Sebagian orang menyangka bahwa ketakwaan dapat terwujud secara paripurna hanya dengan menjalankan dan menunaikan hak-hak Allah tanpa peduli dengan hak para hamba-Nya, sehingga akhirnya ia melalaikan penunaian hak-hak para hamba Allah.
Sangat menyedihkan tatkala sebagian kaum muslimin sangat bersemangat dalam menjalankan bermacam syiar Islam yang lahir, seperti ibadah wajib atau pun sumnah, cara berpakaian, dan semacamnya, namun hatinya terjangkiti berbagai penyakit kronis seperti dengki, hasad, ujub, merasa lebih baik dari pada orang lain, sementara lisannya sibuk melukai saudaranya dengan dusta, gibah, adu-domba, celaan dan hardikan, membongkar aib-aib saudaranya. Perbuatan kesehariannya pun diwarnai ketidakamanahan yang menzalimi saudaranya, baik dalam janji, hutang, atau hal-hal semisalnya.
Sejatinya, seorang muslim yang demikian keadaannya, tanpa sadar ia telah merobohkan sendiri tangga surga yang selama ini ia bangun, serta menggugurkan sendiri rindangnya pohon keimanan yang selama ini ia berusaha merawatnya.
Ketahuilah saudaraku, akhlak yang buruk terhadap sesama manusia, dapat mengosongkan pundi-pundi amalan yang selama ini kita usahakan, tanpa kita sadari. Rasulullah bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ لَهُم صلَاتهم فَوق رؤوسهم شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ. رَوَاهُ ابْن مَاجَه
“Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkal pun shalat mereka di atas kepala mereka, (pertama) seorang lelaki yang mengimami suatu kaum sedangkan mereka membencinya (lantaran buruknya akhlaknya), (kedua) seorang wanita yang bermalam dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan (ketiga) dua orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan.” Hadits Hasan. HR. Ibnu Majah.
Rasulullah juga bersabda:
وَإِنَّ سُوءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الصَّبْرُ الْعَسَلَ
“Dan sesungguhnya akhlak buruk itu merusak amal (shaleh), sebagaimana cuka merusak madu.” HR. Ath-Thabrani. Hadits Hasan.
Suatu ketika, diadukan kepada Rasulullah perihal seorang perempuan lantaran ketajaman lisannya yang senantiasa melukai perasaan tetangga-tetangganya. Si pengadu merasa heran, ternyata wanita tersebut adalah sosok yang rajin berpuasa sunah, shalat malam, dan sangat dermawan. Rasulullah pun menjawab:
لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ فِي النَّارِ
“Tidak ada kebaikan padanya. Tempatnya adalah neraka.”
Kemudian ditanyakan lagi kepada Rasulullah perihal seorang perempuan yang selalu menjaga ibadah shalat dan puasanya yang wajib, serta sesekali menyisihkan sedikit harta untuk disedekahkan. la tidak pernah melakukan ibadah-ibadah sunnah, namun ia tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Rasulullah pun menjawab:
هِيَ فِيْ الجَنَّةِ
“Tempatnya di surga.”
Rasanya kisah pendek cukup sebagai pengingat yang bisa membangkitkan kesadaran kita untuk kembali menanyakan kepada diri kita masing-masing, “Wahai jiwa, sudahkah Anda berakhlak mulia?”
A. Keutamaan akhlak mulia
Keistimewaan akhlak yang mulia dalam Islam dapat diketahui dengan jelas dari beberapa tinjauan, di antaranya:
Pertama: Allah secara khusus memuji akhlak Rasulullah Muhammad, bahkan Allah bersumpah akan hal itu.
Allah berfirman:
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4)
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila, dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya, dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi (berakhlak) pekerti yang luhur.” (QS. al-Qalam: 1-4)
Ayat ini menjelaskan akan tingginya kedudukan akhlak di mata Islam, juga sebagai isyarat kepada kita, umat Nabi Muhammad, agar mencontoh beliau, dengan cara berusaha semaksimal mungkin untuk berakhlak mulia.
Kedua: Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Rasulullah bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Aku diutus semata hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” Shahih (HR. Ahmad, Bukhari)
Hadits ini dengan lugas menunjukkan bahwa perbaikan akhlak adalah salah satu tujuan utama Islam sebagai risalah kenabian Rasulullah, juga bahwasanya kedudukan akhlak mulia dalam Islam sangatlah agung, dan urgensinya sangatlah besar. Maka tidak heran, banyak ayat-ayat Kitab Suci al-Qur’an dan hadits-hadits yang menyinggung dimensi adab dan akhlak, dari mulai bagian terkecil, hingga bagian-bagian terpenting dari kehidupan kita.
Ketiga: Akhlak mulia adalah salah satu faktor terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam surga.
