Al-aas-ar Terbagi menjadi dua bagian:
1. Sisa air minum yang suci
Tercakup di dalamnya beberapa jenis berikut ini:
a. Sisa minum manusia
Di dalam al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan ketika menjelaskan sisa minuman manusia: “Manusia adalah suci sehingga sisa air minumnya pun suci, baik ia muslim maupun kafir, menurut pendapat mayoritas para ulama.”
Dalam hal ini ada beberapa dalil, di antaranya hadits:
إنَّ المؤمن لا ينجس
“Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dalam riwayat lain:
إنَّ المسلم لا ينجس
“Sesungguhnya orang muslim tidak najis.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Ketika berada di dalam masjid, Rasulullah berkata: “Hai Aisyah, ambilkan aku pakaian itu.” Aisyah berkata: “Aku sedang haidh.” Nabi bersabda:
إنَّ حيضتك ليست بيدك
“Haidhmu tidaklah berada di tanganmu.”
Maka dari itu, aku memberikan pakaian itu kepada beliau.
Dari Aisyah, dia berkata: “Suatu hari, aku minum ketika sedang haidh. Lalu, aku memberikan sisa minuman itu kepada Nabi. Rasulullah pun meletakkan mulutnya pada sisi gelas tempat aku minum, lalu beliau meminumnya. Aku juga pernah menggigit ‘Arq (daging yang melekat pada tulang), sementara aku sedang haidh, kemudian aku memberikannya kepada Nabi. Beliau pun meletakkan mulutnya pada tempat bekas mulutku.”
Keterangan di atas dengan jelas menghukumi sucinya mulut dan sisa minum wanita yang sedang haidh.
Dari Abdullah bin Sa’ad, dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Nabi tentang makan bersama wanita haidh. Rasulullah mengatakan: “Makanlah bersamanya.”
At-Tirmidzi membawakan hadits ini dalam Bab “Makan bersama wanita haidh dan hukum sisa air minumnya.”
Pendapat tentang sucinya sisa air minum orang kafir didasarkan pada sebab-sebab sebagai berikut:
Pertama: Mengikuti kaidah yang sudah dikenal, yaitu hukum asal benda-benda di bumi adalah suci.
Kedua: Percampurbauran kaum muslim dengan kaum musyrikin dan bolehnya memakan sembelihan serta menikahi wanita mereka, yaitu Ahlul Kitab.
Kami belum pernah mengetahui bahwa kaum muslimin mencuci badan atau pakaian mereka yang tersentuh oleh orang-orang musyrik.
Adapun firman Allah:
{إِنَّما المُشْرِكون نَجَس}
“Sesungguhnya kaum musyrikin itu najis.” (QS. At-Taubah: 28)
Yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah najis badannya.
Dalam tafsir-nya Ibnu Katsir berkata: “Mengenai najisnya badan orang musyrik, jumhur ulama berpendapat bahwasanya yang najis itu bukanlah badan atau dzatnya. Sebab, Allah telah menghalalkan makanan Ahlul Kitab, yaitu (sembelihan Mereka).”
b. Sisa minum hewan yang boleh dimakan dagingnya
Dari Anas bin Malik, dia mengatakan: “Sungguh, aku pernah berada di bawah unta Rasulullah, sementara air liur unta tersebut mengalir pada tubuhku. Aku mendengar beliau berkata:
إِنَّ الله قد أعطى كلَّ ذي حقٍّ حقَّه؛ ألا لا وصيَّة لوارث
“Sesungguhnya Allah telah memberikan bagi tiap-tiap orang haknya. Ketahuilah, bahwa tidak ada hak wasiat bag ahli waris.”
Dalam kitab Subulus Salam (I/53) disebutkan: “Hadits ini merupakan dalil yang menerangkan bahwa air liur hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Ada yang mengatakan pendapat ini berdasarkan ijma’. Bahkan inilah hukum asalnya, dan penyebutan hadits ini berfungsi sebagai penjelasan hukum asal.
Selain itu, pernyataan ini juga dibangun atas dasar pengetahuan Rasulullah terhadap air liur unta yang mengalir pada tubuh Anas bin Malik sehingga itu menjadi taqrir (persetujuan) beliau.”
Abu Bakar Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama sepakat, tidak ada perselisihan di antara mereka, bahwasanya sisa air minum hewan yang boleh dimakan adalah suci. Oleh karena itu, air tersebut boleh diminum dan boleh bersuci pula dengannya.”
Bahkan para ulama berpendapat: sucinya kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan. Jika demikian, maka sucinya sisa air minum hewan tersebut tentu lebih utama.
C. Sisa air minum kucing
Dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik—saat masih menjadi istri Ibnu Abi Qatadah—dia berkata: “Abu Qatadah masuk, lalu aku menuangkan air wudhu untuknya, Kemudian, datang seekor kucing dan mendekat untuk minum darinya. la pun memiringkan bejana agar kucing itu bisa meminum airnya.”
Kabsyah melanjutkan: “Ia melihatku yang sedang memandangnya lalu bertanya: ‘Apakah kamu heran, hai putri saudaraku?’ Aku berkata: “Ya.” Maka Abu Qatadah berkata: “Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّها ليست بنَجَس، إِنَّها من الطَوَّافين عليكم والطَوَّافات
“Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Kucing termasuk hewan yang berada di sekitar kalian.”
