A. Antara Aqidah Dan Keimanan
Allah memuji iman dan memuji Ahlul Iman (orang-orang beriman) di dalam al-Qur-an, di antaranya dalam ayat:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Mu’minin (23): 1)
Allah juga berfirman tentang mereka:
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah (2): 5)
Dan, Allah menjanjikan Surga bagi mereka:
أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)
“Mereka itulah orang yang akan mewarisi. (Yakni) yang akan mewarisi (Surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minin (23): 10-11)
Iman menjadikan penyandangnya dipuji Allah, bukan aqidah semata. Dengan demikian, aqidah mencerminkan fondasi dan pokok keimanan. Jadi, iman adalah cerminan aqidah yang bersemayam dalam hati secara konsisten, bahkan tidak terpisah darinya. Melalui lisan penyandang aqidah tersebut menyatakan keimanan yang tersimpan dalam hatinya, lalu keyakinan dan perkataan itu diaplikasikan melalui praktik amal shalih sesuai dengan konsekuensinya.
Sesungguhnya aqidah yang tersembunyi di dalam hati namun tidak memiliki eksistensi secara nyata dinilai kosong dan pasif. Kondisi seperti ini tidak layak disebut aqidah. Kita melihat tidak sedikit orang mengetahui suatu kebenaran seyakin-yakinnya, tetapi tidak bersegera mengamalkannya, seakan-akan tidak ingin membentuk kehidupan yang lebih baik dengan mengikutinya. Tidak sedikit pula dari mereka yang menentang kebenaran yang diyakini itu, bahkan berani memeranginya.
Iblis contohnya, dia sangat mengetahui hakikat-hakikat terbesar dengan seyakin-yakinnya. Tidak diragukan bahwa Iblis mengenal Allah, juga mengenal kebenaran para Rasul dan Kitab-kitab-Nya, tetapi dia malah bernazar untuk selalu memerangi kebenaran yang diketahuinya.
Contoh lainnya: Firaun. Sebenarnya raja ini meyakini berbagai mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa adalah berasal dari Allah, Pencipta alam semesta. Akan tetapi, dia mengingkari kebenaran yang datang dari Allah karena kesombongan diri dan sifat tinggi hati.
Allah berfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا…
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya ….” (QS. An-Naml (27): 14)
Nabi Musa pun berbicara kepada Firaun:
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ…
“Dia (Musa) menjawab: Sungguh, engkau telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Rabb (yang memelihara) langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata ….” (QS. Al-Isra (17): 102)
Kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebenarnya mengetahui bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ…
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri …. (QS. Al-Baqarah (2): 146)
Akan tetapi, mereka tidak mau mengakuinya karena kezhaliman dan kesesatan kaum ini.
Dengan demikian, iman bukan sekadar mengenal Allah secara pasif, atau juga pengenalan terhadap-Nya yang menjadi alasan bagi orang yang beriman untuk bersikap sombong sehingga tidak mengakuinya, atau menolak untuk tunduk pada hukum yang berdasarkan pengenalan tersebut. Tetapi iman itu adalah aqidah yang menjadi keyakinan dan kebahagiaan hati penyandangnya, lalu dia menyatakannya secara lisan, serta ridha dengan apa yang ditetapkan oleh Allah.
Sehingga, para Salafush Shalih mengatakan: “Iman adalah keyakinan melalui hati, ucapan melalui lisan, dan amalan melalui anggota badan.”
Catatan:
Demikian perkataan ulama Salaf secara umum, termasuk tiga imam empat mazhab: Ahmad, Malik, dan asy-Syafi’i. Hanya Abu Hanifah yang berbeda, dia berkata: “Iman terdiri atas keyakinan dan ucapan. Sedangkan amal (aplikasinya) merupakan konsekuensi iman tersebut, tetapi tidak disebut iman.”
Ada lagi kelompok yang berpendapat bahwa iman sekadar pembenaran dengan hati saja, meskipun tidak disertai perkataan ataupun amalan. Ini pendapat aliran jahmiyyah dan Asy’ariyyah. Sedangkan aliran Karramiyyah berpendapat bahwa iman hanyalah ucapan.
B. Antara Aqidah Dan Syariat
Sebagaimana telah kami sebutkan, iman terbagi menjadi dua, yaitu: (1) aqidah yang bersih, yang bersemayam serta tersimpan di dalam hati, dan (2) amal yang tampak pada anggota tubuh. Apabila salah satu dari dua rukun ini hilang, maka iman pun akan hilang atau timpang. Sebab hubungan antara kedua hal itu sangat erat.