Ketika Rasulullah ditanya perihal faktor terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam surga, beliau menjawab:
تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Ketakwaan kepada Allah dan akhlak mulia.” Hasan (HR. Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Keempat: Taraf kemuliaan akhlak adalah barometer keimanan seseorang.
Rasulullah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-sebaik kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya.” Shahih (HR. Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Rasulullah juga pernah bersabda:
وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيْمَانُ فِيْ قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.”
Kelima: Semakin mulia akhlak seorang mukmin, semakin besar pula kecintaan Rasulullah kepadanya.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ أَحَبَّكُمْ إِلَيَّ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا , الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا , الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ
“sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya, (yaitu) orang-orang yang baik kepribadiannya, yang mudah bergaul dan diajak bergaul.” Hasan (HR. Ath-Thabrani)
Salah satu kunci yang memudahkan seseorang untuk bergaul dengan orang lain, atau diajak bergaul oleh orang lain, adalah sikap tawaduk, kerendahan hati, dan tidak angkuh kepada orang lain.
Uqbah bin Amir pernah bercerita, suatu ketika seseorang datang menemui Rasulullah. Namun, saat Rasulullah mengajaknya berbicara, orang tersebut malah gemetaran -saking canggungnya berhadapan dengan Rasulullah. Melihat hal itu, Rasulullah pun menenangkannya sembari bersabda:
هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ إِنَّمَا أنَا ابْنُ امرأة تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ
“Tenang saja! aku ini bukanlah seorang raja. Sungguh aku hanyalah anak dari seorang wanita biasa yang makan daging yang dikeringkan.”
Demikianlah seorang mukmin sejati, kehadirannya selalu dinanti, dan ketidakhadirannya selalu disayangkan dan disesali. Jangan sampai kita menjadi layaknya seburuk-buruk manusia, yang kehadirannya selalu disesali, dan ketidakhadirannya justru disenangi. Rasulullah bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ النَّاسُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat, adalah orang yang dihindari oleh manusia karena takut kejelekannya.” HR. Muslim.
Keenam: Semakin mulia akhlak seorang mukmin, maka semakin tinggi pula derajat surga yang akan ia tempati kelak.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُم مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya.” Hasan (HR. Tirmidzi)
Ketujuh: Akhlak mulia akan membuahkan banyak pahala, lantaran kemudahan melakukannya, serta cakupannya yang sangat luas.
Rasulullah bersabda:
إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوْا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُم وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak bisa meliputi hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa meliputi hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia.” Hasan (HR. Al-Bazzar)
Harta seseorang terbatas sedangkan jumlah manusia amatlah banyak. Terlebih lagi, sifat kikir sudah terpatri pada naluri manusia, sehingga sulit untuk meliputi seluruh manusia dengan kebaikan harta. Sedangkan akhlak mulia, seperti senyum, sapaan yang baik, dan lain sebagainya, ia sangat mudah untuk diaplikasikan, dan sangat luas cakupannya, sehingga pahala yang diraih darinya pun semakin banyak.
Kedelapan: Akhlak mulia akan membuahkan pahala yang banyak karena ia terkait dengan hubungan interatif di antara sesama makhluk.
Biasanya mayoritas waktu setiap manusia habis untuk berinteraksi dengan sesama makhluk. Kesehariannya dipenuhi dengan muamalah kepada sesama makhluk, dari mulai keluarga terdekat, guru atau pun murid, rekan kerja, para pedagang atau pun pembeli, binatang, tumbuhan, dan lain sebagainya. Apabila seorang mampu menanamkan akhlak mulia dalam dirinya, sehingga itu tercermin dalam setiap muamalahnya, maka seakan ia menghabiskan kesehariannya untuk mendulang pahala.
Kesembilan: Rasulullah sering berdoa meminta akhlak yang mulia.
Dalam shalat, Rasulullah berdoa dengan salah satu doa iftitah:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, tunjukilah aku amal dan akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkanku kepadanya kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang buruk. Sungguh tidak ada yang dapat menjauhkanku dari keburukannya kecuali Engkau.” Shahih (HR. Nasa’i)
Di kesempatan lain, Beliau juga berdoa:
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِيْ فَأَحْسِنْ خُلُقِي
“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperbagus rupa fisikku, maka perbagus pulalah akhlakku.” Shahih (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Sebagian menyangka bahwa doa ini adalah doa khusus ketika bercermin, padahal doa ini merupakan doa yang umum. Doa ini boleh dipanjatkan kapan saja, tidak hanya ketika bercermin.
