Syarah:
Judul “Kitab Tauhid” menunjukkan bahwa tujuan dari penulisan kitab ini, bahwasanya dari awal hingga akhirnya adalah berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyah. Penjelasan tentang definisinya, syarat syaratnya, keutamaannya, dalil-dalilnya, buahnya, konsekuensinya, dan penyempurnannya. Demikian juga pembahasan tentang lawannya yaitu kesyirikan dengan berbagai macamnya.
Tauhid adalah masdar dari wahhada (وحّد) yuwahhidu (يوحد) tauhiidan (توحيدا), yang artinya secara bahasa adalah: “Mengesakan”, yaitu menjadikannya satu. Dan istilah tauhid disebutkan dalam sunnah Nabi. Diantaranya sabda Nabi kepada Muadz bin Jabal tatkala Nabi mengutusnya ke ngeri Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum Ahlul Kitab. Maka jika engkau mendatangi mereka serulah mereka agar mereka bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah”.
Dalam sebuah riwayat:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah beribadah kepada Allah”.
Dalam sebuah riwayat yang lain:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah.”
Dalam riwayat yang lain:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَىيْهِ تَوْحِيْدُ اللهَ
“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mentauhidkan Allah.”
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مِتُّ، فَخُذُونِي وَاحْرُقُونِي، حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمَةً، ثُمَّ اطْحَنُونِي،
“Sesungguhnya ada seorang lelaki yang tidak mengamalkan kebaikan sama sekali kecuali tauhid. Tatkala ia akan meninggal dunia ia berkata kepada keluarganya: “Jika aku wafat maka ambillah jasadku lalu bakarlah hingga aku menjadi hangus, lalu girislah aku sampai jadi debu,
ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فِي يَوْمٍ رَاحٍ، قَالَ: فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ، قَالَ: فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، قَالَ: فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ.
lalu tebarkanglah aku di laut di hari yang bertiup angin kencang”. Maka merekapun melakukannya. Tiba-tiba ia berada pada genggaman Allah, maka Allah berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukannya?”. Ia berkata, “Karena takut kepada-Mu”. Maka Allah pun mengampuninya”.
Dalam hadits yang lain:
أَنَّ الْعَاصِ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ، وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِ نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِينَ، وَأَنَّ عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَمَّا أَبُوكَ فَلَوْ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ فَصُمْتَ وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ نَفَعَهُ ذَلِكَ
Bahwasanya al-‘Aash bin Wa’il di zaman jahiliyah bernadzar untuk menyembelih 100 onta, dan (putranya) Hisyam bin al ‘Aash menyembelih bagiannya 50 onta, dan ‘Amr bin al-Aash (radhiallahu ‘anhu) bertanya kepada Nabi tentang hal itu (yaitu apakah ia boleh menyembelih sisanya 50 ekor onta -pent). Maka Nabi berkata kepadanya, “Adapun ayahmu (yaitu al-Aaash bin Wa’il) kalau seandainya ia berikrar dengan tauhid, lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya maka akan bermanfaat baginya.”
Demikian juga para sahabat juga menggunakan istilah tauhid sebagaimana datang dalam Sebagian hadits diantaranya:
Jabir bin Abdullah berkata:
فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
“Maka Nabipun bertalbiah dengan tauhid Labbaik Allahumma Labbaik….”
Jadi istilah tauhid bukanlah istilah yang baru, oleh karenanya para ulama menulis buku-buku yang mereka beri judul Kitab at-Tauhid. Seperti At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H) dan at-Tauhid karya Ibu Mandah (wafat 395 H). Al-Imam Al-Bukhari membawakan hadits Muadz bin Jabal di atas dalam Shahihnya dalam Kitab at-Tauhid dalam bab:
مَا جَاءَ فِي دُعاءِ النَّبِيِّ صلى الله علي وسلم أُمَّتَهُ إِلَى تَوْحِيْدِ اللهِ تبارك وتعالى
“Hadits-hadits tentang Nabi menyeru umatnya kepada bertauhtd kepada Allah tabaraka wa ta’aala.”
