ULAMA SALAF DENGAN SIFAT JUJUR DAN IKHLAS

planet, mars, crater, victoria crater, impact crater, space, outer space, planet, mars, mars, mars, mars, mars, crater, space

Diriwayatkan dari Bakar bin Ma’iz bahwa ia berkata,

مَا رُئِيَ الرَّبِيْعُ مُتَطَوِّعًاً فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِهِ قَطُّ إِلاَّ مَرَّةً وَاحِدَةً.

“Ar-Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunnah di masjid kaumnya, kecuali sekali seumur hidupnya.”

Dari Sufyan diriwayatkan bahwa ia menceritakan,

أَخْبَرَتْنِي سُرِّيَّةُ الرَّبِيعِ بْنِ خُثَيْمٍ، قَالَتْ: «كَانَ عَمَلُ الرَّبِيعِ كُلُّهُ سِرًّا إِنْ كَانَ لَيَجِيءُ الرَّجُلُ وَقَدْ نَشَرَ الْمُصْحَفَ فَيُغَطِّيهِ بِثَوْبِهِ»

“Surayyah ar-Rabi’ bin Khutsaim pernah mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya amal perbuatan ar-Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang, sementara beliau tengah membaca al-Qur’an, beliau segera menutupi mushafnya dengan bajunya.”

Dari Mundzir, dari Rabi’ bin Khutsaim diriwayatkan bahwa ia menceritakan,

كُلُّ مَالاَ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ يَضْمَحِلُّ.

“Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari keridhaan Allah, pasti akan pupus sirna.”

Dari Abu Hamzah ats-Tsumali diriwayatkan bahwa ia menceritakan,

كَانَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ يَحْمِلُ جِرَابَ الْخُبْزِ عَلَى ظَهْرِهِ بِاللَّيْلِ فَيتَصَدَّقُ بِهِ وَيَقُولُ: «إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ»

“Dahulu Ali bin al-Husain biasa memanggul karung (makanan) setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata, ‘Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah.” Shifatush Shafwah 2/96. Sementara ucapan beliau,”Sesungguhnya sedeqah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah,”adalah hadits marfu’ lewat banyak jalur namun seluruhnya masih diragukan.Tetapi al-Albani menshahihkannya dengan banyaknya jalurnya dalam as-Silsilah ash-shahihah: 1908.

Dari Amru bin Tsabit berkata,

” لَمَّا مَاتَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ فَغَسَّلُوهُ جَعَلُوا يَنْظُرُونَ إِلَى آثَارٍ سَوْدَاءَ بِظَهْرِهِ، فَقَالُوا: مَا هَذَا؟ فَقِيلَ: كَانَ يَحْمِلُ جُرُبَ الدَّقِيقِ لَيْلًا عَلَى ظَهْرِهِ يُعْطِيهِ فُقَرَاءَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ “

“Tatkala Ali bin al-Husain meninggal dunia dan orang-orang memandikannya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam dipunggungnya. Mereka lantas bertanya, ‘Apa ini?’ Sebagian mereka menjawab, ‘Beliau biasa memanggul karung gandum diwaktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.”

Dari Ibnu Aisyah berkata, Ayahku pernah berkata,

” سَمِعْتُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ، يَقُولُونَ: «مَا فَقَدْنَا صَدَقَةَ السِّرِّ حَتَّى مَاتَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ»

“Aku pernah mendengar penduduk Madinah menyatakan, Kami terus menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga meninggalnya Ali bin al-Husain.”

عن مُحَمَّدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ ضَيْغَمٍ، حَدَّثَنِي مَوْلَانَا أَبُو أَيُّوبَ، قَالَ: قَالَ لِي أَبُو مَالِكٍ يَوْمًا: يَا أَبَا أَيُّوبَ احْذَرْ نَفْسَكَ عَلَى نَفْسِكَ، فَإِنِّي رَأَيْتُ هُمُومَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الدُّنْيَا لَا تَنْقَضِي وَايْمِ اللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَأْتِ الْآخِرَةَ وَالْمُؤْمِنُ بِالسُّرُورِ لَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ الْأَمْرَانِ هَمُّ الدُّنْيَا وَشَقَاءُ الْآخِرَةِ قَالَ: قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، وَكَيْفَ لَا تَأْتِيهِ الْآخِرَةُ بِالسُّرُورِ وَهُوَ يَنْصَبُ لِلَّهِ فِي دَارِ الدُّنْيَا وَيَدْأَبُ؟ قَالَ: يَا أَبَا أَيُّوبَ، فَكَيْفَ بِالْقَبُولِ؟ وَكَيْفَ بِالسْلَامَةٍ؟ قَالَ: ثُمَّ قَالَ: كَمْ رَجُلٍ يَرَى أَنَّهُ قَدْ أَصْلَحَ شَأْنَهُ قَدْ أَصْلَحَ قُرْبَانَهُ قَدْ أَصْلَحَ هِمَّتَهُ قَدْ أَصْلَحَ عَمَلَهُ يُجْمَعُ ذَلِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يُضْرَبُ بِهِ وَجْهُهُ

Dari Muhammad bin Malik bin Dhaigham berkata, bekas budak kami Abu Ayyub telah menceritakan kepada kami, Abu Malik pernah menceritakan kepadaku pada suatu hari, “Wahai Abu Ayyub, waspadailah bahaya dirimu atas dirimu sendiri. Sesungguhnya aku melihat bahwa kedukaan seorang mukmin di dunia ini tak pernah berakhir. Maka demi Allah, seandainya Hari Akhirat tidak mendatangkan kebahagiaan bagi seorang muslim, niscaya sudah terkumpul dalam dirinya dua perkara: Kedukaan di dunia dan celaka di akhirat.” Beliau (Abu Ayyub) bertanya, “Bagaimana mungkin akhirat tidak membawa kebahagiaan buat dirinya, padahal dirinya telah berjibaku dan kepayahan di dunia?” Abu Malik menanggapi, “Bagaimana amalnya dapat diterima, dan bagaimana ia bisa selamat?” Beliau meneruskan, “Berapa banyak orang yang merasa telah berbuat baik, berkurban dengan baik, berniat baik, beramal baik; lalu semuanya itu dikumpulkan di Hari Kiamat nanti, dan dicampakkan ke wajahnya sendiri.”

