mereka mengajarinya etika dan moral.
2. Para bayi yang dikirim (untuk diasuh) ke pedalaman dimaksudkan untuk membiasakan mereka berbahasa Arab yang bagus dan untuk menghindari kesalahan dalam berbahasa Arab.
Hal ini menunjukkan besarnya perhatian mereka terhadap bahasa daerah mereka yaitu bahasa Arab. Hal tersebut adalah sebuah pelajaran bagi kita untuk senantiasa menjaga bahasa Arab, bahasa Qur’an dan bahasa Sunnah yang mulia.
Para Salafus Shalih sangat menganjurkan untuk mempelajari bahasa Arab, sebagaimana mereka sangat menganjurkan untuk belajar fikih, hadits, dan ilmu faraidh. Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu telah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu, dia berpesan, “Belajarlah kalian Sunnah Nabi, belajarlah ilmu fikih, dan belajarlah bahasa Arab, dan berlatihlah mengenal I’rab dari susunan Al-Qur’an, karena itu adalah bagian dari bahasa Arab.
Dia juga berkata, “Belajarlah bahasa (supaya tidak salah ucap) dan belajarlah ilmu Faraidh, karena itu adalah bagian dari agama kalian.”
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bahasa Arab adalah bagian dari agama, mempelajari bahasa Arab adalah Fardhu ‘Ain, karena mempelajari Al-Qur’an dan sunnah hukum Fardhu ‘Ain, dan mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah tidak mungkin terjadi, kecuali apabila mengetahui bahasa Arab, sementara kaidah berbunyi; Sesuatu yang wajib yang tidak bisa terpenuhi, kecuali dengan adanya penyebab, maka penyebab tersebut hukumnya juga wajib.”
Imam Asy-Syathibi Rahimahullah berkata tentang Al-Qur’an, “Bagi siapa saja yang ingin memahami Al-Qur’an, maka hanya dengan cara memahami bahasa Arab, tidak ada jalan untuk memahaminya selain dengan jalan itu.”
Dia juga berkata,”(Sumber) syariat Islam itu dalam bentuk bahasa Arab, maka tidak mungkin bisa dipahami dengan benar, kecuali dengan memahami bahasa Arab yang benar, karena keduanya dalam bentuk yang sama (sama-sama berbahasa Arab), kecuali yang berkaitan dengan majaz (kiasan).”
Oleh karena itu, musuh-musuh Islam sangat gencar dalam memasarkan bahasa ‘Ammiyyah (pasaran) di kalangan umat Islam, karena mereka mengerti bahwa bahasa Arab adalah jembatan yang mengikat segala permasalahan dalam Islam. Bahasa Arablah yang mengantar mereka mengenal Al-Qur’an, mengenal sunnah Nabi yang suci, dan peninggalan ulama Islam yang agung, sementara tidak mungkin mengenal Islam secara utuh, kecuali dengan mengenal bahasanya, yakni bahasa Arab, yang dengan bahasa Arab tersebut Al-Qur’an diturunkan dan sunnah-sunnah Nabi ditulis, serta kitab-kitab Islam dibukukan.
Oleh karena itu, memerangi bahasa Arab sama saja dengan memerangi Islam, keterasingan lisan dari bahasa Arab akan mengakibatkan keterasingan dalam hati dan pikiran. Mematikan bahasa Arab berarti mematikan peradaban yang datang dengan bahasa Arab. Kalau ternyata upaya penghancuran terhadap bahasa Arab tidak berhasil, tetapi pengabaian justru berasal dari pihak penganutnya, maka hubungan interaktif antara umat Islam akan berakhir, dan akhirnya umat Islam akan menjadi terpecah-pecah dengan dialek bahasa masing-masing, tidak ada lagi ikatan bahasa di antara mereka, mereka terlepas dari bahasa Qur’an mereka, bahasa Nabi mereka, dan bahasa peradaban Islam.
Generasi pendahulu kita yang shalih telah mensinyalir bahwa penyebab paling besar dari timbulnya bid’ah dan munculnya pemahaman yang menyimpang dalam Islam adalah awamnya umat Islam dalam mengenai bahasa Arab.
Bahasa Arab adalah salah satu unsur penting dari tiga masalah utama yang menjadi sasaran tembak musuh-musuh Islam, yaitu AlQur’an, Ka’bah, dan bahasa Arab.
Bahasa Arab adalah bahasa yang mengikat antarumat Islam dan yang mengikat antara mereka dengan Al-Qur’an, hadits Nabi, serta khazanah peninggalan Islam. Al-Qur’an adalah sumber utama dalam menetapkan hukum dan Ka’bah adalah kiblat umat Islam satu-satunya, baik semasa hidup maupun setelah meninggal.
