6. Bolehnya Membaca Al-Qur’an Sambil Berdiri, Berjalan, Berbaring dan di Atas Kendaraan
Dalil akan hal itu adalah firman Allah:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (Ali ‘lmran: 191)
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ (13) وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ (14)
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. ‘” (Az-Zukhruf: 131-4)
Sunnah pun telah menerangkan hal ini seluruhnya. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mughaffal bahwa ia berkata, “Aku telah melihat Rasulullah pada hari penaklukan kota Makkah, di mana beliau sedang membaca surah al-Fath di atas hewan tunggangan beliau.”
Dan, diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin ia berkata, “Sesungguhnya Nabi pernah bersandar di kamarku dan aku ketika itu sedang haidh, lalu beliau membaca Al-Qur’an.”
Faidah:
Hadits ‘Aisyah menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur’an di kamar seorang wanita yang tengah haidh atau nifas. Dan, yang dimaksud dengan bersandar di sini adalah meletakkan kepala di dalam kamar. Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur an di dekat tempat yang najis, sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi
7. Tidak Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Berada dalam Keadaan Suci
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Al-Waqi’ah: 79)
Dan, larangan menyentuh Al-Qur’an kecuali bagi orang yang telah bersuci disebutkan dengan tegas dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Nabi kepada ‘Amr bin Hazm, dan dalam kitab tersebut tercantum, “Dan janganlah seseorang menyentuh Al-Qur“an kecuali ia dalam keadaan bersih (suci).”
Masalah: Apakah boleh membawa mushhaf al-Qur’an jika menggunakan pembungkus (kantong) atau kain bagi seorang yang berhadats?
Jawab: Ya, dibolehkan membawa Al-Qur’an dengan menggunakan pembungkus (kantong), karena hal itu tidak termasuk menyentuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dan barangsiapa yang membawa mushhaf, maka sebaiknya ia membawanya dengan menggunakan kainnya, yang ada di pelananya maupun barang bawaannya. Dan, tidak dibedakan apakah kain tersebut bagi kaum laki- laki, wanita, atau anak kecil, dan walaupun kain tersebut berada di atas atau di bawahnya, wallahu a’lam.”
Faidah:
Dibolehkan membawa mushhaf dengan meletakkannya di dalam saku, dan tidak dibolehkan bagi seseorang untuk masuk WC dengan membawa mushhaf. Ia harus meletakkan mushhaf di tempat yang layak dengannya untuk mengagungkan Kitabullah dan menghormatinya. Akan tetapi, jika ia terpaksa masuk ke WC dan khawatir mushhat tersebut akan dicuri jika ditinggal di luar, maka ia dibolehkan masuk ke dalamnya dengan membawa mushhaf karena alasan darurat.”
8. Dibolehkan Membaca Al-Qur’an dari Hafalannya bagi Orang yang Berhadats Kecil
Adapun orang-orang yang junub tidak diperkenankan membaca Al-Qur’an dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali yang mengatakan, “Dahulu, Rasulullah biasa membacakan kepada kami ayat-ayat Al-Qur’an selama beliau tidak dalam keadaan junub.”
Jika hadatsnya hanya sekadar hadats kecil, maka ia boleh membaca Al-Qur’an melalui hafalannya, hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas ketika beliau menginap di tempat bibi beliau, Maimunah istri Nabi , ia berkata, “Hingga ketika sampai di pertengahan malam kurang atau lebih, Rasulullah terjaga lalu beliau duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali ‘Imran, lalu beliau bangun dan menuju ke tempat air yang tergantung kemudian berwudhu“ darinya dan membaguskan wudhunya.”
Masalah: Apakah boleh orang yang berhadats kecil membaca Al–Qur’an dari mushhaf?
Jawab: Lajnah Da’imah dalam salah satu jawabannya mengatakan, “Tidak dibolehkan bagi orang yang sedang junub membaca Al-Qur’an hingga ia mandi, baik membaca dengan mushhaf maupun dari hafalannya. Juga tidak dibolehkan baginya membaca Al-Qur’an dengan menggunakan mushhaf kecuali setelah ia suci secara sempurna dari hadats besar maupun kecil.