Imam adz-Dzahabi menyatakan, Ahmad telah menceritakan kepada kami, Hammad telah menceritakan kepada kami, dari Ayyub diriwayatkan bahwa ia menceritakan,

أَدْرَكْتُ النَّاسَ هَا هُنَا, وَكَلاَمُهُم: إِنْ قُضِيَ وَإِنْ قُدِّرَ. وَكَانَ يَقُوْلُ: لِيتَّقِ اللهَ رَجُلٌ فَإِنْ زَهِدَ فَلاَ يَجْعَلَنَّ زُهْدَه عَذَاباً عَلَى النَّاسِ, فَلأَنْ يُخْفِيَ الرَّجُلُ زُهْدَه خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُعْلِنَه.

“Sesungguhnya di sini saya pernah mendapati mereka (ulama as-Salaf) yang menyatakan, ‘Apabila Allah menetapkan, apabila Allah menakdirkan.… Mereka juga biasa menyatakan, ‘Hendaknya seorang muslim itu bertakwa kepada Allah. Kalau ia berlaku zuhud, janganlah kezuhudannya itu menyusahkan orang lain. Kalau seseorang itu menyembunyikan kezuhudannya, itu lebih baik daripada ia menampakkannya.”

Dari Ja’far bin Burqan diriwayatkan bahwa ia menceritakan,

بَلَغَنِي عَنْ يُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ فَضْلٌ وَصَلَاحٌ، فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ: يَا أَخِي اكْتُبْ إِلَيَّ بِمَا أَنْتَ عَلَيْهِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ: أَتَانِي كِتَابُكَ تَسْأَلُنِي أَنْ أَكْتُبَ إِلَيْكَ بِمَا أَنَا عَلَيْهِ، وَأُخْبِرُكَ أَنِّي عَرَضْتُ عَلَى نَفْسِي أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لَهَا وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لَهَا، فَإِذَا هِيَ مِنْ ذَاكَ بَعِيدٌ، ثُمَّ عَرَضْتُ عَلَيْهَا مَرَّةً أُخْرَى تَرْكَ ذِكْرِهِمْ إِلَّا مِنْ خَيْرٍ، فَوَجَدْتُ الصَّوْمَ فِي الْيَوْمِ الْحَارِّ الشَّدِيدِ الْحَرِّ بِالْهَوَاجِرِ بِالْبَصْرَةِ أَيْسَرُ عَلَيْهَا مِنْ تَرْكِ ذِكْرِهِمْ، هَذَا أَمْرِي يَا أَخِي، وَالسَّلَامُ “

“Aku telah mendengar keshalihan dan keutamaan Yunus bin Ubaid, maka akupun menulis surat kepadanya, ‘Wahai saudaraku, kami telah mendengar keshalihan dan keutamaanmu. Maka kami senang menulis surat kepadamu. Tulislah surat kepada kami untuk menceritakan apa yang biasa engkau lakukan.’Maka beliau pun menulis surat kepadaku, ‘Surat anda telah sampai kepadaku yang menanyakan kepadaku tentang apa yang biasa kulakukan. Maka saya beritahu, bahwa saya telah menawarkan kepada diri saya sendiri, agar saya menyukai orang lain memiliki apa yang saya miliki, dan membenci orang lain mendapatkan apa yang saya benci untuk diri saya sendiri. Ternyata diri saya masih jauh dari semua itu. Kemudian saya tawarkan lagi agar diriku tidak menyebutkan keburukan orang lain, namun kudapati bahwa shaum di siang yang panas terik, di siang bolong di Bashrah, lebih mudah kulakukan daripada tidak menyebut aib mereka. Demikianlah kondisi diriku wahai saudaraku, wassalam.”

Muhammad bin al-Mutsanni diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Abdullah bin Sinan telah menceritakan kepada kami, ia berkata,