Saya telah mengunjungi Amerika, Inggris, Brazil, dan saya telah bertemu dengan beberapa anak muda beragama Islam, usia mereka sekitar 10-20 tahun, tidak ada satu di antara mereka yang bisa mengucapkan tiga kata bahasa Arab dengan baik, tetapi kalau berbicara dengan bahasa negeri mereka, mereka berbahasa dengan lancar. Mereka adalah anak muslim yang orang tuanya Arab, tetapi mereka lahir dan dibesarkan di Barat, lalu bagaimana nasib mereka setelah mereka besar nanti? Apakah yang mengikat mereka dengan agama dan umat Islam? Apakah yang mereka bisa baca?
Mereka menjadi bagian dari masyarakat yang telah hilang identitas Qur’aniahnya, hadits dan khazanah keilmuan para Salafus Shalih, sementara di depan mata mereka terdapat Injil, Taurat, dan kitab-kitab Nashrani dengan bahasa mereka. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja. Maka, ini menjadi awal sejarah kehilangan generasi Islam yang lepas dari ikatan agama.
Merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang tua dan termasuk bagian dari amanah untuk menjaga dan mengajarkan kepada mereka bahasa Arab, sebagaimana mereka mengajarkan anak-anak mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian, para orang tua telah mempersiapkan jembatan penyeberangan untuk berinteraksi dengan umat Islam dan agama mereka.
3. Allah Ta’ala telah menakdirkan Halimah Radhiyallahu Anha menyusui dengan cara-cara yang tidak mudah. Setelah bertekad untuk meninggalkan Mekah, dia kembali untuk mengambil Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena awalnya tidak suka, tetapi setelah berada di pangkuannya dan mendapatkan keberkahan baginya dan keluarganya, dia bertekad untuk tidak melepaskan anak yang pada mulanya semua wanita enggan untuk menyusuinya itu.
Kita bisa bayangkan bagaimana kondisi Halimah yang mengambilnya dalam kondisi tidak tulus, tatkala dia berbisik pada dirinya, “Sudah merupakan nasib saya, semua wanita yang lain telah mendapatkan tujuannya terkecuali saya.” Dia lalai dari kebaikan yang telah disiapkan baginya di alam gaib. Alangkah banyaknya fenomena seperti ini yang kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari, kita tergesagesa dalam memohon dan mengharapkan sesuatu, padahal kita tidak mengetahui dimana letak kebaikan itu. Hal ini mengingatkan kita firman Allah:
… فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“…karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19). Firman-Nya:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“… boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 216).
Ibnu Mas’ud berkata,”Sesungguhnya seorang hamba yang berharap sesuatu dari perniagaan atau kepemimpinan hingga dimudahkan baginya, kemudian Allah memalingkan nikmatnya itu kepadanya. Kemudian Allah berkata kepada malaikat, “Palingkan dia dari keinginannya itu, karena jika Aku mengabulkan keinginannya, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka,” Oleh karena itu, Allah pun menjauhkannya dari keinginannya itu, tetapi hamba itu masih saja berkata, Fulan telah mengalahkan saya, sungguh untunglah Fulan dibandingkan saya, walaupun pada hakikatnya itu adalah karunia dari Allah Azza wa Jalla.
Di antara kemuliaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya adalah menetapkan rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kemashlahatan yang diketahuinya bukan sesuai dengan permohonan sang hamba. Mereka kadang menginginkan sesuatu, tetapi ada hal lain yang justru lebih baik baginya, kemudian Allah menakdirkan baginya untuk meraih yang lain dari harapannya, walaupun dia tidak senang. Semua itu sebagai bentuk proteksi dan kebaikan yang Allah inginkan bagi hamba-Nya. Pada kasus Halimah ini terdapat pelajaran bagi kita bahwa akhir dari permasalahan hanya diketahui oleh Allah, kita tidak mengetahui di mana letak sebuah kebaikan, betapa banyak upaya yang kita lakukan untuk meraih sesuatu, tetapi Allah malah memudahkan selain dari itu dan ternyata itulah yang lebih baik bagi kita, tetapi masih saja kita merasa sedih dan terhimpit. Kita lalai bahwa segala bentuk kebaikan adalah terlepas dari ambisi keinginan itu.