Masalah: Manakah yang lebih utama, membaca Al-Qur’an dari hafalan atau dengan mushhaf?
Jawab: Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka mengutamakan membaca Al-Qur’an melalui hafalan daripada membacanya melalui mushhaf. Ulama lainnya menolak pendapat ini, mereka mengatakan, “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an melalui mushhaf lebih utama, karena dengan begitu berarti mencermati Al-Qur’an. Akan tetapi, pendapat ini didukung oleh atsar-atsar yang tidak shahih. Ulama lainnya lagi merinci permasalahan ini.
Ibnu Katsir mengatakan, “Sebagian ulama “mengatakan bahwa inti perkara ini adalah masalah kekhusyu’an. Jika membaca Al-Qur’an melalui hafalan lebih khusyu’, maka inilah yang utama. Sedangkan jika membacanya dengan mushhaf lebih khusyu’, maka cara inilah yang utama. Jika membaca dengan hafalan sama khusyu’nya dengan membaca menggunakan mushhaf, maka membaca melalui mushhaf lebih utama. Karena, cara ini lebih cermat dan mendapatkan kelebihan dengan melihat mushhaf.
Abu Zakaria an Nawawi dalam kitab at Tibyan mengatakan, “Zhahir perkataan dan amalan ulama Salaf dapat difahami dengan perincian ini.”
lbnul Jauzi mengatakan “Sudah sepantasnya bagi orang-orang yang memiliki mushhaf untuk membaca setiap hari ayat-ayat yang mudah agar tidak temasuk orang orang yang mengabaikan Al-Qur’an?”
9. Bolehnya Membaca Al-Qur’an Bagi Wanita yang Sedang Haidh Maupun Nifas
Hal ini dikarenakan tidak didapati dalil yang menunjukkan secara langsung (tegas) tentang pelarangannya, akan tetapi ia harus membacanya tanpa menyentuh mushhaf. Lajnah Da’imah menyatakan, “Tidak mengapa bagi wanita haidh atau nifas membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushhaf. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dikarenakan tidak adanya dalil shahih dari Nabi yang melarang wanita haidh maupun nifas untuk membaca Al-Qur’an.
10. Disunnahkan Membersihkan Mulut dengan Siwak Sebelum Membaca Al-Qur’an
Hal ini termasuk adab kepada Kalamullah. Maka, sangat baik bagi seorang qari’ ketika ia hendak membaca Al-Qur’an untuk membersihkan dan mengharumkan mulutnya dengan siwak atau apa saja yang bisa digunakannya untuk membersihkan mulut. Tidak diragukan bahwa hal ini termasuk etika yang penuh adab terhadap Kalamullah. Rasulullah mencontohkan hal ini, sebagaimana tercantum dalam hadits Hudzaifah yang menyatakan, “Jika Nabi bangun di malam hari untuk shalat tahajjud. beliau terlebih dahulu membersihkan mulut beliau dengan siwak.”
11. Disunnahkan Membaca lsti’adzah dan Basmalah Ketika Memulai Membaca Al-Qur’an
Disunnahkan membaca isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al-Qur’an sebagaimana firman Allah
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98)
Dari ayat di atas dapat kita ketahui tiga sighah (bentuk) isti’adzah, yaitu:
1 – أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
2 – أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم
3 – أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم من همزه ونفخه ونفثه
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaannya, dari kesombongannya, dan pengaruhnya.
Faidah lsti’adzah
Adapun faidah isti’adzah adalah untuk menjauhkan setan dari hati seseorang, yaitu ketika ia membaca Kitabullah, sehingga ia bisa mentadabburi al-Qur’an, memahami maknanya, dan mengambil manfaat darinya. Karena, akan ada perbedaan jika Anda membaca Al-Qur’an dengan hati yang khusyu’ dan di saat anda membaca Al-Qur’an sementara hati Anda lalai. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan: Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin ketika selesai membaca Al-Qur’an mereka mengucapkan, “Shadaqallaahul ‘Azhiim, ” apakah ucapan ini memiliki dalil yang shahih?