«كُنْتُ مَعَ ابْنِ المُبَارَكِ وَمُعْتَمِرِ بْنِ سُلَيْمَانَ بِطَرَسُوس، فَصَاحَ النَّاسُ: النَّفِيرَ النَّفِير؛ فَخَرَجَ ابْنُ المُبَارَكِ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ وَالنَّاس، فَلَمَّا اصطَفَّ الجَمْعَانِ خَرَجَ رُومِيٌّ فَطَلَبَ المُبَارَزَة؛ فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَجُلٌ، فَشَدَّ الْعِلْجُ عَلَيْهِ فَقَتَلَه؛ حَتىَّ قَتَلَ سِتَّةً مِنَ المُسْلِمِين، وَجَعَلَ يَتَبَخْتَرُ بَينَ الصَّفَّينِ يَطْلُبُ المُبَارَزَة، وَلاَ يَخْرُجُ إِلَيْهِ أَحَد؛ فَالْتَفَتَ إِلَيَّ ابْنُ المُبَارَكِ فَقَال: يَا فُلاَن؛ إِنْ قُتِلْتُ فَافْعَلْ كَذَا وَكَذَا، ثمَّ حَرَّكَ دَابَّتَهُ وَبَرَزَ لِلْعِلْج؛ فَعَالَجَ مَعَهُ سَاعَةً فَقَتَلَ الْعِلْج، وَطَلَبَ المُبَارَزَة، فَبَرَزَ لَهُ عِلْجٌ آخَرُ فَقَتَلَه، حَتىَّ قَتَلَ سِتَّةَ عُلُوج، وَطَلَبَ المُبَارَزَة؛ فَكَأَنَّهُمْ كَاعُواْ عَنهُ فَضَرَبَ دَابَّتَهُ، وَطَرَدَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ ثُمَّ غَابَ عَظَّمَ اللهُ أَجْرَهُ فَلَمْ نَشْعُرْ بِشَيْء، وَإِذَا أَنَا بِهِ في المَوْضِعِ الَّذِي كَان، فَقَالَ لي : يَا عَبْدَ الله؛ لَئِن حَدَّثْتَ بِهَذَا أَحَدَاً وَأَنَا حَيّ فَذَكَرَ كَلِمَةً»

“Aku pernah bersama Abdullah bin al-Mubarak dan Mu’tamar bin Sulaiman di Tortois. Orang-orang berteriak, “Musuh, musuh.” Ibnul Mubarak keluar, dan dia dapati dua kelompok sudah saling berhadapan. Seorang Romawi maju dan menantang perang tanding. Maka seorang lelaki (muslim) maju, maka lelaki kafir itu menerjang dan membunuhya. Begitu berlangsung terus hingga ia berhasil membunuh enam orang muslim. Ia dengan angkuh berdiri di antara dua kubu menantang perang tanding. Namun tak seorang pun yang melayaninya. Tiba-tiba Ibnul Mubarak menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Fulan, kalau aku terbunuh, kerjakan ini dan ini. Beliau lalu mengayuh tunggangannya dan menyerang lelaki kafir itu. Terjadilah pertarungan selama satu jam. Akhirnya beliau berhasil membunuh orang kafir tersebut dan menantang perang tanding. Seorang kafir lainnya maju menghadapi beliau, namun berhasil dibunuhya. Begitu terus berlangsung hingga beliau berhasil membunuh enam orang kafir. Beliau terus menantang bertanding, namun sepertinya mereka jadi penakut. Beliau lantas menghentakkan tunggangannya menembus dua kubu yang berhadapan lalu menghilang. Kami seolah-olah tidak merasakan kejadian apa-apa (saking terpananya). Tiba-tiba beliau sudah berada di sisiku seperti sebelumnya, seraya menandaskan, “Wahai Fulan, selama aku masih hidup, jangan engkau ceritakan hal ini kepada siapa-siapa.” Beliau lalu menyebutkan beberapa kata.”

Dari Ahmad bin Ishaq diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Al-Fath bin Abdussalam telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Umar dan Abu Ghalib Muhamad bin Ali serta Muhamad bin Ahmad ath-Thara’ifi telah mengabarkan kepada kami, mereka menceritakan, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad telah memberitakan kepada kami, Abul Fadhal Ubaidillah bin Abdurrahman telah memberitakan kepada kami, Ja’far bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, Amru bin Utsman al-Himshi telah menceritakan kepada kami, Baqiyyah telah menceritakan kepada kami, Shafwan bin Amru telah menceritakan kepada kami, Sulaim bin Amir telah menceritakan kepada kami, Jubeir bin Nufair telah menceritakan kepada kami

أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا الدَّرْدَاءِ، وَهُوَ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ وَقَدْ فَرَغَ مِنَ التَّشَهُّدِ يَتَعَوَّذُ بِاللَّهِ مِنَ النِّفَاقِ فَأَكْثَرَ مِنَ التَّعَوُّذِ مِنْهُ قَالَ: فَقَالَ جُبَيْرٌ: وَمَا لَكَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَنْتَ وَالنِّفَاقَ؟ فَقَالَ: دَعْنَا عَنْكَ فَوَاللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَقَلَّبُ عَنْ دِينِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ فَيُخْلَعُ مِنْهُ

bahwa ia pernah mendengar Abu Darda’ pada saat beliau hendak mengakhiri shalatnya dan sudah menyelesaikan tasyahhud, beliau memohon perlindungan dari kemunafikan dan memperbanyak permohonan tersebut. Maka Jubair bertanya, “Ada apa antara dirimu dan kemunafikan wahai Abud Darda’?” Beliau menjawab, “Biarkan apa yang kami lakukan, biarkan apa yang kami lakukan. Sesungguhnya bisa saja seorang lelaki itu Allah balikkan hatinya dalam satu saat, sehingga ia keluar dari agamanya.”