C. Pembagian Tauhid
Pada prinsipnya, tauhid tidaklah terbagi. Sebab rububiyah Allah, dan uluhiyyah-Nya serta asma’ dan shifat-Nya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Namun makhluk (kaum musyrik lah yang melakukan pembagian). Dahulu, setelah diutusnya nabi Adam, tauhid dipahami oleh manusia secara menyeluruh tanpa pembagian. Setelah 10 kurun kemudian kesyirikan muncul. Kesyirikan inilah yang merupakan bentuk pemecahan tauhid. Sebab mereka mentauhidkan Allah pada sebagian sisi, dan membatalkan tauhid pada sisi yang lain.
Allah berfirman tentang kondisi kaum musyrik Arab:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan menyekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
Jadi orang-orang musyrik lah yang memisah-misahkan tauhid. Allah menjelaskan keyakinan mereka yang salah ini, dengan menjelaskan bahwa iman (tauhid) mereka tercampur dengan kesyirikan. Ternyata keyakinan (tauhid) mereka yang disebut oleh Allah dengan “iman” adalah keyakinan mereka bahwa Allah sebagai maha pencipta dan maha pemberi rezeki (yang merupakan tauhid rububiyah). Adapun kesyirikan mereka yang Allah sebutkan pada ayat tersebut adalah mereka menyembah kepada selain Allah. Artinya, keyakinan mereka rusak dari sisi tauhid ibadah (uluhiyyah). Sehingga terjadilah pembagian tauhid untuk menjelaskan bagian yang benar dan bagian yang salah. Jadi kaum musyrik lah yang membagi tauhid, sehingga Allah turunkan ayat-ayat kepada mereka agar mereka tidak membagi tauhid: bertauhid pada sebagian dan berbuat syirik pada bagian yang lain.
Di antara firman Allah melarang mereka membagi-bagi tauhid:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Dengan demikian, klasifikasi atau pembagian tauhid adalah untuk memudahkan pemahaman yang benar, bahwa tauhid itu pada hakikatnya tidak terbagi.
Pembagian tauhid tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama; Tauhid al-Rububiyyah
Kedua: Tauhid al-Uluhiyyah
Ketiga Tauhid al-Asma dan Shifat
Tauhid Rububiyyah adalah: توحيد الله بأفعاله artinya, mengesakan perbuatan-perbuatan Allah, bahwa hanya Allah semata yang melakukannya tanpa ada campur tangan selain-Nya.
Perbuatan-perbuatan Allah, af’alullah ini banyak, seperti menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, mengatur alam semesta, menyembuhkan, mengabulkan doa dan lain-lain.
Tauhid Rububiyyah berporos pada tiga perkara,
(1) Penciptaan (الخلق), yaitu Allah menciptakan makhluk dari tidak ada menjadi ada. (2) Kepemilikian Maha Esa dalam (الملك), artinya karena hanya Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, maka hanya Allah yang memiliki itu semua. (3) Pengaturan (تدبير), jadi tidak ada yang ikut serta bersama Allah dalam pengaturan alam semesta, semua yang terjadi adalah di bawah aturan Allah.
Adapun tauhid Uluhiyyah (atau Ilahiyah atau tauhid ibadah) adalah mengesakan Allah dalam peribadahan. Artinya, hamba hanya boleh beribadah kepada Allah semata. Jika tauhid Rububiyyah berkaitan dengan أفعال الله (perbuatan-perbuatan Allah) maka tauhid Uluhiyyah berkaitan dengan أفعال العباد (perbuatan-perbuatan hamba) yang mencakup bentuk-bentuk ibadah, seperti berdoa, bernazar, menyembelih, khauf (takut), raja’ (berharap), tawakal dan lain-lain.
Adapun tauhid Asma wa Shifat yaitu seorang hamba meyakini bahwa Allah Maha Esa dengan kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Allah, dalam hal nama dan sifat-Nya. Meskipun bisa jadi terdapat kesamaan nama dan sifat sama antara makhluk dengan Allah, tapi berbeda secara hakikatnya.
Sebagian orang menolak pembagian tauhid menjadi tiga atau dua sebagaimana yang baru saja dijelaskan. Di antara alasannya adalah karena pembagian tauhid ini dianggap tidak berdalil. Ada pula yang menganggap bahwa pembagian ini mirip keyakinan Trinitas yang dimiliki oleh orang-orang Nasrani.