Jawab: Tidak ada dalil untuk mengucapkan “Shadaqallaahul ‘Azhiim” seusai membaca Al-Qur’an. Walaupun ucapan ini diamalkan oleh sebagian besar kaum muslimin, akan tetapi amalan mayoritas orang bukanlah dalil bahwa amalan tersebut benar.
Allah berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman-walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Dan, di antara pendapat yang sangat mengesankan dari al-Fudhail bin ‘lyadh ada adalah: “Janganlah engkau merasa kesepian (asing) dengan jalan-jalan Petunjuk hanya karena sedikitnya orang yang mengikuti jalan-jalan tersebut. Dan, jangan pula engkau terpedaya dengan banyaknya orang yang meniti jalan kebinasaan.”
Akan tetapi, sesungguhnya dalil-dalil telah menguatkan pendapat yang menolak penutupan bacaan Al-Qur’an dengan ucapan ini. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari hadits lbnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Bacakanlah al-Qur’an-untukku!” lbnu Mas’ud berkata, “Aku bertanya, “Akankah aku membacakan Al-Qur’an untukmu sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku ingin mendengarkan bacaan AI-Qur’an dari orang lain.” lbnu Mas’ud berkata, “Maka aku pun membacakan surat an-Nisa’ hingga ketika aku sampai pada ayat:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)?” (An-Nisa’: 41)
Beliau berkata kepadaku, “Cukup! Atau tahan bacaanmu!” Dan aku melihat kedua mata beliau berlinang ”
Dan, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusan, maka Rasulullah tidak menyuruh Ibnu Mas’ud untuk mengucapkan, “Shadaqallaahul Azhiim,” beliau tidak menetapkan hal itu dan tidak pula dilakukan oleh orang-orang generasi pertama dari umat ini, mudah-mudahan Allah meridhai mereka, bahwa mereka tidak pernah mengucapkannya ketika mereka telah selesai membaca al-Qur’an. Begitu juga tidak pernah diketahui bahwa Salafush Shalih dari orang-orang yang hidup setelah generasi shahabat, telah mengamalkannya. Jadi, tidak ada yang dapat kita katakan kecuali bahwa amalan tersebut adalah amalan yang muhdats-diada-adakan-dan tidak ada Sunnah yang membolehkan ucapan ini.
Lajnah Da’imah berfatwa, “Ucapan seseorang ‘Shadaqallaahul ‘Azhiim,’ pada dasarnya ucapan ini benar. Akan tetapi, jika ia mengucapkannya secara terus-menerus setelah selesai membaca AlQur’an, maka ini termasuk perbuatan bid’ah, karena amalan itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga para Khulafaur Rasyidin sebatas yang kami ketahui, sementara mereka sering sekali membaca Al-Qur’an. Dan, telah diriwayatkan secara shahih dari Nabi bahwa beliau bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak termasuk perintah (urusan) kami, maka amalan itu tertolak.”
Faidah:
Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau, al-Adzkar (beliau mengatakan bahwa), “Disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur’an, jika ia memulainya dari pertengahan surat, ia memulainya dari awal kalimat yang saling berkaitan antara sebagian dengan sebagian lainnya. Demikian pula hendaklah ia berhenti pada tempat berhenti pada kalimat yang juga berkaitan, atau pada akhir kalimat. Dan, janganlah ia bergantung (berhenti) pada awal kalimat, waqaf (tempat berhenti di tengah kalimat), atau berhenti pada setiap juz,
setiap hizb bacaan; atau pada setiap sepersepuluh juz. Karena, sebagian besar tempat-tempat tersebut terletak di pertengahan kalimat…” Kemudian beliau berkata, “Dan semakna dengan pernyataan ini Para ulama mengatakan, “Membaca Al-Qur’an dengan menyempurnakan setiap surat itu lebih utama daripada membaca sebagiannya saja dari surat-surat yang panjang, karena penyesuaian bacaan ayat telah samar bagi kebanyakan kaum muslimin, atau bahkan kebanyakan dari mereka, dibeberapa keadaan dan tempat.