Iman diibaratkan pohon yang baik, akarnya tertancap di tanah yang subur dan dahannya menjulang tinggi ke langit. Ia berbunga dan berbuah, memberikan hasil nyata. Hasilnya terlihat setiap saat, sesuai izin atau kehendak Allah.
Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabbnya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim (14): 24-25)
Jadi, iman diibaratkan dengan pohon tersebut. Adapun akarnya, ia seumpama agidah yang menancap di dalam hati penyandangnya. Sedangkan dahan, ranting, dan buahnya adalah amal.
Tidak ada yang menyangsikan bahwa jika akar-akar tumbuhan dicabut atau telah membusuk, maka mati atau kering kerontanglah pohon itu hingga tak berwujud lagi. Demikian pula iman, ia tidak akan berwujud jika aqidah tidak ada. Adapun jika dahan dan rantingnya dipotong, atau sebagiannya saja dipotong, maka pohon itu akan menjadi layu dan keropos, bahkan terkadang bisa mati total, karena keberadaan ranting-ranting beserta dedaunan tadi begitu penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Demikian juga amal, apabila ia ditinggalkan seluruhnya atau sebagiannya, maka iman akan berkurang atau hilang sama sekali.
C. Antara Aqidah, Keimanan, Dan Amal
Berdasarkan uraian singkat di atas, kita diwajibkan memperhatikan pelaksanaan setiap amal yang telah Allah perintahkan, atau suatu hal yang Allah suka sekiranya kita mengerjakannya, dan meninggalkan amalan-amalan yang dilarang-Nya. Semua itu adalah bagian dari iman. Amalan yang ditinggalkan, meski sedikit, akan menyebabkan kadar keimanan berkurang seukuran kadar amalan tersebut.
Dari sini, selayaknya orang-orang yang meremehkan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah dan komitmen terhadapnya harus mewaspadai dampak negatif dari sikap yang demikian. Bahkan di antara mereka ada yang kebablasan, melampaui batas, dengan beranggapan bahwa sebagian sunnah atau amal agama tersebut sebagai “kulit luar” (tidak terlalu penting).
Kita memohon kepada Allah supaya mengampuni mereka. Sesungguhnya seluruh ajaran agama adalah inti, tidak ada yang dianggap sebagai “kulit luar”, meskipun memang ada perbedaan terkait dengan skala prioritas dalam pengamalannya.
Hendaklah pernyataan kami di atas tidak dipahami sebagai sikap penyamarataan amal sunnah. Atau dengan kata lain bahwa kami tidak memperhatikan skala prioritas dalam masalah ilmu, amal, dan dakwah kepada Allah. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi ketetapan bersama (ijma umat Islam) dan dimaklumi. Hanya saja, kami menolak apabila ada yang meremehkan dan mengabaikan masalah-masalah yang dinilai parsial dari agama ini. Apalagi mencela orang-orang yang berkomitmen untuk menjalankan semua masalah agama dan sunnah Rasulullah, baik yang kecil maupun yang besar.
Ada peristiwa yang berkesan sekali, ketika Khalifah Umar ditikam. Sesaat setelah kejadian itu, seorang pemuda menemui beliau dan menyampaikan perkataan yang baik. Lalu pemuda itu berbalik badan untuk pergi, dan ternyata kain sarungnya terlihat menyapu tanah. Pada kondisi ini, sang Khalifah tetap memanggilnya dan menasihati:
يَا ابْنَ أَخِي، ارْفَعْ ثَوْبَكَ، فَإِنَّهُ أَنْقَى لِثَوْبِكَ، وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
“Wahai putra saudaraku, angkatlah kainmu (hingga di atas mata kaki). Sesungguhnya yang demikian akan membuat pakaianmu lebih suci dan menjadikan dirimu lebih bertakwa kepada Rabbmu.” HR. Al-Bukhari no. 3700.
Dalam kisah tersebut, kematian yang sedang menjemput tidak menyurutkan semangat Khalifah Umar untuk membimbing pemuda tadi kepada suatu masalah yang oleh banyak kalangan pada zaman ini dianggap sebagai masalah “kulit luar” yang tidak penting dan tidak perlu diributkan atau diperhatikan.