Beliau juga berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأخْلاَقِ وَالأعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari keburukan akhlak, amalan, dan hawa nafsu.” Shahih (HR. Tirmidzi)
Selain kelak mendapatkan pahala di surga, seorang yang berakhlak mulia juga akan meraih kebahagiaan selama kehidupannya di dunia. Di antara faedah duniawi bagi seseorang yang berakhlak mulia:
- Ketenteraman hati.
- Mendekatkan yang jauh. Bahkan terkadang musuh bisa menjadi teman.
- Dijauhkan dari banyak macam keburukan.
B. Dua Jenis Akhlak
Abdullah bin Mas’ud berkata,
إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أخْلاَقَكُم كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أرْزَاقَكُمْ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala membagi akhlak (yang terpuji) kepada kalian, sebagaimana Allah membagi rezeki kalian.” Shahih (HR. Ahmad)
Jika demikian, maka selaiknya, sebagaimana kita bersemangat sembari bertawakal kepada Allah dalam mencari rezeki, demikian pula sikap kita ketika mengupayakan akhlak mulia dalam diri kita.
Ucapan Abdullah bin Mas’ud di atas juga menjelaskan, bahwa layaknya kondisi ekonomi seseorang yang fluktuatif, demikian pula taraf kemuliaan akhlak seseorang pun naik-turun. Oleh karenanya Rasulullah senantiasa berdoa meminta akhlak yang baik dan berlindung dari akhlak yang buruk.
Akhlak ada dua jenis, yaitu:
Pertama: Jibilly (watak asli).
Rasulullah pernah bersabda kepada al-Asyajj bin Abdul Qais:
يَا أَشَجُّ، إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ: الْحِلْمَ وَالْأَنَاةَ
“Wahai Asyajj, sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kecerdasan dan ketenangan dalam bersikap.”
Mendengar itu, al-Asyajj, pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua perangai tersebut adalah hasil usahaku, ataukah Allah yang telah menjadikannya sebagai watak asliku?”
Rasulullah pun menjawab:
بَلِ اللهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا
“Allah telah menjadikan kedua perangai tersebut terpatri sebagai watak aslimu.”
Al-Asyajj pun berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dua perangai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai watak asliku.” Shahih (HR. Ahmad)
Kedua: Muktasab (diusahakan dan diperjuangkan dalam mendapatkannya).
Rasulullah bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperindah akhlaknya.” Hasan (HR. Abu Daud)
Rasulullah juga bersabda:
مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ
“Siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan jadikan dia penyabar.” HR. Bukhari
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tadinya pemarah bisa berubah menjadi penyabar jika ia berusaha melatih dirinya unfuk itu.
Oleh karenanya, hendaknya seseorang senantiasa berusaha menghiasi dan membiasakan dirinya dengan akhlak yang mulia. Janganlah ia mengatakan, “Saya memang begini orangnya. Tabiat dan watak saya memang seperti ini, bagaimana bisa diubah?”
Seandainya perangai tidak dapat diubah, watak buruk tidak bisa diperindah, lalu untuk apa Allah dan Rasulullah memotivasi kita untuk berakhlak mulia?! Hal itu tentulah karena setiap orang memiliki peluang untuk mengubah akhlaknya, melatih dan membiasakan dirinya untuk menjadi semakin baik, apabila ia memiliki kesadaran untuk mengubahnya.
C. Bagaimana cara memperbaiki akhlak?
Di antara cara mengupayakan terbentuknya akhlak yang baik pada diri seorang hamba adalah sebagai berikut:
1. Berjuang secara terus-menerus memperbaiki niat.
2. Belajar tentang akhlak mulia serta mempelajari faktor-faktor pembentukannya.
3. Mengenali akhlak yang buruk, sehingga ia mampu untuk menghindarinya, atau menghilangkannya dari dirinya.
4. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengaplikasikan akhlak-akhlak mulia yang telah ia ketahui.
5. Mengajak orang lain untuk berakhlak mulia, sehingga dirinya pun ikut terpacu untuk mempraktikkannya.
SELAYANG PANDANG
Kitabul Jami’ adalah bagian dari kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam yang ditulis oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H). Beliau menjadikan Kitabul Jami’ sebagai bab penutup dari karya fenomenalnya tersebut.
Nama Bulughul Maram min Adillatil Ahkam tentu tak asing bagi banyak khalayak muslim. la merupakan salah satu karya tulis ringkas terbaik yang merangkum sejumlah hadits Rasulullah dalam kajian fikih. Berbagai hadis yang dimuat di dalamnya terkategorikan ke dalam hadits-hadits yang merupakan pondasi hukum Islam di kalangan para ulama.
