Jima’, berhubungan badan atau berhubungan suami istri, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan secara sengaja walau tidak keluar mani, bagi orang yang sedang berpuasa adalah termasuk pembatal puasa dan dosa yang sangat besar, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
ولم يختلف أهل العلم أنّ الله عزّ وجلّ حرّم على الصائم في نهار الصوم: الرفث: وهو الجماع، والأكل والشرب
“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan melakukan ar-rafats, yaitu berjima’, demikian pula Allah mengharamkan makan dan minum.” [Al-Ijma’, hal. 59]
Beberapa Permasalahan:
Pertama: Jauhilah Dosa Besar
Ini Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa membatalkan puasa dengan berhubungan suami istri secara sengaja adalah dosa besar yang membinasakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْغِذَاءُ يَبْسُطُ الدَّمَ الَّذِي هُوَ مَجَارِيهِ فَإِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ انْبَسَطَتْ نَفْسُهُ إلَى الشَّهَوَاتِ وَضَعُفَتْ إرَادَتُهَا وَمَحَبَّتُهَا لِلْعِبَادَاتِ فَهَذَا الْمَعْنَى فِي الْجِمَاعِ أَبْلَغُ
“Makanan dan minuman dapat meluaskan peredaran jalan darah (bagi setan), maka apabila seseorang makan atau minum menguatlah kecenderungan nafsunya kepada syahwat dan melemah keinginan dan kecintaannya terhadap ibadah, dan makna ini lebih besar pada jima’,
فَإِنَّهُ يَبْسُطُ إرَادَةَ النَّفْسِ لِلشَّهَوَاتِ وَيُضْعِفُ إرَادَتَهَا عَنْ الْعِبَادَاتِ أَعْظَمَ؛ بَلْ الْجِمَاعُ هُوَ غَايَةُ الشَّهَوَاتِ وَشَهْوَتُهُ أَعْظَمُ مِنْ شَهْوَةِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ
sungguh jima’ lebih menguatkan keinginan nafsu kepada syahwat dan melemahkan keinginannya terhadap ibadah. Bahkan jima’ adalah puncak syahwat, dan syahwat terhadapnya lebih besar daripada syahwat terhadap makanan dan minuman,
وَلِهَذَا أَوْجَبَ عَلَى الْمُجَامِعِ كَفَّارَةَ الظِّهَارِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْعِتْقُ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ لِأَنَّ هَذَا أَغْلَظُ وَدَاعِيَهُ أَقْوَى وَالْمَفْسَدَةَ بِهِ أَشَدُّ
oleh karena itu diwajibkan atas orang yang berjima’ membayar kaffaroh zhihar, yaitu wajib atasnya membebaskan budak atau yang dapat menggantikan kedudukannya (yaitu hukuman yang setara dengannya) berdasarkan As-Sunnah dan ijma’, karena ia lebih besar dosanya, faktor pendorongnya lebih kuat dan kerusakannya lebih dahsyat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/249]
Kedua: Solusi bagi Orang yang Berbuat Dosa Ini
1) Bertaubat kepada Allah ta’ala.
2) Membayar kaffaroh (denda).
Ketiga: Urutan Kaffaroh
1) Membebaskan seorang budak yang beriman.
2) Apabila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh terputus tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, seperti karena sakit, safar atau haid dan nifas bagi wanita.
3) Apabila tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, setiap satu orang miskin mendapatkan satu sho’ (kurang lebih senilai 1,5 kg) bahan makanan berdasarkan hadits Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu’anhu. (Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301 dan Asy-Syarhul Mumti’, 6/415)
Dan tidak boleh diuangkan, tidak boleh pula hanya diberikan kepada satu orang miskin atau kurang dari 60 orang, serta tidak boleh dititipkan kepada orang atau lembaga yang tidak terpercaya. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/321-322 no. 7264. 79 Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/399-400)
Keempat: Syarat Wajib Kaffaroh
Kewajiban membayar kaffaroh hanyalah bagi orang yang terpenuhi padanya tiga syarat:
1) Orang yang melakukannya adalah orang yang wajib berpuasa, apabila yang melakukannya anak kecil yang belum baligh maka tidak wajib atasnya kaffaroh.
2) Tidak ada yang menghilangkan kewajiban puasanya, apabila ada yang menghilangkannya seperti safar maka tidak ada kaffaroh baginya, karena musafir boleh membatalkan puasanya, akan tetapi tidak boleh seseorang melakukan hiylah (siasat, tipu daya) terhadap syari’at, yaitu melakukan safar hanya demi berhubungan suami istri, apabila ia melakukannya maka dosanya lebih besar dan tetap wajib atasnya kaffaroh dan bertaubat.