وعن الفِرْيَابي : حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ سَعِيدُ بْنُ يَعْقُوبَ الطَّالْقَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ هَارُونَ بْنِ رِئَابٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ: انْظُرُوا فُلَانًا – لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ – فَإِنِّي كُنْتُ قُلْتُ لَهُ فِي ابْنَتِي قَوْلًا كَشَبِيهِ الْعِدَّةِ وَمَا أُحِبُّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِثُلُثِ النِّفَاقِ وَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ زَوَّجْتُهُ

Dari al-Firyabi diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Abu Bakar Sa’id bin Ya’qub ath-Thaliqani telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin al-Mubarak telah menceritakan kepada kami, dari al-Auza’i, dari Harun bin Ri’ab (diriwayatkan) bahwa ketika Abdullah bin Amru sedang dalam sakaratul maut beliau berkata, “Coba kalian hubungi si Fulan, seorang lelaki dari Quraisy. Dahulu aku pernah mengatakan kepada ucapan yang menyerupai janji untuk menikahkannya dengan putriku. Dan aku tak ingin menemui Allah dengan sepertiga kemunafikan. Maka aku jadikan kamu sekalian sebagai saksi, bahwa aku telah mengawinkannya dengan putriku.”

Dari Musa bin al-Mu’alla diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Abu Hudzaifah pernah berkata,

” يَا مُوسَى ثَلَاثُ خِصَالٍ إِنْ كُنَّ فِيكَ لَمْ يَنْزِلْ مِنَ السَّمَاءِ خَيْرٌ إِلَّا كَانَ لَكَ فِيهِ نَصِيبٌ: يَكُونُ عَمَلُكَ لِلَّهِ، وَتُحِبُّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ , وَهَذِهِ الْكَسْرَةُ تَحَرَّ فِيهَا مَا قَدَرْتَ “

“Wahai Abu Musa, ada tiga kriteria yang apabila ketiganya ada pada dirimu, maka setiap turun kebaikan dari langit, pasti kamu dapat bagian: hendaknya amalan kamu hanya untuk Allah, hendaknya kamu menyukai untuk menjadi milik orang lain apa yang kamu sukai untuk menjadi milik kamu sendiri, dan soal kisrah (makanan) ini, jagalah kehalalannya sebisa kamu.”

وَرَوَى أَنَّ قَاصّاً كَانَ يَقرَبُ مُحَمَّدَ بنَ واسع, فقال: مالي أَرَى القُلُوْبَ لاَ تَخشعُ. وَالعُيُوْنَ لاَ تَدمعُ, وَالجُلُوْدَ لاَ تَقشَعِرُّ? فَقَالَ مُحَمَّدٌ: يَا فُلاَنُ! مَا أَرَى القَوْمَ أَتَوْا إلَّا مِنْ قِبَلِكَ, إِنَّ الذِّكْرَ إِذَا خَرَجَ مِنَ القَلْبِ وَقَعَ عَلَى القَلْبِ.

Diriwayatkan bahwa tukang cerita yang tinggal dekat dengan Muhammad bin Wasi’ berkata, “Kenapa kulihat hati manusia itu tidak bisa khusyu’, tidak bisa berlinang air matanya dan kulitnya tidak bisa merinding (mendengar ceritaku)?” Muhammad menjawab, “Wahai Fulan, karena kulihat orang-orang itu hanya mendapat cerita (kosong) dari dirimu. Apabila kata-kata itu berhulu dari hati, niscaya ia akan sampai ke hati.”

Dari Abdush Shamad bin Abdul Lathif diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Muhammad bin Dzakwan telah menceritakan kepada kami, Khalid bin Shafwan telah menceritakan kepada kami, ia menceritakan,

«لَقِيتُ مَسْلَمَةَ بْنَ عَبْدِ المَلِكِ فَقَال: يَا خَالِد؛ أَخْبِرْني عَن حَسَنِ أَهْلِ الْبَصْرَة؟ قُلْتُ: أَصْلَحَكَ الله؛ أُخْبِرُكَ عَنهُ بِعِلْم: أَنَا جَارُهُ إِلىَ جَنْبِه، وَجَلِيسُهُ في مَجْلِسِه، وَأَعْلَمُ مَنْ قِبَلِي بِهِ: أَشْبَهُ النَّاسِ سَرِيرَةً بِعَلاَنِيَة، وَأَشْبَهُهُ قَوْلاً بِفِعْل، إِنْ قَعَدَ عَلَى أَمْرٍ قَامَ بِهِ، وَإِنْ قَامَ عَلَى أَمْرٍ قَعَدَ عَلَيْه، وَإِن أَمَرَ بِأَمْرٍ كَانَ أَعْمَلَ النَّاسِ بِهِ، وَإِنْ نَهَى عَنْ شَيْءٍ كَانَ أَتْرَكَ النَّاسِ لَهُ، رَأَيْتُهُ مُسْتَغْنِيَاً عَنِ النَّاس، وَرَأَيْتُ النَّاسَ مُحْتَاجِينَ إِلَيْه؛ قَالَ مَسْلَمَةُ بْنُ عَبْدِ المَلِك: حَسْبُك، كَيْفَ يَضِلُّ قَوْمٌ هَذَا فِيهِمْ»

“Aku pernah memjumpai Maslamah bin Abdul Malik. Ia berkata, ‘Wahai Khalid, beritahukan kepadaku tentang Hasan, seorang penduduk Bashrah.’ Aku menanggapi, ‘Semoga Allah memberimu kebaikan. Akan Aku beritahukan. Aku adalah tetangga di samping rumahnya. Aku juga belajar di majelisnya. Aku tahu tentang dirinya sendiri. Beliau orang yang paling mirip antara amalannya yang nampak dengan yang tidak nampak (karena keikhlasannya, pent.), orang yang paling mirip ucapan dengan perbuatannya, kalau menetapkan kaidah satu perbuatan, beliau akan melaksanakannya, dan apabila beliau melaksanakan perbuatan, beliau mendasarinya dengan kaidah, kalau beliau memerintahkan sesuatu, beliau menjadi orang paling mengamalkannya dan apabila melarang satu perbuatan, beliau yang Paling menjauhinya. Aku melihat beliau tidak membutuhkan orang lain, namun orang lain begitu membutuhkannya.’ Maslamah berkata, ‘Cukup sudah. Bagaimana mungkin satu kaum akan sesat, kalau orang seperti beliau ada diantara mereka.”

