4. Darah, kecuali darah haidh dan nifas
Tidak ada perselisihan ulama mengenai najisnya darah haidh. Adapun darah-darah yang lainnya adalah suci, baik darah manusia maupun darah hewan yang boleh dimakan dagingnya, karena pada asalnya hukum setiap benda adalah suci. Di sini hukum asal itu masih berlaku. Jadi, tidak boleh meninggalkan hukum asal melainkan dengan nash yang shahih.
Di antara dalilnya: Kisah seorang Sahabat Anshar yang terkena tiga anak panah ketika sedang mengerjakan shalat. Namun ia tetap meneruskan shalatnya, padahal darah mengalir dari lukanya. Itu terjadi pada Perang Dzatur Riqa’.
Syaikh al-Albani berkata: “Zhahirnya, Nabi pasti mengetahui hal itu, tidak mungkin beliau tidak mengetahui peristiwa sebesar ini. Meskipun demikian, tak ada riwayat dari beliau yang menjelaskan bahwa shalat Sahabat tersebut batal, seperti yang diungkapkan oleh asy-Syaukani (I/165).
Dan demikian juga dengan perkataan al-Hasan: “Kaum muslimin tetap melakukan shalat meskipun terdapat luka pada tubuh mereka.”
Dari Muhammad bin Sirin, dari Yahya al-Jazzar, dia berkata: “Ibnu Mas’ud shalat, sementara pada perutnya terdapat kotoran dan darah hewan yang disembelihnya, dan beliau tidak mengulangi wudhunya.”
Diriwayatkan secara shahih juga dari Ibnu Mas’ud; la menyembelih seekor unta hingga tubuhnya berlumuran darah dan kotoran unta tersebut. Lalu, shalat pun ditegakkan dan beliau mengerjakannya tanpa memperbarui wudhunya.”
Catatan
Mereka yang berpendapat darah itu najis, tidak memiliki hujjah yang dapat mendukung pendapat mereka. Memang, darah haram berdasar nash al-Qur-an. Mereka pun berkata bahwa pengharaman berkonsekuensi kepada hukum najis, seperti yang mereka lakukan terhadap khamer. Namun, sebetulnya pengharaman tidaklah berkonsekuensi kepada hukum najis, tidak demikian sebaliknya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ash-Shan’ani dalam Subulus Salam, juga oleh asy-Syaukani dan ulama lainnya …”
Syaikh al-Albani mengatakan: “Kesimpulannya, tidak ada dalil yang kami ketahui mengenai najisnya darah dengan berbagai macam jenisnya, kecuali darah haidh. Adapun klaim bahwa adanya kesepakatan ulama terhadap najisnya darah, maka hal itu batal dengan dalil yang telah disebutkan. Hukum asal darah itu adalah suci, dan ia tidak dapat diubah selain dengan nash shahih yang membolehkan perubahan dari hukum asal. Jika tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut maka harus tetap berpedoman pada hukum asalnya, dan itulah yang wajib. Wallahu a’lam.”
Asy-Syaukani menyebutkan hal serupa dalam kitab as-Sailul Jarrar dan ad-Dararil Mudhiyyah.
5. Lendir yang keluar dari kemaluan wanita
Lendir yang keluar dari kemaluan wanita adalah suci, berdasarkan kaidah hukum asal, sebagaimana yang telah beberapa kali disebutkan sebelumnya. Tidak ada seorang ulama pun yang menyebutkan bahwa lendir itu termasuk najis.
Syaikh al-Muwaffaq dan ulama lainnya ber-hujjah atas sucinya lendir yang keluar dari kemaluan wanita sebagai berikut: “Bahwasanya mani laki-laki ketika melakukan jima’ pasti bercampur dengan mani perempuan. Kalau mani wanita tersebut najis, tentu Rasulullah tidak membersihkan mani hanya dengan mengeriknya.” (Fat-hul Bari, syarah hadits 230).
6. Muntahan Manusia
Muntahan manusia adalah suci karena hukum asal (segala sesuatu) adalah suci, dan hukum itu tidak boleh dirubah kecuali dengan dalil.
Dalam as-Sailul Jarrar (I/43), asy-Syaukani berkata: “Kami telah menjelaskannya kepada Anda pada awal kitab Thaharah ini, bahwasanya hukum asal seluruh benda adalah suci; dan kita tidak boleh memindahkannya dari hukum asal ini, kecuali dengan riwayat yang shahih yang bisa dijadikan sebagai hujjah, di samping tidak bertentangan dengan hukum yang lebih kuat atau yang sama dengannya. Jika ditemukan (riwayat yang shahih itu) maka itulah yang dipakai.
Namun, jika tidak, maka harus menahan diri untuk tidak menjatuhkan hukum najis. Karena itu, kita mengatakan kepada orang yang menganggapnya najis: “Anggapan najis itu berkonsekuensi bahwasanya Allah mewajibkan sesuatu pada hamba-Nya, yaitu mencuci benda-benda yang di anggap najis tersebut, dan keberadaan benda-benda itu juga menghalangi sahnya shalat. Maka dari itu, bawakanlah dalil atasnya.”
Dalam kitabnya, ad-Durarul Bahiyyah, asy-Syaukani tidak memasukkan muntah manusia sebagai benda najis. Syaikh al-Albani berpendapat sucinya muntahan manusia dalam kitabnya, Tamamaul Minnah.
7. Keringat orang yang junub dan wanita yang haidh
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bertemu dengannya di sebuah jalan di Madinah saat dia sedang junub. Oleh sebab itulah, Abu Hurairah bersembunyi dari beliau, kemudian pergi untuk mandi, lalu kembali lagi. Nabi kemudian bertanya: “Kemanakah kamu tadi, hai Abu Hurairah” la menjawab: “Aku tadi junub. Aku tidak suka duduk bersama denganmu dalam keadaan tidak suci.”
Nabi berkata:
سبحان الله! إِنَّ المسلم لا ينجس
“Subhanallah (Mahasuci Allah)! Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis.”
Al-Bukhari menulis sebuah bab mengenai masalah ini dalam kitab Shahih-nya. Beliau menulis: “Bab keringat orang yang junub dan penjelasan bahwasanya seorang muslim itu tidaklah najis.”
8. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir
Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, semut, laba-laba, dan yang sejenisnya adalah suci. Sebab, hukum asal pada benda-benda adalah suci; serta hukum asal tersebut masih tetap berlaku.
Dalam hadits disebutkan:
إِذا وقع الذُّباب في إِناء أحدكم؛ فلَيغْمِسْه كلَّه، ثمَّ ليطْرَحْه؛ فإِنَّ في إِحدى جناحيه داء وفي الآخر شفاء
“Apabila ada seekor lalat jatuh pada bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah dia mencelupkan seluruhnya, baru kemudian membuangnya karena pada salah satu sayap lalat terdapat racun, sedangkan pada sayap lainnya terdapat penawarnya.”
Perintah Rasulullah di atas, yaitu agar mencelupkan lalat itu seluruhnya bila jatuh ke bejana, dimaksudkan untuk menjaga makanan atau minuman. Hal itu merupakan dalil sucinya lalat.
Di antara ulama-ulama yang berpendapat sucinya hewan yang darahnya tidak mengalir adalah Imam Abul Barakat Majduddin Ibnu Taimiyyah dalam kitab Muntaqal Akhbar.
Adapun ulama lainnya yang sependapat dengan Imam Abul Barakat yaitu lmam asy-Syaukani dalam kitab syarahnya, Nailul Authar (I/68), dan juga ash-Shan’ani dalam kitabnya, Subulus Salam (I/36).