Terkadang juga kita berpaling dari sesuatu, bahkan lari darinya atau kita menerimanya dengan susah hati, tetapi Allah memberikan banyak kebaikan di dalamnya. Oleh karena itu, kewajiban hamba adalah menyerahkan kepada Dzat Yang Maha Mengetahui akhir dari segala permasalahan, ridha dengan apa yang telah dipilihkan oleh Yang Maha Mengetahui masalah gaib, dengan berharap mendapatkan balasan yang terbaik. Janganlah memprotes dan memohon apa-apa yang tidak terdapat ilmu bagimu, tetapi memohonlah kepadanya agar Allah membantu kamu dalam memilih yang terbaik, dan menjadikan kamu ridha dengan ketetapan yang telah dipilihkan Allah bagimu.
Betapa banyak bentuk kebaikan yang telah didapatkan oleh Halimah As-Sa’diyah Radhiyallahu Anha, dengan cara bayi-bayi yang dia inginkan dijauhkan darinya, dan bayi yang tidak dia inginkan malah dipilihkan baginya, karena dengan itulah terletak kebaikan baginya, bagi umatnya sepanjang tahun.
4. Kalau menerima pendapat yang mengatakan bahwa Abu Lahab mendapat fasilitas minuman setelah mati karena memerdekakan Tsuwaibah yang telah menyampaikan kabar gembira kepadanya bahwa keponakannya bernama Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah lahir, maka ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian itu, tentang keutamaan mencintai Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, dan karena Abu lahab senang karena kelahiran Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam itulah menyebabkan dirinya diberikan minuman, walaupun dia adalah seorang yang musyrik dan mati dalam keadaan syirik dan dalam permusuhan berat dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.“
Lalu bagaimana dengan seorang muslim yang mengetahui nilai dari sebuah kecintaan kepada Nabi dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintainya, berupaya untuk mencintainya dan meneladaninya, sementara Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai saya melebihi cintanya kepada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.”
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengumpulkan macam-macam cinta antara manusia, yaitu ada tiga;
1) Cinta yang berindikasi memuliakan dan mengagungkan, seperti cinta seorang anak kepada ayahnya.
2) Cinta berindikasi kasih sayang, seperti cinta orang tua kepada anaknya.
3) Cinta yang berbalas dan karena latar belakang kebaikan, seperti mencintai manusia lainnya.
Mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam harus melebihi tiga jenis cinta di atas, sebagaimana makna yang dimaksudkan dalam redaksi kata hadits yang memakai af’aluttafdhil (bentuk kata yang berwazan ‘af’al yang bermakna lebih (komparatif), ahabba ilaihi (lebih dia cintai).
Kalau Abu Lahab saja dengan kemusyrikannya diberikan balasan karena telah bergembira dengan kelahiran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan telah menyusui Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui hamba sahayanya yang bernama Tsuwaibah, dan tentunya lebih dari itu bila yang mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena ingin mengikuti jejaknya dan selalu mengamalkan sunnah dan contohnya dalam setiap kondisi.
Ya Allah, saya mencintai Rasul-Mu Shallallahu Alaihi wa Sallam dan saya memohon kepada-Mu agar memberikan kepada saya taufik untuk meniti jalannya, mengikuti sunnahnya, dan menjadikan saya, orang tua saya, anak keturunan saya, dan seluruh umat Islam termasuk dari golongan yang digiring di bawah benderanya pada hari Kiamat. Aamiin.
5. Syaikh Abdul Rahman As-Shaqalli berkata, “Setiap manusia mendapatkan jatah kebaikan dari namanya, hal ini berlaku dalam alam manusia, dan begitu juga dalam alam lainnya.
Nama Rasulullah adalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau terpuji di sisi Allah, terpuji di sisi Malaikat, dan terpuji di sisi saudara-saudaranya para Nabi, dan terpuji di sisi penghuni alam semesta.
Dia dilahirkan pada bulan Rabiul Awal dan itu mengisyaratkan bahwa nikmat Allah telah dimulai.
Ibunya bernama Aminah (yang aman), dan bidannya bernama As-Syifa (kesembuhan) Ummu Abdul Rahman bin Auf, diasuh oleh Barakah (keberkahan), disusui oleh Tsuwaibah (pahala) dan Halimah (santun) As-Sa’diyah.
Asy-Syami berkata, “Pada tatanan itu terdapat keteraturan yang telah disiapkan Allah Ta’ala untuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui nama-nama para pengasuh dan perawatnya, pada nama ibu dan bidan terdapat keamanan dan pelipur lara, pada nama yang mengasuh terdapat keberkahan dan pertumbuhan, dan pada kedua ibu penyusunya terdapat ganjaran pahala, santun, dan kegembiraan.”