Aun bin Umarah berkata,

سَمِعْتُ هِشَاماً الدَّسْتُوَائِيَّ يَقُوْلُ: وَاللهِ مَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقُوْلَ إِنِّي ذَهَبتُ يَوْماً قَطُّ أَطْلُبُ الحَدِيْثَ، أُرِيْدُ بِهِ وجه الله عز وجل.

Aku pernah mendengar Hisyam ad-Dustuwa’i menyatakan, “Demi Allah, aku tak berani menyatakan sama sekali bahwa suatu hari aku pernah pergi mencari hadits karena Allah semata.”

قُلْتُ: وَاللهِ وَلاَ أَنَا، فَقَدْ كَانَ السَّلَفُ يطلبون العلم لله، قنبلوا، وَصَارُوا أَئِمَّةً يُقتَدَى بِهِم، وطَلَبَهُ قَوْمٌ مِنْهُم أَوَّلاً لاَ للهِ، وَحَصَّلُوْهُ ثُمَّ اسْتَفَاقُوا، وَحَاسَبُوا أَنْفُسَهُم، فَجَرَّهُمُ العِلْمُ إِلَى الإِخْلاَصِ فِي أَثنَاءِ الطَّرِيْقِ، كَمَا قَالَ مُجَاهِدٌ، وَغَيْرُهُ: طَلَبْنَا هَذَا العِلْمَ وَمَا لَنَا فِيْهِ كَبِيْرُ نِيَّةٍ، ثُمَّ رَزَقَ اللهُ النِّيَّةَ بَعْدُ. وَبَعْضُهُم يَقُوْلُ: طَلَبْنَا هَذَا العِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَى أَنْ يَكُوْنَ إِلاَّ للهِ، فَهَذَا أَيْضاً حَسَنٌ, ثُمَّ نَشَرُوْهُ بنية صالحة.

Menurut hemat saya (adl-Dzahabi), demi Allah, demikian juga halnya dengan saya. Dahulu generasi as-Salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka pun jadi terhormat dan menjadi para imam panutan. Kemudian datang kaum lain yang menuntut ilmu yang pada mulanya bukan karena Allah dan berhasil memperolehnya. Namun kembali ke jalan yang lurus dan mengintropeksi dirinya sendiri, dan akhirnya ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Mujahid dan lainnya, “Dahulu kami menuntut ilmu tanpa niat yang tinggi. Namun kemudian Allah menganugerahi niat sesudah itu.” Sebagian ulama menyatakan, “Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah.” Yang demikian juga bagus. Karena pada akhirnya mereka menebarkan ilmu tersebut dengan niat yang shalih.

وَقَوْمٌ طَلَبُوْهُ بِنِيَّةٍ فَاسِدَةٍ لأَجْلِ الدُّنْيَا، وَلِيُثْنَى عَلَيْهِمْ فَلَهُمْ مَا نَوَوْا. قال عليه السلام: “مَنْ غَزَا يَنْوِي عِقَالاً, فَلَهُ مَا نَوَى” .

Ada juga kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk kenikmatan dunia. Mereka sungguh patut disesali. Mereka akan memperoleh apa yang mereka niatkan. Nabi bersabda, Barangsiapa yang berjihad dan berniat mendapatkan tali pegikat hewan gembalaan, maka itulah yang akan diperolehnya.”

وَترَى هَذَا الضَّربَ لَمْ يَسْتَضِيْؤُوا بِنُوْرِ العِلْمِ، وَلاَ لَهُم، وَقْعٌ فِي النُّفُوْسِ، وَلاَ لِعِلْمِهِم كَبِيْرُ نَتِيجَةٍ مِنَ العَمَلِ، وَإِنَّمَا العَالِمُ مَنْ يَخشَى اللهَ- تَعَالَى.

Bisa kita lihat, orang-orang semacam itu tidaklah mengambil pancaran cahaya ilmu, semua perbuatannya itu juga tidak berbekas di hati mereka, ilmu mereka juga kurang berguna membentuk amalan. Sesungguhnya orang yang alim hanyalah yang takut kepada Allah.

وَقَوْمٌ نَالُوا العِلْمَ، وَوُلُّوا بِهِ المَنَاصِبَ, فَظَلَمُوا، وَتَرَكُوا التَّقَيُّدَ بِالعِلْمِ، وَرَكِبُوا الكَبَائِرَ، وَالفَوَاحِشَ, فَتَبّاً لَهُم, فَمَا هَؤُلاَءِ بِعُلَمَاءَ!.

Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakan untuk mendapatkan jabatan, sehingga mereka berbuat zhalim, tidak lagi berpegang pada etika keilmuannya, melakukan perbuatan keji dan dosa-dosa besar. Mereka sungguh celaka. Mereka bukanlah para ulama.