Pandangan mereka dapat disanggah dari beberapa sisi:
1) Untuk Sarana Pembelajaran
Kita katakan bahwa pembagian ini didapatkan dari penyimpulan dengan metode induktif (istiqra’) terhadap dalil. Di samping bahwa ia hanyalah merupakan metode pembelajaran. Hal tersebut sebagaimana pembagian hukum syariah menjadi lima (wajib, mustahabb, mubah, makruh, haram); pembagian kata dalam bahasa Arab menjadi tiga (ism, fi’il dan huruf). Pembagian-pembagian ini tidak pernah dilakukan secara eksplisit oleh Nabi. Namun merupakan pembagian dari para ulama setelahnya, sebagai hasil penyimpulan dengan metode induktif.
Bahkan kita katakan, sekiranya tanpa pembagian pun tidak mengapa. Sebab yang paling penting dan esensial adalah tidak salah dalam merealisasikan tauhid dan iman kepada Allah. Yang jelas, kalau ditanyakan:
Apakah Nabi dan para Sahabat meyakini bahwa Allah saja yang Mencipta, Mengatur, dan Memiliki? Jawabannya tentu saja iya. Nah, inilah yang kita sebut dengan tauhid Rububiyyah. Lalu, apakah Nabi dan para Sahabat hanya beribadah kepada Allah semata? Jawabannya juga tentu iya. Itulah yang kita sebut dengan tauhid Uluhiyyah. Selanjutnya, apakah Nabi dan para Sahabat meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya? Jawabannya lagi-lagi tentu saja iya. Inilah yang kita sebut dengan tauhid Asma’ wa Shifat.
Intinya, pembagian tersebut untuk memudahkan pembelajaran, sebagaimana halnya pembagian hukum syariah menjadi lima dan pembagian kata menjadi tiga juga untuk memudahkan pembelajaran. Sekiranya ada seseorang yang bertauhid dengan benar sebagaimana tauhid Nabi dan Sahabat dengan tanpa mengetahui klasifikasi tauhid, maka tidak mengapa.
2) Untuk Menampakkan dan Menghilangkan Penyimpangan
Manfaat lain dari pembagian ini adalah, untuk memperjelas penyimpangan yang terjadi dalam tauhid. Sebab bisa jadi seseorang benar dalam sebagian hal tapi ternyata salah dalam sebagian lainnya. Buktinya, berapa banyak orang yang mengklaim bertauhid namun ternyata dia telah terjerumus pada penyembahan selain Allah: dia menyembelih untuk jin, sementara dia meyakini bahwa yang menciptakan dan mengatur alam semesta hanyalah Allah. Dengan adanya klasifikasi tauhid, menjadi lebih jelas bahwa dia telah jatuh pada kesyirikan dalam Uluhiyyah, meskipun dia benar dalam tauhid Rububiyyah.
Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
Allah menjelaskan bahwa kaum musyrik Arab menggabungkan antara iman (tauhid) dan kesyirikan. Kalau mereka ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menjawab Allah.
Allah berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, Allah’.” (QS. Luqman: 20)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah vang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf: 87)
Iman mereka terkait dengan tauhid Rububiyyah. Mereka meyakini bahwa Allah lah yang Maha Pencipta, memberi rezeki, dan lain-lain dari makna-makna Rububiyyah. Namun ternyata mereka berbuat syirik. Mereka menyembah berhala, menyembelih untuk selain Allah, berdoa kepada selain Allah, dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Oleh karena itu, Allah sering mengingatkan kesalahan mereka dalam Al-Quran. Allah membantah kesesatan mereka dalam tauhid Uluhiyyah dengan cara mengingatkan mereka terhadap ketauhidan mereka dalam makna Rububiyyah.
Allah berfirman,
أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar’.” (QS. An-Naml: 64)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22)
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Jika ditelusuri maka akan dijumpai banyak ayat bahwa Allah menyebutkan tentang tauhid Rububiyyah untuk memperbaiki kesalahan kaum musyrik Arab dalam tauhid Uluhiyyah. Secara tersirat Allah telah membedakan antara tauhid Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah.
Begitu pula halnya dalam pembahasan tauhid Asma wa Shifat yang banyak terdapat penyimpangan tentangnya, seperti penolakan terhadap sifat ketinggian Allah, penolakan terhadap Kalamullah, dan lain-lain.
Klasifikasi tauhid ini seringkali dingkari oleh kalangan yang memiliki penyimpangan dalam tauhid. Sebab klasifikasi tersebut adalah sarana untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tauhid.
Intinya, dengan klasifikasi tauhid ini upaya perealisasian tauhid secara benar dan paripurna menjadi tercapai, serta penyimpangan dalam tauhid menjadi tersingkap.