3) Berhubungan badan dilakukan di kemaluan, baik depan maupun belakang, baik dengan pasangan yang halal maupun yang haram. Apabila dilakukan di kemaluan belakang maka dosanya lebih besar karena pada asalnya hal itu haram. Apabila dilakukan dengan selain pasangan yang sah maka dosanya lebih besar lagi, karena pada asalnya memang dosanya besar, ketika dilakukan ketika sedang puasa dan di bulan mulia Ramadhan maka dosanya menjadi lebih besar lagi.
Kelima: Apakah Wajib Atasnya Qodho’?
Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat wajib, dan terdapat dalam riwayat Abu Daud sebuah tambahan lafazh:
وصم يوماً
“Dan berpuasalah sehari (sebagai gantinya).”
Tapi hadits ini dha’if karena adanya rawi yang bernama Hisyam bin Sa’ad yang jelek hapalannya serta menyelisihi rawi-rawi yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik, Al-Laits dan selainnya.
Pendapat Kedua: Sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah berpendapat tidak ada qodho’ atasnya, cukup baginya taubat dan kaffaroh. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua insya Allah, yaitu tidak ada kewajiban qodho’, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan qodho’ dalam hadits-hadits yang shahih, dan karena puasa adalah kewajiban yang terkait dengan waktu, apabila waktu telah terlewati tanpa udzur maka tidak ada lagi kewajibannya. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/400)
Keenam: Apakah Kaffaroh Wajib bagi Istrinya?
Pendapat yang kuat insya Allah juga wajib atas istrinya membayar kaffaroh dan taubat apabila ia melakukannya dengan sengaja, bukan karena lupa atau dipaksa, karena keumuman dalil mencakup laki-laki dan wanita. Apabila ia melakukannya karena lupa atau dipaksa oleh suami maka puasanya tidak batal dan tidak wajib kaffaroh. (81 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/303, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/302-304 dan Taudhihul Ahkam, 3/520)
Adapun dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan istrinya untuk membayar kaffaroh, karena di sebagian riwayat orang itu berkata: ‘Aku telah binasa dan membinasakan (istriku).’ Artinya ia memaksa istrinya untuk berhubungan badan.
Ketujuh: Apabila Seseorang Berhubungan Suami Istri Berulang Kali, Berapa Kali Kaffarohnya?
Ada dua gambaran permasalahannya: (Lihatlah kitab Asy-Syarhul Mumti’, 6/406-408 engkau akan adapati faidah yang menarik insya Allah ta’ala)
1) Apabila dilakukan di hari yang berbeda maka setiap hari satu kaffaroh tersendiri, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang terpisah dengan hari sebelumnya.
2) Apabila dilakukan di hari yang sama, pendapat yang benar insya Allah cukup sekali kaffaroh, karena apabila ia berhubungan suami istri yang kedua kalinya maka ia sudah berada dalam kondisi tidak berpuasa, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, dan sama saja apakah ia melakukan lagi dengan istri yang sama atau dengan istri yang lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/304)
Kedelapan: Apabila Udzur Berbuka Telah Hilang Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadhan?
Contoh: Orang yang pulang dari safar atau orang sakit yang sembuh di siang hari dalam keadaan tidak berpuasa, dan istrinya baru bersih dari haid, apakah wajib bagi mereka berpuasa dimulai dari saat itu? Dan apabila mereka berhubungan suami istri wajib kaffaroh? Pendapat yang kuat insya Allah adalah boleh bagi mereka untuk melakukannya dan tidak ada kaffaroh, karena tidak ada puasa yang dimulai dari siang hari.
Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
من أفطر أول النهار فليفطر آخره
“Barangsiapa boleh berbuka di awal hari, boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/54]
Dan wajib atas mereka meng-qodho’ karena meninggalkan puasa dengan sebab yang dibolehkan, yaitu sakit dan safar atau haid bagi wanita. (Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/308)
Kecuali orang yang tadinya tidak wajib puasa sama sekali kemudian menjadi wajib, seperti baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari, atau baru masuk Islam atau baru mencapai usia baligh, maka apabila mereka berhubungan suami istri sebelum diwajibkan puasa atas mereka, pendapat yang benar insya Allah tidak wajib kaffaroh, namun apabila mereka melakukannya setelah diwajibkan, walau diwajibkan sejak siang hari, maka wajib atas mereka kaffaroh. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/408-409)
Kesembilan: Apabila Udzur Berbuka Baru Ada Setelah Berhubungan Suami Istri, Apakah Wajib Kaffaroh?
Misalkan seseorang berhubungan suami istri dalam keadaan sehat, berakal dan mukim, kemudian ia jatuh sakit, atau hilang akal, atau melakukan safar maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ketika ia membatalkan puasanya dengan berhubungan badan, ia masih dalam keadaan diwajibkan berpuasa. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409-410)
Kesepuluh: Apabila Puasanya Batal karena Makan dan Minum Lalu Berhubungan Suami Istri, Apakah Wajib Kaffaroh?