Dimulai dari Bab Taharah, Bab Salat, Bab Haji, Bab Zakat, Bab Jihad, dan seterusnya hadits demi hadits dalam kitab ini disajikan secara baik dan ringkas oleh Ibnu Hajar, termasuk pula penisbahannya kepada referensi primer di mana hadits tersebut diriwayatkan dengan sanadnya, serta penilaian terhadap derajat akurasinya.
Kitabul Jami’ sejatinya tidaklah berhubungan dengan masalah fikih terkait bab tertentu, melainkan lebih cenderung berhubungan dengan masalah adab dan akhlak, yaitu tentang akhlak yang baik yang harus dibiasakan, tentang akhlak yang buruk yang harus dijauhi, serta tentang zikir dan doa.
Hanya saja, seakan-akan al-Hafizh Ibnu Hajar hendak mengingatkan kepada segenap pembaca kitab Bulughul Maram, bahwasanya penguasaan terhadap bab-bab fikih, sepatutnya tidak terpisahkan dari balutan adab yang baik dan akhlak yang mulia.
Seakan beliau hendak mengingatkan, bahwa dalam diri seseorang, apabila ilmu tidak dihiasi dengan adab dan akhlak dapat berubah menjadi kecelakaan fatal. Layaknya harta dan kedudukan, imu yang banyak -jika tidak disertai dengan keikhlasan dalam menuntutnya dan mengamalkannya juga berpotensi besar menjerumuskan seseorang dalam keangkuhan dan kesombongan. Bahkan tidak jarang kita jumpai sebagian penuntut ilmu pemula yang masih ‘cetek’ ilmunya, namun sudah mulai tumbuh bibit keangkuhan dan kesombongan yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan lisannya atau pun tulisan-tulisannya.
Ilmu yang sejatinya menjadikan seseorang beradab dan berakhlak bisa menjadi senjata makan tuan yang menambahkan kesombongan, apabila jika tidak berangkat dari niat yang benar dan tujuan yang tulus dalam menuntutnya.
Dalam sejarah tradisi penulisan ilmiah Islam, ditengarai bahwa yang pertama kali menginovasi sebutan Kitabul Jami’ adalah Imam Malik bin Anas (wafat 179 H), sebagaimana disebutkan oleh Abu Bakar Ibnul Arab al-Ma’afiri (wafat 543 H) dalam al-Qabas yang merupakan syarah milik beliau untuk kitab al-Muuwaththa `.
Alasan penamaannya seperti itu oleh Imam Malik, masih menurut Ibnul Arabi, adalah:
- Karena kontennya yang tidak serasi dengan bentuk taklif dari berbagai hukum yang telah terkategorisasikan ke dalam pelbagai bab dan sub bab.
- Di saat beliau menganalisis ragam hukum syara’ dan mendapatinya terbagi menjadi kelompok perintah, larangan, ibadah dan muamalah, serta jinayah, beliau pun merangkainya dan mengaitkan jenis yang satu dengan lainnya. Kemudian didapati sejumlah makna dari ajaran syara’ yang tidak dapat dikelompokkan menjadi satu, juga tidak pas untuk dimasukkan satu-persatu ke dalam suatu bab terpisah dari lainnya karena terlalu ringkas. Akhirnya, beliau pun mengumpulkan dan merangkaikannya menjadi satu dalam kumpulan yang kemudian diberi nama Kitabul Jami’. Apa yang beliau kreasi ini selanjutnya membuka horizon para penulis di masa-masa selanjutnya.
Dilihat dari sistematika Kitabul Jami’ maka Ibnu Hajar mengikuti pendahulunya dari sisi Kitabul Jami’ mencakup bab-bab yang sulit untuk dikumpulkan dalam satu nama kitab tersendiri karena bab-bab tersebut tidak sejenis. Karenanya Beliau menyatukan bab-bab tersebut dalam kitab yang beliau namakan dengan al-Jami’.
Al-jami dalam bahasa Arab artinya yang mengumpulkan atau yang mencakup. la disebut sebagai Kitabul Jami’, karena kitab ini mencakup 6 bab yang berkaitan dengan akhlak, yaitu sebagai berikut:
- Bab Pertama – Bab al-Adab.
- Bab Kedua – Bab al-Birr wa ash-Shilah, yaitu bab tentang bagaimana beramal kebajikan dan bagaimana mengukuhkan tali silaturahim.
- Bab Ketiga – Bab az-Zuhd wa al-Wara’, tentang zuhud dan sifat warak.
- Bab Keempat – Bab at-Tarhib min Masawi’ al-Akhlaq, bab yang berisi peringatan dari akhlak-akhlak yang buruk.
- Bab Kelima – Bab at-Targhib min Makarim al-Akhlaq, bab yang berisi motivasi untuk berakhlak mulia.
- Bab Keenam – Bab adz-Dzikr wa ad-Du’a, bab yang berkaitan dengan zikir dan doa.