عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالاً مِنْ نَخْلٍ وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ وكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} (آل عمران:92)
320. Dari Anas, dia bercerita: Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling kaya dengan pohon kurma di Madinah. Harta kekayaan yang paling dicintainya adalah kebun Bairaha’ yang menghadap (dekat dengan) masjid. Rasulullah sering masuk kebun itu dan minum air segar yang ada di dalamnya. Anas berkata: “Ketika ayat ini turun: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai,”
قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ: (لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ)
(maka) bangkitlah Abu Thalhah menghadap Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’aala telah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai,”
وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ قَالَ
dan bahwasanya kekayaanku yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’, dan kebun itu aku Shadaqahkan karena Allah Ta’ala dengan mengharapkan kebajikan dan simpanan di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah ya Rasulullah sesuai dengan petunjuk Allah yang diberikan kepadamu.”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ” فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
Maka Rasulullah bersabda: “Bagus, itu adalah harta yang menguntungkan. Itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan tadi, dan aku berpendapat, hendaklah engkau membagikan kebun itu kepada sanak kerabat.” Kemudian Abu Thalhah berkata: “Aku akan lakukan, ya Rasulullah.” Maka Abu Thalhah pun membagi-bagikan kebun itu untuk sanak kerabat dan keponakan-keponakannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Kandungan hadits:
1. Keutamaan infak dengan menggunakan kekayaan yang paling baik dan paling dicintai seorang hamba.
2. Kesegeraan para Sahabat untuk memenuhi perintah Allah, serta keinginan keras mereka untuk mencapai tingkatan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
3. Menyerahkan kepada para ulama dan orang-orang bijak untuk membagikan dan mengalokasikan shadaqah kepada hal-hal yang baik.
4. Diperbolehkan memanfaatkan masjid untuk hal-hal yang bersifat umum demi kepentingan kaum muslimin.
5. Perintah untuk berbuat baik dan memberikan pujian kepada para pelakunya seraya memperlihatkan kegembiraan dan rasa kagum terhadap apa yang telah mereka lakukan.
6. Orang-orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan baik adalah kaum kerabat dan keluarga.
7. Diperbolehkan masuk kebun untuk berteduh dan minum air yang terdapat di dalamnya, khususnya jika pemiliknya merasa senang dengan tindakan tersebut.
8. Di dalam hadits tersebut rerdapat keutamaan Abu Thalhah, karena ayat al-Qur-an di atas mencakup perintah untuk menginfakkan harta yang dicintai, sehingga menggerakkan hati Abu Thalhah untuk menginfakkan harta yang paling dia cintai. Kemudian Rasulullah membenarkan pendapatnya itu dengan mengatakan: “Bagus, yang demikian itu merupakan harta yang beruntung.”
9. Harta kekayaan yang dipersembahkan ke hadapan Rabbnya dan disimpan di sana untuk suatu hari yang pada hari itu tidak bermanfaat harta dan anak-anak merupakan harta yang beruntung dan perdagangan yang tidak akan pernah merugi, karena:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang ada pada sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. ” (QS. An-Nahl: 96)
وعن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ؛ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ، أَبْتَغِي الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ
321. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dia berkata: “Ada seseorang yang datang kepada Nabi Allah seraya berkata: “Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan hanya mengharapkan pahala dari Allah semata.”
قَالَ «فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ؟ قَالَ نَعَمْ، بَلْ كِلاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا» مسلم
Beliau bertanya: “Apakah ada salah seorang dari kedua orang tuamu yang masih hidup” Ya, bahkan keduanya masih hidup,” jawab orang itu. Maka beliau bersabda: “Jadi, kamu mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala?” Dia menjawab: “Ya,” Beliau pun bersabda: “Kalau begitu kembalilah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah keduanya dengan baik,” (Muttafaq ‘alaih). Dan hadits di atas adalah lafazh milik Muslim.
وفي رواية لهما: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ، فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ «فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ»
Dan dalam riwayat lain yang juga milik al-Bukhari dan Muslim disebutkan: “Seseorang datang dan meminta izin kepada beliau untuk ikut berjihad, maka beliau bersabda: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya, masih.” Maka beliau bersabda: “Kepada keduanya saja engkau berjihad.”
Pengesahan hadits: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VI/140-Fat-h) dan juga Muslim (2549).
Kandungan hadits:
1. Kewajiban untuk berhijrah dan berjihad.
2. Seorang muslim hendaklah mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala pada apa yang dia kerjakan dan apa yang dia tinggalkan.
3. Berbuat kebajikan kepada kedua orang tua merupakan kewajiban yang paling utama.
4. Jika semua muslim mampu memelihara agama dan ketakwaannya dengan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, maka yang demikian itu merupakan hal yang baik. Dan bagi yang tidak mampu kecuali dengan melarikan diri demi menjunjung tinggi agamanya, maka dia harus mengutamakan agamanya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu dari kalangan orang-orang Muhajirin.
5. Mendahulukan berbuat baik kepada kedua orang tua atas amalan fardhu kifayah dan ibadah sunnah.
6. Dibolehkan mengungkapkan sesuatu dengan lawan katanya (kata sebaliknya) jika maknanya bisa difahami. Dengan demikian, sabda Rasulullah: “Kepada keduanya saja engkau berjihad,” secara lahiriyah adalah menimpakan mudharat yang ditimpakan pihak lain kepada keduanya. Dan sudah pasti bukan hal itu yang dimaksudkan, akan tetapi yang dimaksudkan adalah memberikan bagian bersama-sama dalam bentuk beban jihad yang berupa lelah fisik dan pengeluaran dana dan biaya.
7. Setiap sesuatu yang memberatkan jiwa disebut sebagai jihad.
8. Orang yang dimintai nasihat harus dapat dipercaya, dan dia harus memberikan nasihat murni.
9. Diperbolehkan bagi mukallaf (orang yang diberi beban) untuk meminta rincian mengenai amalan ketaatan yang terbaik untuk dapat dikerjakannya.
وعَنْهُ عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”
322. Dari ‘Abdullah bin ‘Arnr bin al-‘Ash, dari Nabi, beliau bersabda: “Orang yang menghubungkan persaudaraan itu bukanlah orang yang memberi jaminan, tetapi orang yang menghubungkan persaudaraan adalah orang yang jika kaum kerabatnya memutuskan hubungan maka dia menyambungnya.” (HR. Al-Bukhari)
Pengesahan hadits: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (X/423).
Kandungan hadits:
1. Seorang muslim harus memulai menyambung hubungan dengan kaum kerabatnya, dan terus melakukan hal tersebut meski mereka tidak menerima atau mengimbangi tindakannya itu dengan kebaikan.
2. Kewajiban untuk mengikhlaskan amal perbuatan hanya untuk Allah semata, meskipun Dia tidak mendatangkan kebaikan di dunia, maka di akhirat kebaikan akan selalu bersamanya.
3. Kejahatan yang dilakukan terhadap orang muslim tidak boleh menjadikannya memutuskan perbuatan baik dengan orang yang berbuat jahat kepadanya.
4. Silaturahmi yang ditetapkan syari’at adalah menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi maaf kepada orang yang berbuat zhalim kepadamu, memberi orang yang tidak mau memberi padamu, dan silaturahmi itu bukanlah penyambungan hubungan yang mengharapkan balasan. Namun jika hal itu terjadi dari anggota keluarga dengan tanpa disengaja dan tidak juga memantaunya (untuk memperolehnya), maka yang demikian itu merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan hanya milik Allah karunia yang agung.