Apabila seseorang membatalkan puasa dengan makan dan minum tanpa udzur, kemudian ia berhubungan badan maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ia membatalkan puasa tanpa udzur. Dan dosanya lebih besar lagi jika ia makan dan minum sebelum berhubungan suami istri untuk melakukan siasat agar tidak wajib kaffaroh. Adapun yang tidak wajib kaffaroh adalah yang puasanya batal dengan udzur sebagaimana penjelasan poin kedelapan. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409)
Kesebelas: Apakah Wajib Kaffaroh bagi yang Berhubungan Suami Istri saat Sedang Puasa di Luar Ramadhan?
Kaffaroh hanyalah diwajibkan apabila seseorang membatalkan puasa dengan berhubungan badan di siang hari bulan Ramadhan.
Adapun puasa wajib di selain Ramadhan, seperti qodho’, kaffaroh dan nadzar maka tidak ada kaffaroh tapi wajib taubat apabila tanpa udzur. Demikian pula puasa-puasa sunnah, tidak ada kaffaroh. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/410-411)
Keduabelas: Satu Pendapat yang ‘Gharib’
Diantara pendapat sebagian fuqoha –rahimahumullah- yang ‘gharib’ adalah, mencabut kemaluan ketika terdengar adzan termasuk kategori berhubungan badan, padahal orang yang melakukannya justru untuk menghindarinya. Pendapat yang benar insya Allah tidak termasuk berhubungan badan, dan itulah yang memang harus dilakukan, apabila masuk waktu fajar atau terdengar adzan Shubuh dan yakin telah masuk waktu Shubuh maka hubungan badan harus segera dihentikan dan puasanya sah insya Allah. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/412 dan Taudhihul Ahkam, 3/520)
Adapun jika mereka tetap melanjutkan hubungan badan padahal yakin sudah masuk waktu Shubuh, maka puasanya batal dan wajib kaffaroh serta taubat. (Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301)
Kecuali jika mereka tetap melanjutkannya karena masih ragu apakah sudah masuk waktu Shubuh atau belum maka puasanya tidak batal insya Allah, karena hukum asalnya adalah tetapnya malam, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, namun sudah sepatutnya bagi seorang muslim berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan.
Ketigabelas: Hukum Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffaroh
Apabila seseorang tidak mampu membayar kaffaroh sama sekali, maka hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di atas dan dalil-dalil lain yang umum menunjukkan bahwa kewajiban kaffaroh hilang darinya.
Dan apabila suatu saat ia memiliki kemampuan, apakah wajib atasnya kaffaroh? Pendapat yang kuat insya Allah tidak wajib atasnya kaffaroh karena kewajibannya telah hilang darinya ketika ia tidak mampu. Sama seperti orang yang tidak wajib zakat, apabila suatu saat ia mampu berzakat maka tidak diwajibkan atasnya meng-qodho’ zakat yang tidak ia keluarkan semasa ia belum mampu. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/416-418)
Keempatbelas: Hukum Suami Istri Bercumbu saat Puasa
Hukum bercumbu rayu antara suami istri ketika sedang berpuasa adalah boleh bagi yang mampu menahan syahwatnya untuk tidak sampai berhubungan badan. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/160 no. 13896)
Adapun yang tidak mampu maka hukumnya makruh bahkan bisa jadi haram apabila ia mengetahui keadaan dirinya bisa dipastikan akan terjerumus sampai berhubungan badan jika bercumbu rayu dengan istrinya. (Lihat Taudhihul Ahkam, 3/485-486)
Berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mencium dan mencumbui istri beliau dalam keadaan beliau sedang berpuasa, tetapi beliau adalah orang yang lebih kuat dari kalian dalam menahan syahwatnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kelimabelas: Hukum Mengeluarkan Air Mani dengan Selain Jima’, Seperti Onani atau yang Lainnya
Mengeluarkan air mani dengan selain jima’ seperti bercumbu rayu, mengkhayal, menggauli istri pada selain kemaluan atau melakukan onani, maka tidak ada kewajiban kaffaroh, namun apakah puasanya batal atau tidak? Ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat puasanya batal, bahkan sebagian ulama menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama). (Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 175)
Tetapi yang benar insya Allah adalah ulama tidak ijma’, karena ada sebagian ulama berpendapat tidak batal, seperti Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shon’ani dan Al-Albani rahimahumullah, alasan mereka karena tidak ada dalil yang shahih lagi shorih yang menunjukkan batalnya. (Lihat Tamaamul Minnah, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, hal. 418-420)