Dari Dawud bin Shalih bin Dinar at-Tammar, dari ibunya; Bahwa dia mengutus budaknya untuk menemui Aisyah dengan membawa harisah. Lalu, ia mendapati Aisyah sedang mengerjakan shalat. Aisyah pun mengisyaratkan kepadaku supaya meletakkannya. Tidak lama kemudian, datang seekor kucing yang langsung memakan makanan itu. Setelah menyelesaikan shalatnya, Aisyah memakan makanan tadi dari bagian yang dimakan kucing itu seraya mengatakan: “Sesungguhnya kucing ini tidaklah najis. Karena ia termasuk hewan yang berada di sekitar kalian. Bahkan, aku melihat Nabi berwudhu dengan sisa air minum kucing.”
Berkaitan dengan sucinya sisa air minum kucing, Imam at-Tirmidzi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan Sahabat Nabi, Tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka, seperti asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berpandangan bahwasanya sisa air minum kucing tidak mengapa.”
2. Sisa air minum yang najis
Termasuk di dalamnya adalah:
a. Sisa air minum anjing
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Nabi:
إِذا شَرِب الكلب في إِناء أحدكم؛ فليغسله سبعاً
“Jika seekor anjing minum dari bejana salah seorang di antara kalian, maka cucilah tujuh kali.”
Dalam riwayat lain diterangkan:
إِذا ولَغَ الكلب في إِناء أحدكم؛ فليُرِقْه، ثمَّ ليغسله سبع مرار
“Jika seekor anjing minum dari bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia menumpahkannya, kemudian mencuci bejana itu tujuh kali.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa sisa air minum yang suci tidak boleh ditumpahkan, dan tentu saja tidak diwajibkan mencucinya.
Dalam kitab Subulus Salam disebutkan: “Menumpahkan air merupakan perbuatan membuang-buang harta. Kalau air tu suci tentu tidak akan diperintahkan untuk membuangnya, sebagaimana Rasulullah telah melarang membuang harta. Atas dasar itu, menjadi jelaslah najisnya mulut anjing.”
Dalam hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda:
طَهور إِناء أحدكم إِذا ولَغ فيه الكلب: أن يغسله سبع مرات، أولاهنَّ بالتراب
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian, apabila seekor anjing minum padanya, adalah mencucinya sebanyak tujuh kali, dan cucian pertama dengan tanah.”
Sabda Rasulullah: “Cara menyucikan” menunjukkan najisnya sisa air minum seekor anjing sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama.
b. Sisa air minum keledai
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah pernah didatangi oleh seseorang, lalu orang tersebut berkata: “Keledai-keledai itu telah disantap.” Kemudian, datang lagi seseorang seraya berkata: “Keledai-keledai telah dimakan.” Lalu datang lagi seseorang seraya mengatakan: “Keledai-keledai telah dihabiskan.” Maka Rasulullah memerintahkan seseorang untuk berseru dan mengumumkan ke tengah-tengah manusia:
إِنَّ الله ورسوله ينهيانكم عن لحم الحُمُر الأهليَّة فإِنَّها رجس
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena keledai itu najis.”
Setelah itu, ditumpahkanlah isi periuk-periuk yang ada padahal periuk-periuk itu penuh dengan daging keledai.”
Dalam riwayat lain, disebutkan: “Maka Rasulullah menyuruh Abu Thalhah untuk mengumumkan:
إِنَّ الله ورسوله ينهيانكم عن لحوم الحُمُر فإِنَّها رِجْس أو نَجَس
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang kalian memakan daging keledai karena ia adalah najis.”
Dalam Sunan-nya, at-Tirmidzi menulis judul bab: “Bab ‘Sisa air minum keledai.’ Kemudian, ia mencantumkan hadits yang telah lalu.
c. Sisa air minum babi
Allah berfirman:
{قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’Am [6]: 145)
Sebagian ulama yang berdalil atas najisnya daging keledai dengan perkataan Nabi: “Sesungguhnya ia adalah najis” mengatakan bahwa babi lebih utama untuk mendapatkan sifat najis itu. Karena segala sesuatu yang telah ditetapkan kenajisan dagingnya, maka sisa air minumnya juga dihukumi najis. Begitu juga, setiap hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya maka sisa air minumnya pun akan dihukumi najis, kecuali kucing.”
d. Sisa air minum binatang buas
Di antara dalil-dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dia berkata: “Rasulullah ditanya tentang air yang hewan-hewan ternak dan hewan-hewan liar yang berganti-gantian minum darinya.
Nabi menjawab:
إِذا كان الماء قُلَّتين؛ لم يَحْمِل الخَبَث
“Jika air mencapai 2 qullah, maka ia tidak mengandung najis.”
Dalam lafazh lain disebutkan:
لم يُنَجِّسْهُ شيء
“Tidak ada satu pun yang dapat membuatnya najis.”
Dalam kitab Tamamal Minnah guru kami, Syaikh al-Albani mengatakan: “Dalam al-Jaubarun Naqi (I/250) Ibnu Turkimani berkata: “Lahiriah hadits ini menunjukkan najisnya sisa air minum binatang buas. Sebab, apabila tidak demikian, maka tidak ada faedah dalam penyebutan syarat ini. Demikian pula, niscaya pengkhususan dalam penyebutan syarat tersebut menjadi sia-sia.” Pernyataan itu juga disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (I/173).
Teks yang tercantum dalam al-Majmu’ sebagai berikut: “Orang-orang yang berpendapat tidak sucinya sisa air minum binatang buas ber-hujjah dengan hadits Ibnu Umar, yaitu tatkala Rasulullah ditanya tentang air yang terdapat di padang sahara dan binatang-binatang buas silih berganti minum darinya. Nabi mengatakan:
إِذا كان الماء قُلَّتين لم ينجس
“Apabila air sudah mencapai dua qullah maka ia tidak akan menjadi najis.” Ini menunjukkan bahwa minumnya binatang buas dari air tersebut memberikan pengaruh yang bisa menyebabkan air itu menjadi najis.”