وَبَعْضُهُم لَمْ يَتَقِّ اللهَ فِي عِلْمِهِ, بَلْ رَكِبَ الحِيَلَ، وَأَفْتَى بِالرُّخَصِ، وَرَوَى الشَّاذَّ مِنَ الأَخْبَارِ. وَبَعْضُهُم اجْتَرَأَ عَلَى اللهِ، وَوَضَعَ الأَحَادِيْثَ فَهَتَكَهُ اللهُ، وَذَهَبَ عِلْمُهُ، وَصَارَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ.، وَهَؤُلاَءِ الأَقسَامُ كُلُّهُم رَوَوْا مِنَ العِلْمِ شَيْئاً كَبِيْراً، وَتَضَلَّعُوا مِنْهُ فِي الجُمْلَةِ فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِم خَلْفٌ باَنَ نَقْصُهُم فِي العِلْمِ، وَالعَمَلِ، وَتَلاَهُم قَوْمٌ انْتَمَوْا إِلَى العِلْمِ فِي الظَّاهِرِ، وَلَمْ يُتْقِنُوا مِنْهُ سِوَى نَزْرٍ يَسِيْرٍ أَوْهَمُوا بِهِ أَنَّهُم عُلَمَاءُ فُضَلاَءُ، وَلَمْ يَدُرْ في أذهانهم قَطُّ أَنَّهُم يَتَقَرَّبُوْنَ بِهِ إِلَى اللهِ, لأَنَّهُم مَا رَأَوْا شَيْخاً يُقْتَدَى بِهِ فِي العِلْمِ, فَصَارُوا هَمَجاً رَعَاعاً, غَايَةُ المُدَرِّسِ مِنْهُم أَنْ يُحَصِّلَ كُتُباً مُثَمَّنَةً, يَخْزُنُهَا وَيَنْظُرُ فِيْهَا يَوْماً مَا, فَيُصَحِّفُ مَا يُوْرِدُهُ، وَلاَ يُقَرِّرُهُ. فَنَسْأَلُ اللهَ النَّجَاةَ وَالعَفْوَ, كَمَا قَالَ بَعْضُهُم: مَا أَنَا عَالِمٌ، وَلاَ رَأَيتُ عَالِماً.

Sebagian di antara mereka ada juga yang tidak takut kepada Allah dengan ilmunya. Mereka justru mencari berbagai legalisasi, (untuk bermaksiat), memfatwakan berbagai keringanan-keringanan hukum dan meriwayatkan hadits-hadits yang syadz (ganjil). ‘ Sebagian lagi malah berbuat nekat terhadap Allah dan memalsukan hadits-hadits. Maka Allah pun menghancurkan mereka. Mereka tinggal memiliki bekal menuju neraka. Seluruh kelompok-kelompok tersebut belajar dan mengajarkan ilmu dalam jumlah banyak. Secara umum mereka begitu mendalami dunia ilmu. Sepeninggal mereka muncullah generasi yang kurang dalam ilmu dan amal sekaligus. Mereka lalu diiringi oleh kelompok lain yang menisbatkan dirinya secara zhahir sebagai ahli ilmu, namun hanya sedikit sekali ilmu yang mereka kuasai. Dengan modal itu mereka keliru beranggapan sebagai para ulama yang terhormat. Dalam otak mereka tidak pernah terbetik bahwa mereka mencari ilmu tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena mereka belum pernah melihat seorang guru yang patut dijadikan panutan dalam ilmunya. Mereka menjadi orang-orang yang tak terkendali. Paling jauh, seorang guru di kalangan mereka hanya bisa mengumpulkan buku-buku yang mahal harganya, untuk disimpan dan dilihat-lihat suatu hari. Sehingga riwayat-riwayat yang dia sampaikan sudah termanipulasi, tidak punya standar yang tetap. Kita memohon ampunan dan keselamatan. Sebagaimana diungkapkan sebagian mereka, “Aku bukanlah seorang ulama, namun aku juga belum pernah melihat ulama.

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيْسَى قَالَ: كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكُ كَثِيْرُ الْاِخْتِلاَفِ إِلَى طَرْسُوْسَ وَكَانَ يَنْزِلُ الرِّقَّةَ فِيْ خَانَ فَكَانَ شَابٌّ يَخْتَلِفُ إِلَيْهِ وَيَقُوْمُ بِحَوَائِجِهِ، وَيَسْمَعُ مِنْهُ الْحَدِيْثَ، قَالَ: فَقَدِمَ عَبْدُ اللهِ: الرِّقَّةَ مَرَّةً فَلَمْ يَرَ ذَلِكَ الشَّابَّ، وَكَانَ مُسْتَعْجَلًا فَخَرَجَ فِيْ النَّفِيْرِ فَلَمَّا قَفَلَ مِنْ غَزْوَتِهِ، وَرَجَعَ الرِّقَّةَ سَأَلَ عَنِ الشَّابِّ قَالَ: فقَالُوا إِنَّهُ مَحْبُوْسٌ لِدَيْنٍ رَكِبَهُ، فقَال عبدُ اللَّهِ وَكَمْ مَبْلَغَ دَيْنِهِ؟ فقَالُوا: عَشَرَةَ آلاَفِ دِرْهَمٍ، فَلَمْ يَزَلْ يَسْتَقْصِي حَتَّى دُلَّ عَلَى صَاحِبِ الْمَالِ، فَدَعَا بِهِ لَيْلًا وَوَزِنَ لَهُ عَشَرَةَ آلاَفِ دِرْهَمٍ، وَحَلَفَهُ أَنْ لاَ يُخْبِرَ أَحَدًا مَا دَامَ عَبْدُ اللَّهِ حَيًّا، وقَالَ إذا أَصْبَحَتْ فَأَخْرِجْ الرَّجُلَ مِنَ الْحَبْسِ،

Dari Muhammad bin Isa diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Abdullah bin al-Mubarak biasa berbolak-balik ke Tortois. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan Ada seorang pemuda yang melayani mondar-mandir mengurus kebutuhan beliau sambil belajar hadits. Diriwayatkan bahwa suatu hari beliau mampir ke penginapan itu namun tidak mendapati pemuda itu. Kala itu beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama sekelompok kaum muslimin. Sepulangnya dari peperangan, beliau kembali ke penginapan tersebut dan menanyakan tentang pemuda tersebut. Orang-orang memberitakan bahwa pemuda itu ditahan akibat hutang yang belum dibayarnya. Maka Abdullah bin al-Mubarak bertanya, ‘Berapa jumlah hutangnya?’ Mereka menjawab, ‘Sepuluh ribu dirham.’ Beliau segera menyelidiki sampai beliau dapatkan pemilik hutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam hari dan langsung menghitung dan membayar hutang pemuda tadi. Namun beliau meminta lelaki itu untuk tidak memberitahukan kejadian itu kepada siapa-siapa selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Apabila datang pagi, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan.”

وَأُدْلِجَ عَبْدُ اللَّهِ، فَأُخْرِجَ الْفَتَى مِنَ الْحَبْسِ، وَقِيْلَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكُ كَانَ هَاهُنَا، وَكَانَ يَذْكُرُكَ، وَقَدْ خَرَجَ. فَخَرَجَ الْفَتَى فِي أَثَرِهِ فَلَحِقَهُ عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ- أَوْ ثَلاَثٍ- مِنَ الرِّقَّةِ، فقَالَ: يَا فَتًى أَيْنَ كُنْتَ، لَمْ أَرَكَ فِي الْخَانِ؟ قَالَ: نَعَمْ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كُنْتُ مَحْبُوْسًا بِدَيْنٍ قَالَ: فَكَيْفَ كَانَ سَبَبُ خَلاَصِكَ؟ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ فَقَضَى دَيْنِيْ وَلَمْ أَعْلَمْ بِهِ حَتَّى أُخْرِجْتُ مِنَ الْحَبْسِ، فقَالَ له عبد اللَّه: يَا فَتًى اِحْمَدِ اللَّهَ عَلَى مَا وَفَّقَ لَكَ مِنْ قَضَاءِ دَيْنِكَ. فَلَمْ يُخْبِرْ ذَلِكَ الرَّجُلَ أحدًا إلاَّ بَعْدَ مَوْتِ عبدِ اللَّهِ.

Abdullah segera pulang, dan pemuda itupun segera dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya, ‘Kemarin Abdullah bin al-Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang sudah keluar.’ Si pemuda segera menyusuri jejak Abdullah dan berhasil menjumpai beliau kira dua atau tiga marhalah dari penginapan. Beliau (Abdullah) bertanya, ‘Kemana saja engkau? Saya tidak melihat engkau di penginapan.’ Pemuda itu menjawab, ‘Betul wahai Abu Abdurrahman, saya ditahan karena hutang.’ Beliau bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana engkau dibebaskan?’ Ada seseorang yang datang membayarkan hutangku. Sampai aku dibebaskan, aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.’ Maka beliau berkata, ‘Wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga lepas dari hutang.’ Lelaki pemilik hutang itu tidak pernah memberitahukan kepada siapa pun sampai Adullah bin al-Mubarak wafat.”

Dari Abu Ja’far al-Hadzdza’ diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Aku pernah mendengar Ibnu Uyainah berkata, ‘Apabila amalan hati bersesuaian dengan amalan zhahir, itulah keadilan. Apabila amalan hati lebih baik dari amalan zhahir, itulah keutamaan. Dan apabila perbuatan zhahir itu lebih bagus dari amalan hati, itulah keculasan.” Shifatush Shafwah 2/234.

Dari Abdullah bin al-Mubarak diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, “Mengapa ucapan ulama as-Salaf lebih berguna dari ucapan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan keridhaan ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia dan keridhaan manusia.” Shifatush Shafwah 4/22.

An-Nadhiru bin Sumeil berkata, “Suatu saat harga sutera di satu tempat naik, di mana apabila harga di tempat itu naik, otomatis harga di Bashrah juga naik. Kebetulan Yunus bin Ubaid adalah pedagang sutera. Beliau mengetahui kejadian itu, maka beliau membeli barang dari seorang lelaki seharga tiga puluh ribu. Beberapa waktu berselang, beliau bertanya kepada pemilik asal barang itu, ‘Apakah engkau tahu bahwa pada saat barang itu engkau jual kepadaku, harganya sedang tinggi di negeri anu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak, kalau kutahu tak akan kujual.’ Beliau pun berkata, ‘Kalau begitu kembalikanlah uangku, dan ambil kembali barangmu ini’ Maka lelaki itu mengembalikan kepada beliau uangnya yang berjumlah tiga puluh ribu.” Siyar A’lam an-Nubala’,6/293.

Dari Bisyr diriwayatkan bahwa ia pernah ditanya, “Apakah anda tidak menyampaikan hadits?” Beliau menjawab, “Sekarang aku sedang berkeinginan untuk menyampaikannya. Kalau sedang berkeinginan untuk melakukan sesuatu aku justru meninggalkannya.” Siyar A’lam an-Nubala’,10/470.

Dari Fudhail bin Iyadh ia menceritakan, “Wahai orang yang sengsara, kamu orang jahat tetapi menganggap dirimu baik Kamu itu orang bodoh tetapi menganggap dirimu pintar. Kamu pandir, tetapi menganggap dirimu cerdik. Umurmu pendek, tetapi angan-anganmu panjang.”

Menurut saya (Imam adz-Dzahabi), “Demi Allah, sungguh benar apa yang beliau nyatakan. Kita ini zhalim, tetapi justru merasa dizhalimi. Tukang memakan yang haram, tetapi merasa diri kita orang suci. Fasik, tetapi merasa diri kita shalih. Mencari ilmu untuk mengejar dunia, tetapi merasa mencarinya karena Allah semata.” Siyar A’lam an-Nubala’,8/440.

Yusuf bin Ahmad asy-Syairazi pernah menyatakan dalam bukunya Arba’in al-Buldan (kisah di empat puluh negeri), “Tatkala aku mengembara menemui guru kita, tujuan pengembaraan kita di dunia, sandaran masa kini dan bapaknya perjalanan waktu, Allah menakdirkan diriku untuk dapat menemuinya di ujung negeri Karaman. Aku segera memberi salam kepadanya, menciumnya dan duduk di hadapannya. Beliau lalu bertanya kepadaku, ‘Angin apa yang membawamu datang ke negeri ini?’ Aku menjawab, ‘Tujuanku adalah mencarimu, sandaranku setelah Allah adalah dirimu. Aku telah menulis setiap yang sampai kepadaku dari haditsmu dengan tanganku sendiri, aku datang menemuimu dengan kakiku sendiri; untuk mendapatkan berkah nafasmu dan memperoleh bagian dari ketinggian sanadmu.’ Beliau menanggapi, ‘Semoga Allah mengaruniai taufik kepada kita semua menuju keridhaanNya, menjadikan usaha dan tujuan kita hanya kepada-Nya. Apabila engkau mengetahui siapa diriku sebenarnya, niscaya engkau tidak akan memberi salam kepadaku dan tidak akan duduk belajar di hadapanku.’ Lalu beliau menangis lama sekali dan membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Kemudian beliau berkata, ‘Ya Allah, tutupilah dosa-dosa kami dengan hijab-Mu yang terbaik, seusai Engkau tutupi dosa-dosa kami, sisakan perbuatan yang membuat-Mu ridha kepada kami’.”

Beliau melanjutkan, “Wahai anakku, kamu tentu tahu, bahwa aku dahulu juga mengembara mencari hadits shahih dengan berjalan kaki bersama ayahku dari Harat menuju Dawudi di Posang, umurku kala itu belum genap sepuluh tahun. Biasanya ayahku meletakkan dua buah batu di genggaman dua tanganku sambil berkata, ‘Bawa kedua batu itu.’ Saking takutnya, aku membawa batu itu dengan hati-hati sambil berjalan, sementara ayahku terus memantau diriku. Apabila beliau telah melihat diriku kelelahan, beliau menyuruhku untuk melemparkan satu dari dua batu itu. Aku pun melemparkannya sehingga terasa lebih ringan. Aku terus berjalan, hingga terlihat kelelahanku. Setelah itu beliau bertanya, ‘Kamu capek?’ Karena takut, aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau bertanya lagi, ‘Kalau begitu, kenapa engkau perlambat jalanmu?’ Maka aku segera berjalan cepat-cepat di depan beliau selama satu jam. Setelah itu aku lemas. Beliau segera mengambil batu yang satunya dan membuangnya. Aku lalu berjalan hingga tak sanggup lagi. Saat itulah beliau memanggul dan membawaku. Di tengah jalan kami bertemu dengan sekelompok petani dan lain-lain. Mereka berkata, ‘Wahai Syaikh Isa, biarkan kami memboncengkan anak itu, bila perlu dengan engkau sekalian menuju Posang.’ Beliau menjawab, ‘Kami berlindung kepada Allah untuk berkendaraan dalam mencari hadits-hadits Rasulullah. Kami berjalan saja. Kalau anakku capek, biarkan aku menggendongnya di atas kepalaku demi memuliakan hadits Rasulullah dan mengharapkan pahala dari-Nya.’ Sang guru melanjutkan, ‘Tidak ada teman seangkatanku yang masih hidup hingga kini. Hanya aku yang masih hidup. Sehingga berbagai utusan (penuntut ilmu) mendatangiku dari berbagai penjuru.’ Kemudian beliau meminta kepada sahabat kami Abdul Baqi bin Abdul Jabbar al-Harawi untuk menyuguhkan makanan ringan buat kami. Aku segera berujar, ‘Wahai tuan, membaca satu juz karya Abu Ashim lebih aku sukai daripada memakanan makanan ringan itu.’ Beliau tersenyum seraya berkata, ‘Apabila sudah masuk makanannya nanti, akan keluar pembicaraan kita’ Beliau segera menyuguhkan makanan basah, dan langsung kami santap. Lalu aku mengeluarkan Juz Abu Ashim tersebut dan meminta beliau untuk mengeluarkan naskah aslinya. Beliaupun segera mengeluarkan aslinya. Beliau berkata, ‘Jangan khawatir dan jangan keburu nafsu. Sesungguhnya aku telah banyak melahirkan murid-murid yang kini telah tiada. Mintalah keselamatan dari Allah.’ Aku pun segera membaca juz tersebut, dan aku sungguh senang sekali. Lalu Allah memberi kemudahan bagiku untuk mempelajari hadlts-hadlts dalam ash-Shahih dan yang lainnya berkali-kali. Aku terus menemam dan merawat beliau hingga beliau wafat di Baghdad malam Selasa bulan Dzulhijjah. Siyar A’lam an-Nubala’,20/307,308.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top